Menempatkan Kebijakan Zonasi di Zonanya
Zona penerapan PPDB zonasi disadari merupakan awalan terhadap tujuan besar pemerataan kualitas pendidikan. Mengingat pemerataan merupakan usaha yang terus-menerus yang tak akan pernah mencapai titik sempurna, kebijakan semacam PPDB zonasi pun perlu segera dibarengi dengan kebijakan yang menyasar pada indikator mutu sehingga makin mendekati pemerataan kualitas.
Mari kita bayangkan jika kebijakan penerimaan peserta didik baru (PPDB) sistem zonasi juga diterapkan untuk jenjang pendidikan tinggi. Para lulusan SMA yang tinggal di dua wilayah Depok yang terpisah sejauh 500 kilometer akan bersorak girang.
Pertama, mereka yang tinggal di kawasan Bulaksumur, Depok, Sleman, Yogyakarta akan mendapatkan golden ticket untuk masuk ke Universitas Gadjah Mada semata karena tinggal di sekitar kampus UGM.
Bila tak masuk ke UGM karena keterbatasan kuota, mereka masih dapat mendaftar masuk universitas negeri lain yang juga terletak di Kecamatan Depok, yakni Universitas Negeri Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga maupun Universitas Pembangunan Nasional (UPN) dengan jaminan penerimaan paling tinggi karena tinggal di Kecamatan Depok.
Kedua, para lulusan SMA yang tinggal di daerah Beji, Depok, Jawa Barat pun akan bernafas lega. Jaminan penerimaan dari Universitas Indonesia akan menyertai setiap lulusan SMA yang tinggal di daerah tersebut, tanpa perlu melewati seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN), seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN), ujian tertulis berbasis komputer (UTBK), maupun serta seleksi mandiri.
Melihat arah tersebut, penerapan PPDB zonasi ini memang disadari sebagai awalan terhadap tujuan besar pemerataan kualitas pendidikan, bukan langsung menghasilkan pemerataan kualitas pendidikan.
Sayangnya, hal tersebut merupakan pengandaian semata. Hingga saat ini, kebijakan penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi tak menganut sistem zonasi seperti PPDB di tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Ketika pendidikan tingkat dasar dan menengah menerapkan kebijakan PPDB sistem zonasi dalam tiga tahun terakhir, penerimaan mahasiswa baru hingga saat ini masih menggunakan tiga jalur, yakni SNMPTN, SBMPTN, maupun Ujian Mandiri. Mulai tahun 2019, tiap calon mahasiswa akan mengikuti seleksi yang diselenggarakan oleh institusi bernama Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT).
Di tingkat dasar dan menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan kebijakan PPDB zonasi dengan dua tujuan. Pertama, tujuan jangka panjang, yakni mewujudkan pemerataan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia. Sedangkan tujuan jangka pendek adalah memberikan akses yang lebih setara dan berkeadilan kepada peserta didik.
Di jenjang selanjutnya, Kementerian Ristekdikti juga menggunakan prinsip keadilan sebagai dasar pelaksanaan penerimaan siswa baru. Keadilan yang dijadikan semangat penerimaan mahasiswa baru tersebut didefinisikan dengan tidak membedakan agama, suku, ras, jenis kelamin, umur, kedudukan sosial, kondisi fisik, dan tingkat kemampuan ekonomi calon.
Kedua kementerian pengelola pendidikan di Indonesia di atas sama-sama menggunakan prinsip keadilan dalam penerimaan siswanya. Bedanya, yang satu berdasarkan lokasi, yang lain berdasarkan syarat akademis. Perbedaan cara pandang tersebut layak dipersoalkan dan dievaluasi dalam koridor tujuan yang hendak dicapai.
Terlebih, UU No 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) menjamin hak masyarakat untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan (UU Sisdiknas Pasal 8, UU Perguruan Tinggi Pasal 91). Akan tetapi, bisa juga dilihat titik temunya bila berkaca dari perspektif indikator mutu pendidikan dasar dan menengah di Indonesia.
Peningkatan Akses
Untuk membandingkan perbedaan cara pandang PPDB di tingkat pendidikan dasar dan menengah dengan pendidikan tinggi, perlu dilihat langsung dari aturan yang mendasarinya.
Di tingkat pendidikan tingkat dasar dan menengah, terdapat empat aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan kebijakan PPDB zonasi dalam tiga tahun terakhir. Aturan tersebut meliputi, Pemendikbud No. 17/2017, Permendikbud No. 14/2018, Permendikbud No. 51/2018, dan Permendikbud No. 20/2019. Keempat aturan tersebut juga mendasarkan pada UU Sisdiknas.
UU Sisdiknas diterbitkan dengan salah satu pemahaman dasar bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan (UU 20/2003, Menimbang huruf c).
Pemahaman dasar tersebut diulangi dalam Pasal 4 ayat 1 saat membicarakan tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan, yakni “diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggai hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.
Prinsip dalam UU Sisdiknas tersebut kemudian dikonkretkan dalam kebijakan yang tertuang dalam keempat Permendikbud di atas. Kebijakan PPDB zonasi dalam Permendikbud tersebut menegaskan bahwa PPDB bertujuan untuk “menjamin penerimaan peserta didik baru berjalan secara objektif, akuntabel, transparan, dan tanpa diskriminasi sehingga mendorong peningkatan akses layanan pendidikan” (Permendikbud 17/2017 Pasal 2, Permendikbud 14/2018 Pasal 2, Permendikbud 51/2018 Pasal 2).
Dalam keempat aturan tersebut, tujuan dari kebijakan PPDB zonasi secara eksplisit disebutkan dalam Permendikbud No. 51/2018 pasal 3, “Peraturan Menteri ini bertujuan untuk mendorong peningkatan akses layanan pendidikan”. Di luar itu, tak disebutkan secara eksplisit tujuan umum jangka panjang yang hendak dicapai untuk pemerataan kualitas pendidikan.
Dengan demikian nantinya, evaluasi menyeluruh serta kritik terhadap pelaksanaan kebijakan PPDB zonasi ini pun perlu dibatasi pada tujuan yang eksplisit yang disebutnya, yakni peningkatan akses layanan pendidikan.
Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan PPDB zonasi ini sendiri memang belum dapat langsung diterapkan secara menyeluruh mengingat mereka yang terkena kebijakan ini baru akan lulus pada tahun 2020. Perlu waktu untuk melihat pelaksanaan dan hasilnya, baru kemudian dapat dievaluasi.
Akan tetapi, sebaliknya, sebagai sebuah kebijakan, sejak awal perlu sudah ditetapkan durasi evaluasi dan kriteria keberhasilannya. Ketika evaluasi tersebut kemudian dilaksanakan, hasil peningkatan akses layanan pendidikan dasar dan menengah-lah yang perlu dijadikan fokus.
Sederhananya, penerapan kebijakan tersebut harus dapat menjawab pertanyaan, apakah semakin mudah anak usia sekolah dasar dan menengah mendapatkan akses pendidikan? Jawabannya dapat dilihat dalam beberapa kriteria, seperti angka putus sekolah, angka lama rata-rata sekolah (RLS), angka partisipasi kasar (APK), maupun angka partisipasi murni (APM) selama pelaksanaan kebijakan tersebut, misalkan dari 2018 hingga 2020.
Namun, bukan berarti kebijakan PPDB zonasi dapat lepas dari pertanyaan tentang manfaat kebijakan tersebut bagi pemerataan kualitas pendidikan. Sebagai salah satu upaya terintegrasi dalam pengelolaan pendidikan, manfaat PPDB zonasi bagi pemerataan kualitas pendidikan dapat dilihat sebagai efek jangka panjang.
Karena di level kebijakan belum muncul secara eksplisit, nantinya rujukan umum untuk melihat pemerataan kualitas pendidikan yang dapat dilihat adalah UU Sisdiknas.
Penerimaan Mahasiswa
Di tingkat pendidikan tinggi, pemerataan akses pendidikan mendapatkan dasar dalam UU No. 12/2012. Terbitnya UU Pendidikan Tinggi didasarkan salah satunya oleh keinginan untuk “mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan yang berkeadilan dalam memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan kepentingan masyarakat bagi kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan, diperlukan penataan pendidikan tinggi secara terencana, terarah, dan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek demografis dan geografis” (Menimbang huruf d).
Dalam hal penerimaan mahasiswa baru, UU tersebut kemudian diwujudkan di level kebijakan dalam Permenristekdikti No. 60 Tahun 2018. Di dalamnya, penerimaan mahasiswa diselenggarakan dengan prinsip adil, akuntabel, fleksibel, efisien, dan transparan.
Secara praktis, penerimaan mahasiswa dilakukan dengan jalur seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN), seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN), ujian tertulis berbasis komputer (UTBK), serta seleksi mandiri.
Mengingat tak muncul istilah pemerataan dalam penerimaan mahasiswa baru, tentu saja evaluasi akan lebih mengarah pada prinsip penerimaan mahasiswa. Oleh karena itu, apabila muncul, gugatan yang dapat dialamatkan kepada kebijakan tersebut adalah, apakah kebijakan penerimaan mahasiswa baru dengan berbagai jalur tersebut telah dilaksanakan dengan prinsip adil, akuntabel, fleksibel, efisien, dan transparan?
Di level kebijakan, memang tidak muncul tujuan pemerataan akses pendidikan. Akan tetapi, di tingkat Undang-Undang, sebenarnya isu pemerataan lebih jelas diungkapkan dalam jenjang pendidikan tinggi daripada pendidikan dasar dan menengah. Bahkan, pendidikan yang terjangkau dan merata di jenjang pendidikan tinggi dihubungkan dengan kosakata “memperhatikan aspek demografis dan geografis”.
Dengan membandingkan dua Undang-Undang serta kebijakan yang kemudian mengkonkretkannya, tampak bahwa pertimbangan zonasi seharusnya lebih menjadi perhatian bagi Kemenristekdikti daripada Kemendikbud. Hal itu ditegaskan dalam UU Pendidikan Tinggi yang menyebutkan pentingnya memperhatikan aspek demografis dan geografis.
Akan tetapi, di tingkat kebijakan, penekanan terhadap pemerataan pendidikan dengan memperhatikan aspek geografi malah lebih jelas dimunculkan oleh pendidikan di tingkat dasar dan menengah.
Temuan dari penelusuran UU pendidikan dasar dan menengah dibandingkan dengan UU pendidikan tinggi dapat menjadi evaluasi bagi kebijakan yang diterapkan dalam aturan di bawahnya.
Di tingkat aturan yang lebih tinggi, penerapan kebijakan PPDB zonasi di jenjang pendidikan dasar dan menengah bukanlah melanggar amanat UU Sisdiknas, akan tetapi memperluas, bahkan dapat dilihat jejaknya dari Pancasila dan UUD 1945.
Dalam Pancasila dan UUD 1945, jenis keadilan yang ingin diwujudkan adalah keadilan sosial. Keadilan sosial menunjukkan hubungan antara pemerintah dan warga negara. Di dalamnya, muncul kewajiban pemerintah untuk mewujudkan hak seluruh warganya secara merata, termasuk dalam hal memberikan pendidikan yang bermutu. Keadilan sosial disebutkan secara eksplisit dalam Pancasila sila ke-5 maupun Pembukaan UUD 1945.
Dari sisi pemerintah, keadilan sosial muncul dalam Pasal 18A nomor (2) UUD 1945 perubahan kedua yang berbunyi, “hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang undang”.
Poin yang muncul di sini adalah memberikan pelayanan umum dan pembagian tugas pemerintah pusat dan daerah secara adil. Sedangkan dari sisi warga negara, keadilan sosial muncul dalam Pasal 28H nomor (2) UUD 1945 perubahan kedua, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Dengan demikian, baik kebijakan pendidikan dasar-menengah maupun kebijakan pendidikan tinggi, juga harus dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan PPDB zonasi telah berada dalam rel untuk mewujudkan amanat Pancasila dan UUD 1945. Di tingkat pendidikan tinggi, kebijakan penerimaan mahasiswa baru seharusnya juga menjawab amanat Pancasila dan UUD 1945.
Apalagi, UU Pendidikan Tinggi secara eksplisit menyebutkan ingin memperhatikan aspek demografis dan geografis dalam mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan yang berkeadilan dalam memperoleh pendidikan tinggi.
Setelah membandingkan kedua kebijakan di dua jenjang pendidikan (dasar-menengah dan tinggi), selanjutnya, bagaimana titik temu yang dapat diperlihatkan terhadap kebijakan PPDB zonasi ini bagi kelanjutan pendidikan peserta didik di jenjang pendidikan tinggi?
Baca juga: Politik Pendidikan dan Keadilan Sosial
Kualitas Merata
Titik temu antara dua kebijakan jenjang pendidikan dasar-menengah dengan pendidikan tinggi dapat dilihat dengan mencermati tujuan jangka panjang yang ingin diwujudkan, yakni pemerataan kualitas atau mutu pendidikan. Di tingkat pendidikan dasar-menengah, hal itu dapat dicari jejaknya dari UU Sisdiknas (UU No 20/2003) serta pelaksanaannya dalam penerapan standar mutu pendidikan.
UU Sisdiknas ini menyebutkan adanya kesamaan hak bagi warga negara untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (Pasal 5 ayat 1). Selain itu, secara khusus, disebutkan pula bahwa warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus (Pasal 5 ayat 4).
Dengan demikian, ada dua hal yang dapat dilihat dalam pelaksanaan. Pertama menyangkut pendidikan yang bermutu bagi semua anak usia sekolah dan pendidikan khusus bagi mereka yang memiliki potensi khusus.
Di tingkat pelaksanaan, mutu pendidikan diteropong oleh pemerintah dengan kriteria standar mutu pendidikan dasar dan menengah yang mengacu standar mutu dari Badan Nasional Standarisasi Pendidikan (BNSP).
Di dalam standar mutu tersebut, kemendikbud telah menentukan tujuan umum yang ingin dicapai, yakni menetapkan standar mutu kompetensi lulusan. Artinya, seluruh proses kegiatan belajar mengajar selama pendidikan dasar dan menengah diarahkan agar peserta didik memiliki dapat lulus dengan kompetensi tertentu.
Di dalamnya, mutu kompetensi lulusan yang standar tersebut didukung oleh tujuh standar mutu lain, yakni dalam hal isi, proses, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, pengelolaan, sarana dan prasarana, serta pembiayaan. Jadi, terdapat delapan standar mutu pendidikan yang dijadikan patokan.
Di tingkat pendidikan tinggi, syarat penerimaan mahasiswa baru lebih condong pada hal akademis. Artinya, kualitas atau mutu lulusan dari pendidikan menengah menjadi penentu masuk ke pendidikan tinggi. Di sinilah dapat diambil titik temu antara standar mutu pendidikan dasar dan menengah dengan penerimaan mahasiswa baru di tingkat pendidikan tinggi.
Ketika penerimaan mahasiswa baru dianggap lebih menekankan syarat akademis dibandingkan lokasi tinggal peserta didik baru, kompetensi lulusan pendidikan menengahlah yang menjadi ukuran. Artinya, tujuan standarisasi mutu pendidikan menengah bertemu dengan syarat penerimaan mahasiswa baru.
Dengan demikian, secara teoretis, kualitas atau mutu pendidikan yang diamanatkan oleh UU Sisdiknas tetap terukur dengan adanya standar mutu pendidikan dasar dan menengah, bahkan dapat memenuhi syarat masuk pendidikan tinggi.
Akan tetapi, dengan adanya standar mutu pendidikan dasar dan menengah, bukan berarti kualitas atau mutu pendidikan di Indonesia telah merata. Standar mutu pendidikan dasar dan menengah merupakan dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Standar tersebut dapat juga digunakan untuk melihat pemerataan mutu pendidikan dari tujuan umum serta tujuh kriteria yang dimilikinya.
Dalam kerangka tersebut, dapat dilihat peran kebijakan PPDB zonasi dalam pemerataan kualitas atau mutu pendidikan. Kebijakan ini, pada dirinya sendiri membuka akses seluas-luasnya agar tiap anak usia dasar dan menengah dapat mengenyam pendidikan.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa kebijakan PPDB zonasi merupakan usaha untuk memperluas konsep pendidikan dasar 9 tahun menjadi pendidikan 12 tahun. Karena PPDB zonasi mempermudah anak usia sekolah untuk mendapatkan sekolah sejak tingkat SD hingga SMA, pelaksanaan kebijakan ini meningkatkan lamanya anak mengenyam pendidikan hingga 12 tahun (hingga SMA). Artinya, kebijakan pendidikan dasar 9 tahun (SD-SMP) dapat diperluas menjadi pendidikan dasar 12 tahun (SD-SMP-SMA).
Dengan memaksimalkan penerimaan peserta didik dari jalur zonasi, yang langsung tampak adalah kemudahan akses masuk ke sekolah. Hal itu tidak langsung menentukan kualitas pendidikan mengingat kualitas pendidikan dalam bahasa BNSP memuat kurang lebih delapan kriteria.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kebijakan PPDB zonasi tidak secara langsung meningkatkan pemerataan kualitas pendidikan di tingkat dasar dan menengah. Namun, kebijakan tersebut juga tidak menjadi penghalang bagi usaha pemerataan kualitas pendidikan.
Yang pasti, kebijakan PPDB zonasi ini telah membuka situasi konkret di lapangan menyangkut pendidikan di Indonesia, yakni bahwa kualitas pendidikan di Indonesia belum merata.
Dasar Proporsi
Selain menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia belum merata, dalam pelaksanaannya selama tiga tahun terakhir, kebijakan PPDB zonasi di tingkat pendidikan dasar-menengah juga diwarnai beberapa persoalan. Berbagai persoalan yang muncul dapat digolongkan menjadi dua bagian besar, pertama dalam hal sosialisasi dan kedua dalam hal pelaksanaan.
Dalam hal sosialisasi, muncul berbagai jenis kasus, mulai dari penafsiran yang berbeda terhadap aturan PPDB zonasi di tiap daerah, adanya sekolah-sekolah yang padat peminat di sisi lain ada sekolah-sekolah yang sepi peminat, hingga adanya blankspot yakni daerah yang tak terjangkau sekolah negeri.
Persoalan lain muncul saat pelaksanaan, mulai dari kasus pindah KK demi mendapatkan sekolah yang diinginkan, kecurangan menggunakan surat keterangan tidak mampu, serta masih adanya antrean yang membludak saat pendaftaran dibuka.
Dua bagian besar persoalan tersebut baru muncul ketika kebijakan dilaksanakan. Artinya, masih saja ada faktor-faktor yang luput dari perkiraan ketika sebuah kebijakan dirancang.
Munculnya persoalan tersebut langsung ditangkap oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Hasilnya, selama tiga tahun penerapan PPDB sistem zonasi, terjadi dua kali revisi aturan PPDB zonasi yang terwujud dalam Permendikbud setiap tahunnya.
Revisi yang paling tampak ada dalam proporsi penerimaan siswa atas dasar zonasi. Secara umum, PPDB pendidikan dasar dan menengah ditempuh dalam tiga jalur, zonasi, prestasi, dan kepindahan orangtua dengan proporsi tertentu. Proporsi tersebut menurun dalam tiga tahun terakhir.
Sebelumnya, proporsi penerimaan siswa atas dasar zonasi mendapat jatah 90 persen dari calon siswa, diikuti lima persen dari jalur prestasi, dan lima persen dari jalur perpindahan tugas orangtua/wali. Pada permendikbud terbaru, jalur zonasi mengambil jatah 80 persen dari siswa masuk, diikuti 15 persen jalur prestasi, dan lima persen jalur perpindahan tugas orangtua/wali.
Adanya penyesuaian menyangkut proporsi tersebut menunjukkan bahwa penentuan proporsi masih dapat diubah-ubah. Artinya, tak ada dasar yang teguh darimana angka 90 persen maupun 80 persen berasal.
Kemungkinan besar, angka tersebut dapat muncul dari kajian menyangkut demografi dan geografi di sekitar letak sekolah. Akan tetapi, melihat beberapa persoalan yang muncul di lapangan, pemetaan dari sisi demografi dan geografi sangatlah partikular, tergantung situasi di lapangan.
Dengan demikian penentuan angka 90 maupun 80 persen bagi jalur zonasi terlalu besar mengingat situasi yang berbeda-beda di daerah. Yang jelas, kebijakan PPDB zonasi berupaya untuk membuka akses sebesar-besarnya kepada peserta didik baru untuk bersekolah.
Artinya, mayoritas siswa suatu sekolah diupayakan merupakan siswa yang berasal dari sekitar sekolah tersebut. Dengan pemahaman bahwa jalur zonasi harus menjadi mayoritas atau fokus utama, penentuan 51 persen pun sudah dapat dikatakan mayoritas.
Dengan demikian, sebagai kebijakan, penentuan angka zonasi sebenarnya dapat diserahkan kepada pemerintah daerah yang lebih mengetahui kondisi di lapangan. Tentu saja, prinsip mayoritas bagi penentuan jalur zonasi perlu menjadi acuan dasarnya. Dengan memberikan peran kepada pemerintah daerah dalam hal pengelolaan pendidikan, pemerintah pusat sekaligus mewujudkan amanat UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.
Pusat dan Daerah
Dalam UU Pemda, telah dibagi kewenangan pendidikan dasar dan menengah. Di dalamnya diatur bahwa urusan pengelolaan pendidikan menengah diberikan kepada pemerintah provinsi dan pengelolaan pendidikan dasar diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota. Di sini, pemerintah pusat bertugas menetapkan standar nasional pendidikan.
Dalam hal kurikulum, pemerintah pusat bertugas menetapkan kurikulum nasional untuk pendidikan menengah, pendidikan dasar, pendidikan usia dini, dan pendidikan nonformal.
Di tingkat bawahnya, pemerintah provinsi berwenang menetapkan kurikulum muatan lokal untuk pendidikan menengah dan muatan lokal pendidikan khusus. Sedangkan pemerintah kebupaten/kota berwenang menetapkan muatan lokal pendidikan dasar, pendidikan anak usia dini, dan pendidikan nonformal.
Dalam UU Pemda tersebut disimpulkan bahwa urusan yang masih menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah urusan pendidik, tenaga pendidikan, dan akreditasi secara nasional. Dalam hal aksesibilitas pelayanan dasar pendidikan, tugas telah diberikan kepada pemerintah daerah (Pasal 12 huruf a dan Pasal 36 ayat 8 huruf a).
Dalam Pancasila dan UUD 1945, muncul kewajiban pemerintah untuk mewujudkan hak seluruh warganya secara merata, termasuk dalam hal memberikan pendidikan yang bermutu.
Pembagian tugas pengelolaan pendidikan antara pemerintah pusat dan daerah ini memang pernah dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, MK akhirnya menegaskan bahwa pendidikan menengah tetap diserahkan kepada pemerintah provinsi.
Hal itu tertuang dalam dua putusan MK, yakni putusan MK Nomor 30/PUU-XIV/2016 dan putusan MK Nomor 31/PUU-XIV/2016 pada 26 Juli 2017. Dengan demikian, pembagian kewenangan pendidikan dasar tetap berada di tangan pemerintah kabupaten/kota dan kewenangan pengelolaan pendidikan menengah tetap berada di tangan pemerintah provinsi.
Dengan memberikan porsi semestinya kepada pemerintah daerah, pemerintah pusat dapat lebih mencurahkan perhatian kepada tugas-tugasnya, seperti menentukan standar nasional pendidikan serta menetapkan kurikulum pendidikan.
Dengan demikian, kebijakan seperti PPDB zonasi pun lebih diharapkan berupa prinsip, misalkan menentukan bahwa mayoritas siswa berasal dari jalur zonasi tanpa harus menentukan angka proporsi yang berlaku nasional.
Alasannya, sebaran sekolah di tiap daerah yang memang berbeda. Terlebih lagi, penerapan PPDB zonasi ini telah menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia belum merata.
Dengan penerapan prinsip tersebut, tujuan mempermudah akses pendidikan dapat terlaksana dan diharapkan juga dapat menyasar tujuan jangka panjang demi pemerataan kualitas pendidikan. Oleh karena itu, pemerintah daerah lebih dapat menerapkan kebijakan PPDB zonasi sesuai dengan sebaran sekolah serta ketimpangan kualitas yang ada.
SDM Kelas Dunia
Menimbang kebijakan PPDB zonasi di tingkat pendidikan dasar dan menengah, kata kunci yang muncul dalam perdebatan adalan pemerataan akses dan kualitas. Dalam penyelidikan berdasarkan aturan-aturan dan praktik yang terjadi, tampak bahwa alur pemerataan kualitas pendidikan berbeda dengan alur pemeratan akses pendidikan.
Walaupun dikatakan bahwa kebijakan PPDB zonasi juga diharapkan akan memeratakan kualitas pendidikan, pada praktiknya kebijakan tersebut lebih cenderung mewujudkan pemerataan akses pendidikan.
Hal tersebut memang sejalan dengan pernyataan Mendikbud yang menyatakan bahwa, tujuan dari kebijakan PPDB zonasi di antaranya mengurangi kesenjangan yang terjadi di masyarakat, menjamin pemerataan akses layanan pendidikan bagi siswa, mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga, menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah, khususnya sekolah negeri, serta membantu analisis perhitungan kebutuhan dan distribusi guru.
Mendikbud juga menyatakan bahwa secara lebih luas, upaya ini mendorong pemerintah daerah serta peran serta masyarakat dalam pemerataan kualitas pendidikan sesuai amanat UU Sisdiknas.
Sedangkan tujuan jangka pendek adalah memberikan akses yang lebih setara dan berkeadilan kepada peserta didik.
Dengan semangat yang sama, penerapan kebijakan PPDB zonasi ini pun dapat diselaraskan juga dengan UU Pemerintah Daerah sehingga PPDB zonasi lebih bersifat prinsip daripada teknis.
Melihat arah tersebut, penerapan PPDB zonasi ini memang disadari sebagai awalan terhadap tujuan besar pemerataan kualitas pendidikan, bukan langsung menghasilkan pemerataan kualitas pendidikan.
Mengingat pemerataan merupakan usaha yang terus-menerus yang tak akan pernah mencapai titik sempurna, kebijakan semacam PPDB zonasi pun perlu segera dibarengi dengan kebijakan yang menyasar pada indikator mutu sehingga makin mendekati pemerataan kualitas, yakni pemerataan mutu dari sisi isi, proses, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, pengelolaan, sarana dan prasarana, serta pembiayaan.
Dengan usaha bersama tersebut, terwujudnya sumber daya manusia Indonesia kelas dunia (world-class human resources) seperti disampaikan Presiden Jokowi dalam wawancara dengan majalah Nikkei Asian Review baru-baru ini diharapkan segera terwujud. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Mengurai Sistem PPDB Zonasi