JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan harga tiket pesawat berdampak buruk pada industri perhotelan di semester I-2019. Kondisi ini diharapkan bisa diperbaiki pemerintah dengan mengadakan evaluasi, tidak hanya terhadap harga tiket pesawat, tetapi juga industri penerbangan.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukmadani mencatat, tingkat keterisian (okupansi) hotel pada semester I-2019 turun 10-30 persen secara tahunan, dengan rata-rata okupansi 40-50 persen. Dampak tersebut, ujarnya, juga paling besar terjadi di Indonesia timur.
”Industri perhotelan terpuruk di semester I. Selain karena ada pemilu, kenaikan harga tiket yang juga ikut memukul kinerja industri perhotelan,” kata Hariyadi dalam temu media di kantor Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) di Jakarta, Selasa (23/7/2019).
Beberapa kebijakan pemerintah untuk menurunkan harga tiket pada Mei dan Juli lalu dinilai Hariyadi juga tidak akan lekas memperbaiki tingkat okupansi hotel di semester kedua tahun ini. ”Sekarang memang ada tren kenaikan 5 persen, tapi hal itu biasa terjadi di semester kedua,” ucapnya.
Wakil Ketua PHRI Alan Maulana Yusran mengatakan, kenaikan harga tiket yang drastis tidak hanya menyebabkan penurunan aktivitas berpelesir, tetapi juga kegiatan pertemuan, insentif, konvensi, dan ekshibisi (MICE) yang paling banyak menggunakan pesawat untuk perjalanan ke sejumlah daerah.
”Pergerakan orang dengan kegiatan MICE ini 30 persennya menggunakan APBD. Mereka ini yang selama ini menyumbang 60 persen okupansi di daerah-daerah jauh, yang belum tentu daerah wisata. Jadi, hal itu juga harus dipertimbangkan,” ujarnya di acara yang sama.
Kartel harga tiket
Ketua Bidang Kebijakan Publik Apindo Sutrisno Iwantono menyebutkan, masalah itu bisa diatasi jika pemerintah menyudahi praktik kartel harga tiket pesawat oleh dua maskapai penerbangan. Pasalnya, 97 persen penerbangan di dalam negeri dikuasai Garuda Indonesia dan Lion Air dan masing-masing anak usaha mereka.
”Apindo akan bekerja sama dengan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) untuk mendorong pemerintah mengevaluasi maskapai tersebut karena ini menyangkut kepentingan orang banyak,” ujarnya.
Adapun mereka menyoroti tiga masalah lain selain kartel tiket pesawat. Masalah itu antara lain adanya kartel kargo, rangkap jabatan di beberapa maskapai penerbangan yang bertentangan dengan aturan persaingan usaha, serta adanya persaingan tidak sehat dengan maskapai AirAsia.