MA Tolak Kasasi Pemerintah, Pencegahan Kebakaran Hutan Lebih Serius
Mahkamah Agung juga meminta pemerintah membuat peta jalan mitigasi kebakaran hutan dan penanganan darurat serta rencana kompensasi bagi korban kebakaran, termasuk akses gratis ke pengobatan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan pemerintah atas gugatan warga negara karena gagal mencegah kebakaran hutan yang sangat besar di Kalimantan Tengah dan sekitarnya tahun 2015. Pemerintah diharapkan menerima putusan tersebut dan lebih serius mencegah kebakaran hutan dan lahan di kemudian hari.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia Nur Hidayati mengatakan, tata kelola hutan harus diperbaiki jika pemerintah, khususnya presiden, serius memperbaiki kesalahan yang terjadi pada 2015.
”Presiden harus menerima keputusan penting ini. Mengakui kelalaian di masa lalu adalah satu-satunya jalan ke depan untuk melindungi kesehatan warga dan masa depan,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa (23/7/2019).
Keputusan kasasi yang dikeluarkan Mahkamah Agung dengan nomor perkara 3555K/PDT/2018 dan ditandatangani pada 16 Juli 2019 itu memerintahkan pemerintah untuk menerbitkan tujuh peraturan di bawah payung undang-undang. Aturan ini termasuk Undang-Undang Lingkungan Hidup.
Adapun tujuh peraturan pemerintah yang diterbitkan harus mencakup penilaian kerusakan lingkungan yang disebabkan kebakaran dan peninjauan izin yang dilakukan oleh perusahaan yang konsesi perkebunannya mengalami kebakaran. Langkah tersebut untuk menilai kemungkinan tuntutan pidana.
Mahkamah Agung juga meminta pemerintah membuat peta jalan mitigasi kebakaran hutan dan penanganan darurat serta rencana kompensasi bagi korban kebakaran, termasuk akses gratis ke pengobatan. Pemerintah pun diminta membuat rumah sakit khusus untuk menangani penyakit pernapasan dan penyakit lain yang disebabkan paparan asap.
Putusan ini berawal dari gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan tujuh warga pada 2016. Mereka menggugat Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Tengah.
Salah satu warga yang menggugat, Arie Rompas, menuturkan, tindakan pencegahan dan respons pemerintah belum memadai dalam menghadapi kebakaran hutan dan lahan yang terjadi berulang-ulang. Akibatnya, krisis kesehatan pun memengaruhi jutaan masyarakat.
Setiap tahun generasi baru Indonesia terkena kebakaran dan kabut asap, sementara perusahaan kelapa sawit dan bubur kertas diuntungkan dari buruknya penegakan hukum serta minimnya transparansi. Mereka (perusahaan) pun terus menebangi hutan dan mengeringkan lahan gambut. Masyarakat butuh kepemimpinan pemerintah yang serius mengakhiri kebakaran hutan yang berdampak terhadap kesehatan dan lingkungannya,” ujarnya.
Menurut Arie, yang saat ini menjadi Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, transparansi menjadi kunci utama untuk mengatur industri perkebunan di Indonesia. Lebih dari dua tahun yang lalu, MA memutuskan bahwa pemerintah harus membuka informasi konsesi kelapa sawit ke publik. Dengan transparansi dan membuka data dari industri perkebunan, akan mempermudah untuk mengidentifikasi siapa yang mengendalikan lahan dan di mana kebakaran hutan terus terjadi.
”Para menteri dalam pemerintahan Jokowi terus menentang keputusan tersebut dan baru-baru ini secara eksplisit memerintahkan para perusahaan kelapa sawit untuk tidak terbuka terkait informasi mengenai konsesi perkebunan yang mereka miliki,” katanya.
Meningkat
Ia menilai, kemunduran pemerintah terkait penanganan dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan kini terjadi lagi di Kalimantan. Hal ini dibuktikan degan peningkatan jumlah titik api tahun ini dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 52 persen. Analisis Greenpeace Indonesia juga menunjukkan, hingga Juli, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat kembali menjadi provinsi-provinsi dengan jumlah titik api tertinggi di antara wilayah lain.
”Ini menggarisbawahi betapa mendesak pemerintah untuk segera mematuhi putusan pengadilan untuk serius mencegah kebakaran hutan di Indonesia,” ucap Arie.