Mengantar Polisi dari Kampung Menjadi Teladan Indonesia
Saat tergolek lemah akibat malaria, wartawan Kompas, Frans Pati Herin, didatangi Brigadir Kepala Bastian Tuhuteru. Frans menulis kiprah Bastian yang mengantarnya terpilih sebagai polisi teladan.
Pada Minggu (16/6/2019) siang yang sunyi terdengar dua kali ketukan lembut. Daun pintu di ruangan VIP B1 Rumah Sakit Hative (Memorial Otto Kuyk) Ambon, Maluku, perlahan terbuka.
Dari balik pintu muncul sosok pria berkulit agak gelap dengan potongan rambut cepak. Langkahnya tertuju ke arah ranjang tempat saya terbaring lemas dengan infus di tangan.
Tubuh atletis setinggi 168 sentimeter yang tiba di pinggir tempat tidur itu kemudian setengah menunduk, lalu mengulurkan tangan menyalami saya.
”Cepat sembuh, Bung,” ujar pria dengan nama Brigadir Kepala Bastian Tuhuteru, anggota polisi yang bertugas di Kepolisian Resor Pulau Buru, Kepolisian Daerah Maluku, itu.
Bastian datang menjenguk saya yang kembali tersungkur dihajar malaria. Bibit malaria yang tertanam sejak Januari 2018 saat saya meliput kasus gizi buruk dan campak di Asmat, Papua, rupanya masih bersarang di empedu. Saat raga saya kelewat capek, bibit itu dengan mudah meruyak.
Kabar bahwa saya menjalani opname di rumah sakit, diketahui Bastian dari Noel Filkostiq, wartawan Kompas TV yang hampir setiap hari menemani saya. Malam sebelumnya, Bastian mencari saya. Namun, ia gagal menghubungi sebab nomor telepon saya tidak aktif. ”Saya datang mau bilang terima kasih buat Kompas,” ujar Bastian kepada saya.
Nama Bastian menjadi perbincangan kalangan Markas Besar Polri setelah kisah perjuangannya mengajar dan membangun sekolah di pedalaman Pulau Buru diangkat Kompas.
Bastian baru pulang dari Jakarta. Tepat empat hari sebelumnya, Rabu (12/6/2019), ia bersama Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian bertemu di atas panggung penghargaan. Polisi yang bertugas di Polsek Namrole, Kabupaten Buru Selatan, itu menjuarai seleksi polisi teladan. Ia menduduki peringkat pertama!
Sosok Kompas
Nama Bastian menjadi perbincangan kalangan Markas Besar Polri setelah kisah perjuangannya mengajar dan membangun sekolah di pedalaman Pulau Buru diangkat Kompas. Cerita itu dimuat dalam rubrik ”Sosok” pada 25 Maret 2019 dengan judul Polisi Bernapas Guru.
Di Dusun Walapau, Desa Wamlama, Kecamatan Namrole, Kabupaten Buru Selatan, Bastian memperkenalkan baca, tulis, dan berhitung kepada anak-anak. Di dusun itu tidak ada sekolah. Warga setempat menganut kepercayaan lokal. Saat Bastian mulai bertugas pada 2016, ia sempat ditolak karena dicurigai akan menyebarkan agama.
Baca juga: Bastian Tuhuteru, Polisi yang Mendidik Anak-anak di Pedalaman Buru Selatan
Setelah berhasil meyakinkan tokoh adat setempat, barulah ia diperbolehkan mengajar anak-anak. Seiring waktu, masyarakat percaya kepadanya. Tempat belajar mereka berawal dari halaman rumah, kemudian tenda, hingga kini telah dibangun sebuah gedung sekolah darurat. Sekolah itu, oleh pemerintah kabupaten, lalu dijadikan sekolah negeri.
Untuk mencapai dusun itu harus melewati jalan setapak sekitar 20 kilometer dan menyeberangi dua sungai. Butuh waktu perjalanan hampir 2 jam dari Namrole, ibu kota kabupaten. Adapun untuk mencapai Namrole dari Ambon harus berlayar dengan kapal sekitar 7 jam.
Saya bertemu dengan Bastian saat ia bersama belasan rekannya dari Polres Buru diberi penghargaan atas prestasi mereka di berbagai unit. Setelah ngobrol singkat, saya memutuskan untuk melakukan wawancara mendalam. Siapa tahu ia bisa diusulkan untuk rubrik ”Sosok” di Kompas.
Pada awalnya dia agak keberatan. Ia seperti tidak mau kegiatannya terlalu dibesar-besarkan media. ”Jujur, saya suka kerja diam-diam. Saya tidak mau dipuji. Saya bekerja murni dari hati, bukan untuk dipuji orang,” kata lulusan Program Studi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pattimura, Ambon, itu.
Saya lalu membujuknya. Saya meyakinkan dia bahwa tulisan yang dibuat bukan untuk memuja-muji dirinya. Tulisan itu bertujuan untuk mengangkat cerita polisi di pelosok.
Jujur, saya suka kerja diam-diam. Saya tidak mau dipuji. Saya bekerja murni dari hati, bukan untuk dipuji orang.
”Bung pasti tahu di media bahwa banyak polisi yang bermasalah. Apa salahnya kalau cerita polisi yang seperti Bung ini diangkat? Polisi di tempat lain bisa belajar dari Bung,” kata saya waktu itu.
Setelah merenung, ia mengiyakan. Tidak membuang waktu, saya pun mewawancarai dirinya yang siap kembali ke tempat tugas hari itu juga. Setelah selesai wawancara, saya melakukan verifikasi ke beberapa informan yang ada di tempat tugas Bastian.
Tujuannya, untuk memastikan bahwa apa yang dilakukan Bastian benar adanya. Informan saya membenarkan itu. Saya lalu menulis dan mengirimkannya ke redaksi.
Setelah kisahnya dipublikasikan Kompas, pimpinan Bastian di Polres Buru ditelepon oleh seorang perwira di Mabes Polri. Bastian diminta menyiapkan sejumlah persyaratan administrasi untuk diajukan sebagai calon polisi teladan dan disiapkan untuk menempuh sekolah perwira tanpa melalui tes reguler. Ini kesempatan langka.
Akhirnya, tiba waktu Bastian diundang ke Jakarta untuk memaparkan kegiatannya di hadapan para juri. Dari seluruh Indonesia, ia dan lima orang polisi lolos seleksi. Sebelum ke Jakarta, Bastian memberi tahu saya lewat telepon. Ia mengajak bertemu di sebuah rumah kopi di Ambon pada Minggu (9/6/2019).
Baca juga: Saat Tim Liga Kompas Terjebak Kudeta Berdarah di Turki
Pada kesempatan itu, ia menunjukkan bahan yang akan ia paparkan nanti. Ia juga meminta masukan dari saya. Sesi pemaparan merupakan titik krusial. Bisa jadi ia yang sudah mengabdi melampaui tugasnya itu diberi nilai kurang jika pemaparan tidak meyakinkan juri. Ia lalu mencatat beberapa masukan saya.
Setelah tampil dan dinilai, Bastian berhasil memperoleh poin tertinggi. ”Kalau Kompas tidak tulis, mungkin saya tidak dapat penghargaan ini. Seorang komisaris besar di Mabes Polri menunjukkan koran Kompas yang berisi tentang saya. Dia bilang kepada saya, ’Kamu dipilih karena tulisan ini’. Terima kasih untuk Kompas,” ujar Bastian.
Ucapan terima kasih kepada Kompas juga disampaikan Kepala Polda Maluku Inspektur Jenderal Royke Lumowa yang hadir dalam anugerah polisi teladan itu. Royke mengakui, tanpa peran media, cerita inspiratif seperti yang dilakukan Bastian tidak akan mencuat ke publik.
Bagi saya, media hanyalah jembatan, seperti halnya moto Kompas, Amanat Hati Nurani Rakyat. Bastian pantas mendapatkan penghargaan itu. Selama ini ia bekerja dalam diam, jauh dari pujian dan tepuk tangan.
Baca juga: Empat Malam Menanti Penyu Bertelur di Pulau Terluar
Ia menunjukkan wajah Polri yang sesungguhnya, di tengah banyak oknum anggota Polri yang terkesan buruk di mata rakyat. Mereka dianggap pemeras, suka kriminalisasi, berbuat sewenang-wenang, melindungi penjahat, dan banyak lagi.
Saya yakin masih banyak sosok polisi lain yang mengabdi seperti Bastian, bahkan lebih dari itu. Mereka bertugas di pelosok dan di kampung sehingga belum terjangkau akses media.