Segenap data cuaca terkini mengedipkan lampu kuning terkait produksi pangan. Sebagian petani telah gagal panen dan sebagian lain tengah berjuang menyelamatkan tanamannya. Pemerintah perlu mengantisipasi dampak buruknya.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·3 menit baca
Segenap data cuaca terkini mengedipkan lampu kuning. Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Senin (22/7/2019), menyebutkan, 1.821 desa di 75 kabupaten/kota di tujuh provinsi terdampak kekeringan. Pemerintah di 55 wilayah bahkan telah menyatakan siaga darurat.
Provinsi yang melaporkan kekeringan antara lain Jawa Barat dengan 16 wilayah, Jawa Tengah (21), Nusa Tenggara Timur (15), Jawa Timur (10), Nusa Tenggara Barat (9), dan Bali (2). Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan kemarau masih akan terjadi pada Agustus-September, bahkan November 2019. Kemarau tahun ini akan lebih kering dibandingkan dengan 2018 akibat adanya El Nino (Kompas, 23/7/2019).
Terkait dengan hal itu, Presiden Joko Widodo telah menggelar rapat terbatas khusus untuk membahas antisipasi dampak kekeringan. Menteri, kepala lembaga, serta gubernur diminta turun untuk melihat langsung ke lapangan serta melakukan mitigasi dampak, baik terkait kebutuhan konsumsi maupun irigasi.
Dampak kekeringan sudah terjadi dan berpeluang lebih parah di sektor pertanian dalam 2-3 bulan ke depan.
Dampak kekeringan sudah terjadi dan berpeluang lebih parah di sektor pertanian dalam 2-3 bulan ke depan. Sebagian petani di sentra padi, seperti Jawa Barat dan Jawa Timur, sudah gagal panen. Sebagian petani lain tengah berjuang menyelamatkan tanamannya hingga masa panen tiba.
Problemnya selama ini bukan soal prakiraan yang meleset atau tidak adanya solusi yang tersedia, melainkan keputusan datang terlambat atau ”salah obat” sehingga ”penyakit” tak sembuh. Permintaan modifikasi cuaca berupa hujan buatan, misalnya, sering datang terlambat dari instansi/lembaga atau pemerintah daerah. Permintaan datang ketika potensi awan hujan sudah sangat kecil. Akibatnya, operasi tidak cukup efektif menurunkan hujan.
Gejolak harga beras lima tahun terakhir juga bisa menjadi cermin. Pada 2015, misalnya, antisipasi datang terlambat. Ketika itu, sejumlah pihak mengingatkan akan potensi penurunan produksi padi karena dampak El Nino. Kekeringan melanda di sentra-sentra padi dan berpotensi mengganggu suplai beras.
Akan tetapi, pemerintah berkeyakinan produksi surplus. Sejak pertengahan 2015, harga beras berangsur naik, tak sejalan dengan klaim data produksi. Pemerintah akhirnya memutuskan untuk impor beras pada September 2015.
Selain kurang efektif mengatasi situasi yang kadung runyam, sebagian beras yang diimpor datang menjelang masa panen Februari-Maret 2016. Cerita serupa terjadi tahun 2017. Hasil deteksi masalah dinilai tidak cukup tepat. Harga beras bergejolak dan puncaknya terjadi ketika pemerintah akhirnya memutuskan impor pada Januari 2018.
Produksi pangan masih lekat dengan situasi cuaca. Siklusnya berubah, seperti pasang surut konsumsi yang bergerak mengikuti penanggalan bulan, tetapi perubahan itu belum bisa ditangkap dengan baik oleh pelakunya. Akibatnya, muncul ketidakseimbangan di pasar.
Sampai dengan Rabu (24/7/2019), harga beras di pasaran masih relatif stabil. Di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, misalnya, harga rata-rata beras bulanan Rp 9.996 per kilogram (kg), relatif sama dengan bulan lalu dan lebih rendah dibandingkan dengan lima bulan sebelumnya. Sementara secara nasional, menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, mencapai Rp 11.700 per kg, relatif stabil dua bulan terakhir.
Situasi perberasan tahun ini ”diuntungkan” oleh stok beras Perum Bulog yang relatif besar, yakni lebih dari 2 juta ton. Bandingkan dengan stok awal 2018 yang kurang dari 1 juta ton. Dengan stok sebesar itu, pemerintah optimistis dapat memenuhi kebutuhan hingga akhir tahun ini. Sementara Kementerian Pertanian menilai secara umum kekeringan belum mengancam produksi beras nasional.
Optimisme pemerintah akan diuji 1-2 bulan ke depan. Apalagi, panen raya diperkirakan berlangsung saat puncak kemarau, yakni Agustus 2019. Sejumlah pihak berharap formula penghitungan baru yang mulai dipakai tahun lalu bisa lebih tepat menghitung produksi beras tahun ini. Dengan demikian, kelebihan atau kekurangan stok bisa diketahui lebih dini sebagai dasar pengambilan keputusan.