Djokovic, Bintang Yang Terlupakan
LONDON, MINGGU - Novak Djokovic hadir di tengah serunya persaingan Roger Federer dan Rafael Nadal. Dia pun kurang diterima oleh penggemar tenis yang terlanjur mencintai Federer dan Nadal. Namun, Djokovic tak peduli. Dia mendobrak kekuatan yang telah melahirkan persaingan terbaik di arena tenis itu.
Salah satu yang dilakukan Djokovic adalah dengan memenangi gelar kelima Grand Slam Wimbledon di All England Club, London, Inggris. Tiga gelar diraih dengan mengalahan Federer di final, yaitu pada 2014, 2015, dan final yang berlangsung Minggu (14/7/2019) waktu setempat atau Senin dini hari WIB. Di lapangan yang bagaikan ruang keluarga bagi Federer—Federer delapan kali menjuarai Wimbledon—itu, Djokovic menang 7-6 (5), 1-6, 7-6 (4), 4-6, 13-12 (3).
Sejak kecil saya selalu memimpikan menjuarai Wimbledon
Peraturan baru terkait tiebreak akhirnya dipakai untuk pertama kalinya pada laga final yang berlangsung selama 4 jam 55 menit itu. Mulai 2019, Wimbledon menggunakan tiebreak saat terjadi skor 12-12 pada set penentuan. Ini mengganti peraturan advantage set (perbedaan dua gim pada set penentuan) untuk menghemat waktu.
Wimbledon pernah mencatat rekor terjadinya pertandingan terlama antara Nicolas Mahut dan John Isner pada babak pertama Wimbledon 2010. Isner memenangi pertandingan tersebut 6-4, 3-6, 6-7 (7), 7-6 (3), 70-68, dalam waktu 11 jam 5 menit dan berlangsung dalam tiga hari.
Seperti semua petenis yang menjalani persaingan di arena profesional, Djokovic memimpikan juara Wimbledon sejak kecil. Sejak mengenal tenis pada usia empat tahun di tanah kelahirannya, Serbia, Djokovic bercita-cita menjadi nomor satu dunia. Beberapa tahun setelah itu, dia membuat trofi Wimbledon dari kardus dan berlatih merayakan kemenangan.
“Sejak kecil saya selalu memimpikan menjuarai Wimbledon. Saya membuat trofi Wimbledon dan menyimpannya di kamar, berharap suatu hari bisa mendapatkannya,” ujar Djokovic sambil mendekap trofi di hadapan penonton di stadion, salah satunya adalah putranya, Stefan. Istri dan putrinya berada di kediaman mereka di Monako.
Djokovic memenangi pertandingan itu setelah menggagalkan dua match point Federer pada posisi 7-8 (15-40) set kelima. Bertahan di baseline untuk menahan serangan Federer dan menyerang menjadi kunci kemenangan Djokovic pada final itu.
Menurut saya, dia tak akan terkalahkan untuk waktu yang lama
“Ya, saya berusaha melupakan match point itu. Bagaimana pun, saya puas dengan penampilan di sini dan mudah-mudahan bisa memberi inspirasi bahwa saya belum selesai meski telah berusia 37 tahun,” kata Federer.
Dengan gelar itu, Djokovic pun mendekati Federer dan Nadal dalam perolehan gelar juara di arena Grand Slam. Dengan 16 gelar, dia hanya tertinggal dua gelar dari Nadal dan empat dari Federer.
Mantan petenis nomor satu dunia Mats Wilander menilai, Djokovic memiliki kemampuan bermain yang setara di berbagai jenis lapangan, sehingga berpeluang melampaui prestasi Federer dan Nadal.
“Djokovic seringkali tak kesulitan menghadapi Federer atau Nadal dan dia bisa menghadapi petenis dengan berbagai gaya main, di tanah liat, rumput, atau lapangan keras. Menurut saya, dia tak akan terkalahkan untuk waktu yang lama,” kata Wilander dalam laman resmi Wimbledon.
Juara Wimbedon 1987, Pat Cash, berpendapat sama. “Dia memiliki kesempatan untuk menjuarai Grand Slam ke-17 atau ke-18. Itu bisa saja terjadi dalam waktu dekat. Namun, jika Roger bisa menambah gelarnya, kemungkinan akan sulit dikejar petenis lain,” ujar Cash.
Bukan favorit penonton
Memulai persaingan di arena tenis profesional pada 2003, empat tahun kemudian, Djokovic mulai menjadi pengganggu Federer dan Nadal yang menyuguhkan persaingan menarik, sejak 2004. Fedal, julukan untuk Federer dan Nadal, juga, disukai penggemar karena menjalin ikatan persahabatan.
Kemenangan pada final ATP Masters 1000 Kanada 2007 menjadi kemenangan pertama Djokovic atas Federer. Dari Nadal, Djokovic menang pada pertemuan ketiga di perempat final Miami Masters pada tahun yang sama.
Saya tahu, penonton menginginkan dia untuk menang
Setelah itu, Djokovic yang lebih muda setahun dari Nadal dan enam tahun dari Federer, tak terbendung. Dia unggul 26-22 atas Federer sebelum final Wimbledon, dan 28-26 atas Nadal. Persaingan Djokovic-Nadal menjadi persaingan terbanyak dua petenis di era Terbuka (1968).
Meski telah menjadi bagian dari persaingan papan atas tunggal putra dalam kelompok “Big Three”, kehadiran Djokovic tak seperti Federer dan Nadal yang juga diwarnai ikatan persahabatan kental.
Beberapa waktu lalu, misalnya, Nadal berkunjung ke rumah Federer di Basel, Swiss, untuk minum kopi bersama dan berbincang mengenai dinamika politik yang terjadi di Asosiasi Tenis Profesional (ATP). Dalam hal personal, rasanya tak mungkin melihat Federer dan Djokovic ngopi bersama.
Nuansa “romantis” itulah yang disukai penggemar Federer dan Nadal dari keduanya. Saat jagoan mereka, untuk pertama kalinya berpasangan dalam kejuaraan Piala Rod Laver 2017, penggemar keduanya merayakan dengan membuat tagar #FedalUnited di media sosial.
Popularitas Djokovic kalah dari Federer dan Nadal meski dia telah mengimbangi prestasi kedua rivalnya. Saat berhadapan dengan petenis lain, penonton juga cenderung mendukung lawan Djokovic.
Dalam final Grand Slam pertamanya, Australia Terbuka 2008, melawan Jo-Wilfried Tsonga, Djokovic harus menunggu berhentinya siulan penonton saat dia mendapat serving for the match. “Saya tahu, penonton menginginkan dia untuk menang,” kata Djokovic saat memberikan sambutan pada acara penghormatan pemenang.
Situasi serupa terjadi ketika petenis dengan julukan “Djoker” itu berhadapan dengan Roberto Bautista Agut (Spanyol) pada semifinal, Jumat. Sempat frustasi dengan reaksi penonton, Djokovic bersikap sarkastik setelah kehilangan set kedua. Dia meminta penonton bersuara lebih kencang untuk Agut. Setelah memenangi reli 45 pukulan, dia merayakan backhand winner dengan gestur meminta penonton diam. Jari telunjuk ditempelkan di bibirnya.
Dia tak takut pada siapa pun yang ada di seberang net
Melawan Federer, tepuk tangan dan teriakan penonton terdengar lebih meriah ketika Federer mendapatkan poin. Mereka, bahkan, menyoraki Djokovic saat beradu argumen dengan wasit.
Boris Becker, yang melatih Djokovic pada 2014-2016, mengatakan, ada momen ketika Djokovic terganggu dengan kondisi tersebut. “Kami pernah membicarakan itu, tetapi dia tak tertarik membahasnya,” kata Becker pada BBC.
Djokovic akhirnya belajar dan terbiasa dengan kondisi itu, termasuk menjadi “orang luar” dari Federer dan Nadal. Dia tak takut pada siapa pun yang ada di seberang net.
“Saya ingin membuat sejarah dalam olahraga ini. Ini karena saya sangat menikmati berada dalam persaingan di olahraga ini. Saya mendapat dukungan dari keluarga,” kata sang bintang yang terlupakan itu. (AFP/REUTERS)