Diorama Kabinet Zaken (2-Selesai)
Pada era reformasi, konsep kabinet zaken kembali diterapkan. Namun, stabilisasi kabinet masih belum seutuhnya terwujud. Meski diisi kalangan profesional nonpartai, gonta-ganti kabinet masih mewarnai perputaran roda pemerintahan.
Sejak pemilihan presiden secara langsung pada 2004, para ahli dari kalangan nonpartai selalu memperoleh kursi di dalam kabinet. Jika dirata-rata, 53 persen posisi menteri di periode awal pemerintahan dijabat profesional nonpartai.
Pada era Kabinet Indonesia Bersatu I tahun 2004, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menunjuk cukup banyak menteri nonpartai. Dari
36 menteri, 53 persen di antaranya dari profesional nonpartai. Kalangan profesional ini dari berbagai latar belakang, seperti akademisi, militer, dan birokrat.
Pada era Kabinet Indonesia bersatu jilid II, SBY kembali memberikan porsi cukup besar bagi ahli nonpartai. Hampir separuh (44 persen) jabatan menteri dan setingkatnya diisi ahli nonpartai. Secara persentase, terjadi sedikit penurunan penunjukan menteri nonpartai jika dibandingkan periode pemerintahan SBY sebelumnya.
Hal serupa dilakukan Presiden Joko Widodo. Dari 34 menteri yang dilantik pada 2014, 62 persen di antaranya dari kalangan nonpartai. Jokowi menjadi presiden yang memberikan porsi terbesar di kabinet untuk kalangan nonpartai sejak pemilihan presiden secara langsung pada 2004.
Hal ini menggambarkan bahwa konsep zakenkabinet masih diterapkan pada era reformasi. Meski tak seluruhnya dijabat oleh kalangan ahli, porsi yang diberikan cukup besar. Bahkan, Jokowi memberikan porsi yang lebih besar untuk posisi menteri dari kalangan nonpartai jika dibandingkan Kabinet Djuanda, yang selama ini dikenal dengan kabinet zaken.
Perombakan kabinet
Meski diisi sejumlah kalangan profesional, pembentukan kabinet zaken tak menjamin adanya stabilisasi bagi pemerintah. Hal ini terlihat dari perombakan kabinet yang sering dilakukan, baik pada zaman Yudhoyono maupun pada era pemerintahan Jokowi.
Pada era pemerintahan Yudhoyono, misalnya, selama 10 tahun memerintah, SBY beberapa kali merombak kabinet. Pada masa kabinet Indonesia Bersatu jilid I, perombakan kabinet dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada 5 Desember 2005 dan 7 Mei 2007.
Perombakan kabinet kembali dilakukan pada era kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. SBY kala itu melakukan perombakan sebanyak tiga kali. Perombakan dilakukan pada 20 Mei 2010, 18 Oktober 2011, dan 15 Januari 2013.
Perombakan kabinet juga dilakukan pada pemerintahan Jokowi. Besarnya jumlah menteri dari kalangan nonpartai berbanding lurus dengan masifnya perombakan kabinet. Sejak 2014 hingga Mei 2019, Jokowi telah merombak kabinet sebanyak enam kali. Jumlah perombakan kabinet oleh Jokowi selama 4,5 tahun masa tugas melebihi perombakan oleh SBY saat menjabat sebagai presiden selama 10 tahun.
Perombakan kabinet ini menyiratkan masih adanya tarik ulur jabatan menteri, sekalipun telah dijabat kalangan profesional. Bongkar pasang kabinet dilakukan dengan memasukkan atau bahkan mengganti para ahli dengan ahli lainnya.
Pada era SBY, misalnya, saat merombak kabinet pada 18 Oktober 2011, perhatian kala itu turut diberikan pada kalangan profesional. Hal ini terlihat dari berkurangnya kursi menteri dari kalangan partai, dari sebelumnya 19 kursi menjadi 18 kursi. Pergantian dilakukan pada posisi Menteri Riset dan Teknologi, yang sebelumnya dijabat Suharna Surapranata dari PKS, menjadi Gusti Muhammad Hatta dari profesional.
Secara keseluruhan, ada tujuh menteri baru dan empat menteri yang digeser pada perombakan kabinet saat itu. Perombakan kabinet ini relatif besar karena melibatkan hampir sepertiga (32 persen) pejabat di dalam kabinet.
Hal serupa juga terjadi pada era Jokowi. Hanya 10 bulan setelah dilantik sebagai presiden, Jokowi memutuskan merombak kabinet. Posisi yang dirombak pun adalah posisi yang sangat vital dan dijabat oleh para ahli.
Salah satu posisi yang diganti adalah menteri koordinator perekonomian. Sebelumnya, posisi ini dijabat Sofyan Djalil, yang lalu digantikan Darmin Nasution. Keduanya sama- sama berasal dari kalangan profesional nonpartai.
Hal serupa dilakukan Jokowi pada jabatan menteri perdagangan. Posisi Rachmat Gobel digantikan Thomas Trikasih Lembong. Keduanya saat itu juga profesional nonpartai.
Bongkar pasang kabinet ini mengindikasikan ketiadaan jaminan bagi kalangan profesional untuk bertahan dalam pemerintahan. Walakin menduduki kementerian yang strategis, perombakan kabinet tetap dapat menyentuh kalangan profesional yang telah ditunjuk sebagai menteri.
Multipartai
Jika merujuk pada UUD 1945 hasil amandemen, bongkar pasang kabinet sepenuhnya hak presiden. Presiden berhak mengangkat dan memberhentikan menteri dalam setiap periode pemerintahan.
Meski memiliki hak prerogatif, pembentukan kabinet zaken yang terdiri dari kalangan profesional dalam proporsi besar bukan hal mudah dilakukan presiden. Hal ini salah satunya disebabkan adanya presidential threshold, atau ambang batas pencalonan presiden.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, pasangan calon presiden dan wakil presiden harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Partai politik ini harus memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR, atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu sebelumnya.
Jika melihat sejarah pemilu sejak 2004, tak banyak partai yang mampu meraih 20 persen kursi atau 25 persen suara sah nasional. Hanya partai pemenang pemilu yang mampu menembus ambang batas pencalonan presiden jika merujuk pada UU Pemilu tahun 2017.
Untuk itu, koalisi harus dilakukan demi mencapai batas pencalonan presiden. Apalagi, jika melihat tren 2004 hingga 2014, selalu terjadi penurunan persentase suara dari partai pemenang pemilu. Hal ini makin memperkuat kebutuhan koalisi antarpartai untuk dapat mencalonkan pasangan presiden-wakil presiden.
Koalisi yang terbangun mempersempit ruang gerak presiden untuk menunjuk menteri dari kalangan profesional nonpartai. Sebagai dampaknya, penerapan zaken kabinet secara menyeluruh sulit dilakukan.
Jika dibandingkan kabinet zaken yang dibentuk pada masa demokrasi parlementer, terdapat satu kesamaan dengan kabinet zaken pada era reformasi. Persamaan tersebut adalah belum adanya jaminan stabilisasi dalam pemerintahan.
Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi kepala negara untuk dapat menjaga stabilisasi kabinet demi roda pemerintahan. Selain itu, sistem pemerintahan presidensial yang kini bersandingan dengan sistem multipartai juga memberikan tantangan tersendiri bagi presiden untuk membentuk kabinet. (LITBANG KOMPAS)