Canda, Keluarga, dan Karya Menjadi Cerminan Hidup Arswendo
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
Hidup penuh canda dan tetap bertanggung jawab menjadi cerminan Arswendo Atmowiloto (70). Ia tak pernah lari menghadapi segala persoalan yang telah dibuatnya. Bahkan, hingga maut harus menjemputnya, ia tetap tersenyum.
Caecilia Tiara, anak ketiga Arswendo, mencoba menahan tangis sambil terus menatap nanar jenazah ayahnya yang terbaring lega di dalam peti. Bibir wajah Caecilia terus bergetar. Ibunda, Agnes Sri Hartini, pun ikut memegang tangan putri ragilnya itu. Mereka tersenyum.
"Semangat abah! Kami akan selalu ingat, harta yang paling berharga adalah keluarga," kata Caecilia sambil mengepalkan tangan sedikit ke atas. Peti pun segera ditutup. Misa arwah di Gereja Santo Matius Penginjil, Bintaro, Kota Tangerang Selatan, Sabtu (20/7/2019), telah usai.
Tak lama, terdengar alunan lagu "Harta Berharga". Sekelompok anak yang tergabung dalam Bina Iman Anak Paroki Santo Matius Penginjil menyanyikan lagu film Keluarga Cemara itu dengan lirih dan sangat indah.
Sosok Arswendo memang tak bisa dilepaskan dari kisah Keluarga Cemara. Ia telah menulis novel itu sejak 1981 sebelum akhirnya diangkat dalam sebuah sinetron pada pertengahan 1990-an sampai medio 2000-an.
Caecilia merasa, kisah Keluarga Cemara telah mengajarkan banyak nilai dalam hidup keluarganya. Semasa kecil, ayahnya senantiasa mengajarkan keluarga untuk tak pernah berhenti bersyukur.
"Mau senang, sedih, bahagia, kecewa, semua harus disyukuri. Ketika bapak dirawat di rumah pun, kami selalu berkumpul di kamar untuk nyanyi-nyanyi, peluk, cerita, dan ketawa. Justru di saat terakhir yang kami rasakan adalah keluarga," ungkap Caecilia.
Setia berkarya
Arswendo ternyata tak pergi begitu saja. Ia sempat menyelesaikan novelnya, "Barabas: Diuji Segala Segi" di tengah masa kesakitannya melawan kanker kandung kemih. Arsewendo tetap setia menyelesaikan tugas yang telah dimulainya itu.
Apabila di tengah jalan dia merasa sakit dan tak kuat untuk menulis lagi, penulis Senopati Pamungkas dan mantan Wartawan Kompas itu meminta bantuan orang-orang terdekat menjadi perantara menulis.
"Bapak itu selalu berkarya. Saya hampir tidak pernah melihat bapak tidak megang pulpen untuk menulis dan di depan laptop. Jadi memang luar biasa produktifnya bapak sampai saat sedang sakit, minta ditulisin. Beliau dikte apa yang ingin ditulis untuk buku," tutur Caecilia.
Bapak itu selalu berkarya. Saya hampir tidak pernah melihat bapak tidak megang pulpen untuk menulis dan di depan laptop. Jadi memang luar biasa produktifnya bapak sampai saat sedang sakit, minta ditulisin. Beliau dikte apa yang ingin ditulis untuk buku.
Aktor Slamet Rahardjo menyampaikan, Arswendo memang merupakan sosok seniman sejati. Pencipta seni yang berjiwa merdeka, bebas, dan tak pernah patah semangat.
"Dia berani mengambil risiko atas segala karyanya," kata Slamet, seraya menyinggung kasus yang pernah melibatkan Arswendo pada tahun 1990 atas kasus Tabloid Monitor. Saat itu, Arswendo harus mendekam di penjara selama lima tahun karena dinilai menistakan agama.
Penuh canda
Ciri khas Arswendo adalah membawa semuanya dalam canda dan tawa. "Ketawanya itu lho khas banget. Itu (persoalan) yang berat seakan menjadi ringan," ujarnya.
Seniman Butet Kertaradjasa pun bahkan menyampaikan, melepas Arswendo tak sepatutnya dengan suasana tegang. Sebab, Arswendo pun dikenal suka bercanda. "Arswendo telah membukakan jalan untuk kelakar di surga," tutur Butet.
Melepas Arswendo tak sepatutnya dengan suasana tegang. Sebab, Arswendo pun dikenal suka bercanda. Arswendo telah membukakan jalan untuk kelakar di surga.
Budayawan Eros Djarot menyampaikan, mungkin fisik Arswendo telah pergi, tetapi canda dan tawa dia tak akan pernah ikut pergi.
"Arswendo itu tak akan pernah pergi. Jadi selalu ada. Itu yang saya yakini. Karena yang dia tinggalkan itu senyuman," kata Eros.
Arswendo telah menjadi teladan mengisi waktu menunggu di dunia dengan hal yang berguna bagi sesama. Melalui canda, tawa, dan karya, yang tentu dia tahu tak akan pernah mati.
Pada 1986, Arswendo pernah menulis dalam novel Canting, "Manusia hidup menunggu untuk mati. Kehidupan justru terasakan dalam menunggu. Makin bisa menikmati cara menunggu, makin tenang dalam hati."
Selamat jalan, Arswendo! Tentu dengan senyummu yang abadi...