Jangan Abaikan Imunisasi Anak
Mendapatkan imunisasi dasar adalah hak setiap anak. Imunisasi menjadi bagian penting dalam perkembangan kekebalan tubuh anak. Peran keluarga menjadi tonggak kesehatan anak di masa depan. Tidak hanya melindungi anaknya sendiri, tetapi juga semua anak di Indonesia.
Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar. Penyelenggaraan imunisasi menjadi tanggung jawab negara dan pelaksanaannya tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017. Dalam peraturan ini juga disebutkan bahwa seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindakan menghalang-halangi penyelenggaraan imunisasi dapat dikenai sanksi.
Landasan hukum imunisasi termaktub jelas. Sayangnya, sejumlah hal masih menjadi kendala yang menghambat tercapainya cakupan imunisasi. Akibatnya, penyakit masih bisa menular dari penderita ke anak-anak yang belum menerima vaksin dan berlanjut menulari yang lain juga. Terbukalah benteng perlindungan kesehatan anak yang dibangun selama ini.
Salah satu kendala terwujudnya kesehatan pada anak yaitu keterbatasan pengetahuan orangtua pada pentingnya memberi vaksin.
Kemarin, 23 Juli 2019, perayaan Hari Anak Nasional mengusung tema ”Peran Keluarga dalam Perlindungan Anak”. Tema ini sesuai untuk merujuk pada salah satu kendala terwujudnya kesehatan pada anak, yaitu keterbatasan pengetahuan orangtua pada pentingnya memberi vaksin.
Penelitian dari Wellcome dan Gallup pada 140.000 orang di 140 negara menyebutkan, 6 persen orangtua tidak memberikan vaksin kepada anak mereka. Penelitian yang dilaporkan oleh kantor berita Reuters pada 19 Juni 2019 tersebut menemukan bahwa orangtua tidak memberikan vaksin kepada anak lantaran tingkat kepercayaan terhadap vaksin yang kurang.
Kepercayaan pada keamanan dan keefektifan vaksin di negara maju cenderung lebih rendah dibandingkan dengan negara berkembang. Kepercayaan di Eropa Timur hanya 50 persen dan di Amerika Utara 72 persen. Sementara di kawasan negara berkembang, kepercayaannya mencapai 92 persen di Afrika Timur dan 95 persen di Asia Selatan.
Abainya pemberian vaksin kepada anak dapat memicu wabah karena sifat penyakit yang mudah menular. Berdasarkan data yang dihimpun Unicef, sebanyak 98 negara mengalami lebih banyak kasus campak pada 2018. Ukraina adalah yang tertinggi. Sebagai salah satu negara di jazirah Eropa Timur, Pemerintah Ukraina melaporkan 35,1 ribu kasus campak terjadi pada 2018 dan 24.000 kasus hanya pada dua bulan awal 2019. Tiga negara lainnya yang juga tertinggi adalah Brasil, Filipina, dan Yaman.
Empat alasan mengapa orangtua tidak memberikan vaksin kepada anak, yaitu karena ajaran agama, filosofis, keamanan, dan sedikitnya informasi yang diterima.
Faktor ketidakpercayaan pada keamanan tadi juga ditemukan Chephra McKee dan Kristin Bohannon sebagai salah satu alasan mengapa orangtua tidak memberikan vaksin kepada anak. Dalam makalah Exploring the Reasons Behind Parental Refusal of Vaccines yang terbit di The Journal of Pediatric Pharmacology and Therapeutics (2016) terdapat empat alasan mengapa orangtua tidak memberikan vaksin kepada anak, yaitu karena ajaran agama, filosofis, keamanan, dan sedikitnya informasi yang diterima.
Faktor-faktor tersebut terejawantahkan salah satunya dalam gerakan antivaksin. Gerakan ini memiliki akar sejarah cukup lama. Robert M Wolfe dalam makalah Anti-vaccinationists Past and Present yang terbit di British Medical Journal (2002) memaparkan, pada 1867, Anti-Vaccination League didirikan sebagai respons atas kebijakan Parlemen Inggris yang mewajibkan imunisasi bagi anak. Kebijakan tersebut dianggap menyalahi kebebasan dan pilihan individu. Dari Inggris, gerakan ini pun menyebar.
Hingga saat ini, kecenderungan orang menolak vaksin masih terjadi di mana-mana. Menurut pemberitaan Kompas, (23/11/2018), sebanyak 67,9 persen murid sekolah taman kanak-kanak di North Carolina, Amerika Serikat, tidak menerima imunisasi pada tahun ajaran 2017-2018. Orangtua mereka mengajukan pengecualian vaksinasi karena alasan keagamaan.
Mewabah
Di Indonesia, gerakan menolak pemberian vaksin untuk anak juga berkembang. Menurut catatan Kompas, pada 2002 alumni Farmasi Institut Teknologi Bandung membuat petisi melalui media sosial. Petisi yang ditandatangani oleh 7.005 pendukung ini meminta pemerintah menindak tegas grup antivaksin, terutama karena membuat masyarakat bingung akibat sebaran informasi rancu tentang vaksin dan imunisasi.
Propaganda antivaksin memang semakin mudah disebarkan dan dikuatkan pengaruhnya melalui media sosial. Hal ini dibuktikan oleh studi dosen sosiologi di Universitas Federasi Australia pada akun antivaksin terbesar di Facebook.
Temuan yang dipublikasikan di jurnal Information, Communication and Society pada akhir 2017 ini menunjukkan aktivitas tinggi kelompok ini, termasuk unggahan tulisan bernada negatif. Sementara itu, dari sisi aktivisnya kebanyakan adalah perempuan (Kompas, 3/1/2018).
Dari satu anak saja yang terinfeksi bisa menjalar menjadi sebuah wabah.
Padahal, pilihan orangtua untuk tidak memberikan vaksin pada anak berisiko menurunkan cakupan imunisasi di Indonesia. Dari satu anak saja yang terinfeksi bisa menjalar menjadi sebuah wabah. Daerah dengan cakupan imunisasi tinggi pun menjadi tetap berisiko, apalagi daerah dengan cakupan yang rendah.
Terbukti, wabah difteri menjalar ke daerah-daerah dengan cakupan imunisasi tinggi. Pada 2017, setidaknya hingga pertengahan Desember penderita difteri ditemukan di 96 kabupaten/kota di 20 provinsi dengan jumlah pasien kumulatif mencapai 593 orang. Sekitar 60 persen pasien yang terkena difteri tidak pernah diimunisasi. Padahal, Indonesia sempat berstatus bebas difteri pada 1990 dan 2013.
Baca juga: Sudahkah Hak Anak atas ASI Terpenuhi?
Wabah terjadi di wilayah dengan cakupan imunisasi tinggi, seperti di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Wabah difteri pun berlanjut dengan pola sama. Hingga pertengahan 2018, ditemukan 143 kasus difteri di Aceh, dan 95 persen penderita tidak mendapatkan imunisasi lengkap.
Selain karena faktor kesadaran orangtua, rendahnya tingkat imunisasi juga bisa disebabkan oleh kurangnya ketersediaan tenaga medis dan akses ke wilayah pedalaman. Contohnya adalah kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk yang melanda Kabupaten Asmat, Papua, sejak Oktober 2017. Hingga Januari 2018, campak telah merenggut 67 nyawa anak-anak.
Sejumlah wilayah juga dilaporkan terancam berstatus KLB karena persoalan ini. Satu wilayah disebut mengalami KLB ketika ditemukan satu kasus saja. Seturut dengan Pekan Imunisasi Nasional polio putaran kedua pada Juli 2019, sebanyak 12 kabupaten di Papua memiliki cakupan imunisasi polio di bawah 50 persen. Nduga merupakan daerah dengan cakupan terendah, yaitu hanya 0,24 persen. Sementara itu, tiga kasus polio ditemukan di Yahukimo dalam periode November 2018 hingga Maret 2019.
Cakupan imunisasi di Indonesia
Keadaan di atas mengikis kemajuan terhadap pemberantasan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), seperti TBC, difteri, tetanus, hepatitis B, pertusis, campak, rubella, polio, radang selaput otak, dan radang paru-paru.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), imunitas kelompok untuk melindungi seluruh populasi mensyaratkan cakupan imunisasi mencapai 90 hingga 95 persen. Penelitian telah membuktikan bahwa vaksin aman dan efektif, dan telah menyelamatkan tiga juta kehidupan setiap tahunnya. Imunisasi juga merupakan salah satu intervensi kesehatan yang paling murah.
Dalam kerangka kerja kesehatan di Indonesia, imunisasi terbagi menjadi dua, yaitu imunisasi program dan pilihan. Imunisasi program terdiri dari imunisasi rutin, tambahan, dan khusus. Untuk anak, imunisasi yang harus diberikan adalah imunisasi rutin yang terdiri dari imunisasi dasar dan imunisasi lanjutan.
Imunisasi dasar terdiri dari hepatitis B, BCG, campak/MR, dan DPT-HB-Hib (1,2,3) yang diberikan kepada bayi berusia 0-11 bulan. Dari empat jenis vaksin tersebut, vaksin campak merupakan yang pertama kali diimplementasikan di Indonesia, yaitu pada 1963.
Berselang sepuluh tahun, giliran imunisasi BCG untuk tuberkulosis. Vaksin hepatitis B mulai digunakan pada 1997 dan yang terakhir vaksin DPT-HB-Hib resmi digunakan pada 2013. Vaksin DPT-HB-Hib dikenal juga dengan vaksin pentavalen yang mampu mencegah lima penyakit, seperti difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, serta Hib (Haemophilus influenzae type B).
Merujuk standar tersebut, cakupan imunisasi dasar lengkap di Indonesia dalam lima tahun terakhir berada di atas 90 persen kecuali pada 2014 dan 2015. Selama tiga tahun ini, cakupan imunisasi rata-rata adalah 91 persen, tertinggi pada 2016 dengan 91,6 persen.
Pada 2018, cakupan rata-rata nasional mencapai 90,6 persen. Lebih rendah dari target Rencana Strategis Kementerian Kesehatan sebesar 92,5 persen. Cakupan pada seluruh bayi sudah tercapai di Jawa Tengah, DKI Jakarta, Nusa Tenggara Barat, dan Sumatera Selatan.
Meski demikian, masih terdapat 17 provinsi dengan cakupan di bawah 90 persen. Cakupan imunisasi di sejumlah provinsi sangat rendah. Di Papua, baru 29,6 persen anak yang mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Sementara itu, baru sekitar setengah di Nusa Tenggara Timur (51,7 persen) dan Aceh (55,3 persen).
Sementara itu, untuk imunisasi lanjutan, dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok baduta (12-24 bulan) dan kelompok sekolah (kelas 1, 2, dan 3 SD). Imunisasi untuk baduta terdiri dari dosis DPT-HB-HiB (4) dan campak/MR (2), sementara untuk kelompok sekolah terdiri dari campak, tetanus, dan difteri.
Cakupan baduta yang mendapatkan imunisasi DPT-HB-Hib (4) pada 2018 sebesar 71,98 persen. Jika merujuk pada standar WHO, hanya dua provinsi yang cakupannya lebih dari 90 persen, yaitu Jakarta dan Jawa Timur.
Potret imunitas kelompok di Indonesia cukup membaik dalam dua tahun terakhir. Merujuk data, tinggal 9,4 persen lagi hingga seluruh bayi mendapatkan imunisasi. Orangtua perlu terus menggali informasi yang valid dan aktual agar tidak terjerumus dalam pusaran informasi yang menyesatkan. (Arita Nugraheni/Litbang Kompas)
Baca juga: Akta Kelahiran Anak, Bukti Legal Kehadiran di Dunia