Taman Monas pun diharapkan menjadi taman serbaguna dan multimanfaat bagi warganya. Terutama taman besar ini dapat berfungsi sebagai peredam kebisingan, penangkal suhu panas, penepis debu, penjinak tiupan angin, sumber tambahan hawa sehat, peresap air ke tanah, arena rekreasi sehat, dan lainnya. Tunggulah wujud ideal Taman Medan Merdeka atau Taman Monas itu. Warga DKI Jakarta sudah rindu dengan barang yang namanya taman. Jadi, tunggu sambil berharap.
Demikian mendiang Rudy Badil menulis paragraf penutup di tulisannya tentang perjalanan sejarah Lapangan Monumen Nasional yang sampai kini belum tergantikan sebagai ikon utama Ibu Kota.
Dalam tulisannya berjudul ”Gambir pun Menjadi Monas” (Kompas, Senin, 15 November 1993 halaman 10) itu, wartawan antropolog serba bisa itu menceritakan secara rinci kawasan yang pada awalnya merupakan kampung kuno bernama Gambir, paruh ke-2 abad XIX hingga kemudian berubah menjadi Koningsplein—sebagai pengganti nama Lapangan Champ de Mars seluas 80 hektar buatan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels selama tiga tahun (1808-1811).
”Dr M Treub, Kepala Kebun Raya Bogor, tahun 1892 sudah menggambarkan rencana pengembangan Koningsplein sebagai taman raya lengkap dengan jalan silang serta badan jalan lebar untuk lalu lalang kereta kuda,” tulis Badil.
Sebagai wartawan yang mendalami masalah perkotaan, saya belajar dan mendapat banyak ilmu dari Badil yang memang salah satu jagoan liputan kota Kompas. Jika mengobrol dengannya, dia malah lebih suka menggunakan bahasa Sunda, bahasa ibu saya. Dia memang seorang polyglot yang mampu menguasai beberapa bahasa daerah dan asing. Sering kali tiba-tiba mengajak liputan bareng dan berbagi ide mengenai liputan kota.
Dia memang seorang polyglot yang mampu menguasai beberapa bahasa daerah dan asing. Sering kali tiba-tiba mengajak liputan bareng dan berbagi ide mengenai liputan kota.
Pertemuan terakhir saya dengan dia adalah obrolan sebuah rencana yang tidak terlaksana, Badil mengajak membuat sebuah lomba lari trail di sebuah kawasan hutan pinggiran Tol Cipularang, pinggiran Bandung. Mungkin bisa jadi dia adalah pelopor lari trail yang saat ini marak di Indonesia. Badil adalah penggagas sebuah lomba lintas alam ”Kompas Trekatlon” di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango dan kawasan karantina Taman Safari Indonesia di Cisarua, Bogor (2003-2006).
Di mata Badil, Jakarta ladang liputan penuh warna, jenaka, kaya human interest, konyol, dan menarik dengan berbagai kedekatan terhadap warganya. Dia melihat hal-hal yang terlihat ”kecil” di kota dengan mikroskop sehingga menjadi besar, berwarna, dan menarik.
Dari nama tempat atau daerah-daerah di kawasan Jakarta saja, misalnya, dia bisa menulis banyak hal. Suatu saat dia bisa menulis panjang lebar mengenai nama-nama kampung di Betawi, kenapa di Jakarta ada Kampung Ambon, Kampung Melayu, hingga Kampung Makassar.
Tidak hanya sejarah sekilas, tetapi dia juga mengetahui di luar kepala tokoh-tokoh atau jagoan-jagoan kampung tersebut. Kali lain, Badil dengan ringan dan menarik menulis nama-nama pasar yang sesuai nama hari, mulai dari Pasar Senin, Pasar Rabu, Pasar Kamis, hingga Pasar Jumat dengan segala ciri khas masing-masing pasar. Begitu juga asal usul nama-nama tempat di Jakarta, dia tahu banyak.
Semrawut dan tumpang tindihnya nama-nama jalan di Ibu Kota dan sekitarnya juga sempat menjadi liputan yang menarik di tangan Badil. ”Lu hitung aja berapa banyak nama Jalan Madrasah atau Gang Buntu di Jakarta,” katanya sambil ketawa. Apa pun bisa menjadi liputan menarik, mulai dari becak, metromini, banjir, permukiman kumuh, pedagang kaki lima, hingga topeng monyet, atau apa saja.
Lu hitung aja berapa banyak nama Jalan Madrasah atau Gang Buntu di Jakarta.
Dengan bahasa khas liputan Badil, setiap tulisan reportase menjadi hal renyah dicerna. Sering kali terselip kata canda atau sindiran yang mampu membuat telinga pihak yang disentil memerah tanpa sanggup marah.
Kebayang kalau pada zaman sekarang Badil menulis perkotaan dengan gaya khasnya. Mungkin dia pun masih menunggu wujud ideal Taman Medan Merdeka atau Taman Monas seperti di tulisannya saat itu.