Diorama Kabinet ”Zaken” (1)
Wacana pembentukan kabinet ”zaken” mengemuka di ruang publik. Konsep kabinet ini beberapa kali digunakan oleh Indonesia, baik saat masih menerapkan sistem pemerintahan parlementer maupun presidensial. Apakah pembentukan kabinet ”zaken” efektif menggerakkan pemerintahan?
Kabinet zaken adalah kabinet yang diisi ahli di bidangnya masing-masing. Dengan kata lain, posisi menteri dijabat orang yang memiliki keahlian khusus di bidang tersebut. Misalnya, menteri pertanian dijabat ahli dalam bidang pertanian.
Akhir-akhir ini, pembentukan kabinet zaken ramai dibicarakan pejabat publik hingga di ruang media sosial. Gagasan ini salah satunya dilontarkan anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Ahmad Syafii Maarif. Menurut dia, kabinet pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo sebaiknya dijabat para ahli, baik dari partai maupun nonpartai.
Kabinet zaken bukan konsep baru. Pada dekade awal kemerdekaan, Indonesia menggunakan konsep kabinet zaken dalam menggerakkan roda pemerintahan. Saat itu, kabinet diisi ahli dari kalangan nonpartai. Konsep kabinet ini digunakan saat Indonesia masih menganut sistem demokrasi parlementer pada 1950-1959.
Pada masa itu, kabinet dibentuk dengan konsep sinergi antara ahli dan tokoh partai. Konsep kabinet itu hampir diterapkan setiap formatur kabinet. Jika melihat berdasarkan jabatan menteri dari kalangan ahli nonpartai, porsi ini banyak diberikan pada era Kabinet Natsir (1950-1951), Kabinet Wilopo (1952-1953), dan Kabinet Djuanda (1957-1959).
Pada masa Kabinet Natsir, ada lima posisi yang diisi ahli dari kalangan nonpartai. Posisi tersebut adalah wakil perdana menteri, menteri dalam negeri, menteri keamanan rakyat, menteri perhubungan, dan menteri pendidikan (Feith, 1973). Dari 18 jabatan di kabinet, 28 persen dijabat ahli dari luar partai.
Sementara dari kalangan partai politik, Natsir saat itu juga memilih para ahli di bidangnya untuk mengisi posisi penting lain. Salah satunya adalah Mohammad Roem, Menteri Luar Negeri yang berasal dari Partai Masyumi. Lulusan Rechts Hoogeschool atau Sekolah Tinggi Hukum ini merupakan diplomat ulung yang berpengalaman di era revolusi. Roem bahkan ditunjuk sebagai Ketua Delegasi Indonesia pada Kabinet Hatta tahun 1948.
Diisi kalangan profesional, roda pemerintahan pada masa Kabinet Natsir menemui batu sandungan. Salah satunya adalah gesekan dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). PNI yang saat itu partai kedua terbesar di parlemen justru tak berada di kabinet (Poesponegoro&Notosusanto, 2010).
Puncak gesekan terjadi saat muncul mosi tidak percaya dari parlemen yang saat itu dilontarkan oleh tokoh dari PNI, Hadikusumo. Mosi tidak percaya ini berkaitan dengan tuntutan pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1950 tentang Pemilihan Anggota Perwakilan Daerah yang dinilai tidak demokratis.
Mosi tidak percaya membuat kabinet goyah. Bahkan, Partai Indonesia Raya yang menjadi pendukung pemerintah memutuskan untuk menarik menterinya. Natsir kemudian mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno setelah menjabat perdana menteri enam bulan.
Pembentukan kabinet zaken pada Kabinet Natsir memberi pelajaran penting, yaitu perlunya kerja sama dengan parlemen. Kestabilan pemerintahan sulit dicapai tanpa dukungan dari parlemen, apalagi gesekan terjadi dengan PNI, oposisi yang menjadi partai kedua terbesar di parlemen.
Kabinet Wilopo
Formatur selanjutnya yang menggunakan konsep kabinet zaken adalah Wilopo. Natsir menaruh hampir sepertiga kalangan ahli nonpartai di dalam kabinet, sedangkan Wilopo memberi porsi lebih kecil. Dari 18 jabatan, tiga merupakan ahli di luar parpol.
Ketiganya adalah Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, Menteri Perhubungan Djuanda, dan Menteri Pendidikan Bahder Djohan. Mereka merupakan menteri yang sebelumnya menjabat pada masa Kabinet Natsir.
Wilopo tampaknya mengambil satu pesan penting dari masa kepemimpinan Natsir mengenai stabilisasi pemerintahan. Wilopo pun memberi porsi berimbang di dalam kabinet antara PNI dan Masyumi.
Baik PNI maupun Masyumi saat itu sama-sama memperoleh empat kursi di kabinet. Bahkan, dengan latar belakang PNI, Wilopo berpasangan dengan Prawoto Mangkusasmito dari Masyumi sebagai wakil perdana menteri. Padahal, kedua partai mengalami gesekan pada masa Kabinet Natsir. Hal ini menggambarkan cairnya para tokoh politik bangsa saat itu di tengah ketidakstabilan pemerintahan.
Jika melihat secara proporsi, kabinet ini terbilang ideal. Selain menyertakan perwakilan partai besar dan nonpartai, partai kecil juga memperoleh kursi di kabinet. Hal ini dilakukan agar pemerintah bisa memperoleh dukungan mayoritas. Namun, kabinet yang proporsional ternyata tak menjamin kestabilan untuk menggerakkan roda pemerintahan. Tekanan pada kabinet ini muncul dari eksternal dan internal.
Dari eksternal, tekanan salah satunya datang dari gesekan antara TNI dan parlemen yang disebabkan wacana sentralisasi dan demobilisasi tentara. Hal ini berbuntut pada tuntutan tentara agar parlemen dibubarkan (Ricklefs, 2010). Aksi itu diikuti dengan penangkapan enam anggota parlemen hingga demonstrasi di daerah yang menuntut pembubaran parlemen.
Pemerintahan yang mulai goyah diperparah dengan terjadinya peristiwa Tanjung Morawa di Sumatera Utara. Para petani penggarap lahan saat itu memprotes kebijakan pemerintah yang mengizinkan pengusaha asing untuk kembali mengusahakan tanah perkebunan. Akibat protes ini, lima orang meninggal. Hal ini berbuntut pada mosi tidak percaya yang dikeluarkan oleh Sarekat Tani Indonesia kepada Kabinet Wilopo.
Dari sisi internal, PNI di Sumatera Utara saat itu mendesak parlemen untuk mendukung mosi ini. Artinya, terdapat perlawanan dari PNI di daerah kepada pemerintah yang saat itu juga dipimpin oleh PNI. Dampaknya, Wilopo mengembalikan jabatannya kepada presiden.
Kabinet pada masa itu memberi pelajaran bahwa diperlukan kerja sama dengan pihak-pihak di luar pemerintahan untuk menjamin kestabilan kabinet.
Kabinet Djuanda
Kabinet yang selanjutnya dikenal dengan sistem kabinet zaken muncul di bawah kepemimpinan Djuanda. Kabinet ini dibentuk Soekarno yang menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur. Pada era kepemimpinan Djuanda, proporsi kabinet dari kalangan ahli nonpartai lebih dominan dibandingkan dengan kabinet sebelumnya. Dari 30 posisi, 17 dijabat ahli dari nonpartai.
Kabinet ini dibentuk dengan proporsi yang berbeda dibanding kabinet sebelumnya. Pada kabinet ini, terdapat tiga wakil perdana menteri yang terdiri dari PNI, NU, dan satu wakil dari Partai Kristen Indonesia.
Tugas yang diemban Djuanda tidak ringan karena negara terancam perpecahan. Gentingnya situasi ini tecermin pada Peristiwa Cikini, 30 November 1957. Peristiwa ini merupakan percobaan pembunuhan Soekarno saat menghadiri pesta ulang tahun ke-15 Perguruan Cikini.
Formasi kabinet yang didominasi ahli membuat kabinet ini bisa bertahan hingga akhir demokrasi parlementer tahun 1959. Kerja sama juga bisa dilakukan dengan parlemen. Hal ini terlihat dari sejumlah undang-undang yang dihasilkan, seperti UU Bank Tani dan Nelayan serta UU Penerbangan.
Kabinet Djuanda tercatat sebagai kabinet terlama yang bertahan sepanjang era demokrasi parlementer. Keberhasilan ini disebabkan menteri-menteri yang cakap dan tidak memiliki ambisi politik (Djamin, 2001).
Kestabilan
Pelajaran utama yang dapat diambil dari pembentukan kabinet zaken pada masa demokrasi parlementer adalah pentingnya menciptakan kestabilan dalam pemerintahan. Salah satu caranya, menjaga proporsi kabinet. Dalam kabinet zaken, setiap formatur mengusung proporsi menteri dengan konsep yang sama, yaitu tak memberi porsi besar dalam jabatan kabinet pada salah satu partai.
Natsir, misalnya, meskipun berasal dari Partai Masyumi, tidak memberi porsi besar pada anggota Masyumi di dalam pemerintahan. Masyumi hanya mendapat empat dari total 18 posisi di kabinet. Porsi ini sama dengan pejabat dari kalangan nonpartai.
Hal serupa dilakukan Kabinet Wilopo, formatur dari PNI. Meski PNI dan Masyumi sempat berselisih, Wilopo membagi porsi yang sama di antara kedua partai. Formasi ini diimbangi tiga menteri dari nonpartai. Keputusan itu tepat untuk menjaga kestabilan mengingat sebelumnya kedua partai bergesekan.
Konsep kabinet zaken berakhir saat Soekarno mengeluarkan Dekret 5 Juli 1959 yang menandakan berakhirnya demokrasi parlementer. Setelahnya, konsep kabinet zaken perlahan ditinggalkan.
Namun, setelah reformasi, konsep kabinet zaken tanpa disadari digunakan kembali oleh pemerintah. Apakah ada perbedaan pelaksanaan kabinet zaken zaman Soekarno dengan pemerintahan saat ini?(Bersambung) (LITBANG KOMPAS)