Kalau Begini Terus, Pasti Mati
Perjalanan mengadu nasib ke Malaysia pada 2018 ia ceritakan begitu mengalir. Tiba saatnya mengungkapkan bagian pahit dari perjalanan itu, giliran air matanya yang mengalir. AM (18) menyebutnya pekerjaan tidak bagus, saat ia ungkapkan dipaksa melayani tamu di tempat prostitusi.
”Ketika saya diperkosa, saya menangis teriak-teriak, tidak ada yang tolong. Tapi saya dengar, saya punya kawan di kamar sebelah juga ada menangis. Langsung, saya mau (segera) keluar. Saya harus buat cara keluar untuk kabur dari sini. Kalau kita begini terus, pasti mati,” tutur AM dengan nada marah saat ditemui di kampung halamannya di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.
Teman di kamar sebelah yang dimaksud AM adalah RT (17), teman satu desanya. Kedua remaja putri itu diselundupkan ke Malaysia dan dipaksa bekerja di tempat prostitusi saat AM berusia 17 tahun dan RT berusia 16 tahun. Beruntung AM dapat kembali ke kampung halamannya. Namun, tidak demikian halnya dengan RT yang masih tertahan di Malaysia.
Sebelum pengalaman pahit itu terjadi, pikiran AM memang lebih dipenuhi cita-citanya untuk bekerja dibandingkan menyelesaikan sekolahnya yang saat itu masih di kelas 2 SMA. Sejak kedua orangtuanya meninggal pada 2014, AM tinggal bersama nenek dan keluarga besarnya. Anak ketiga dari empat bersaudara itu merasa tak enak menjadi beban keluarga besar, sementara nenek, kakak, serta om dan tantenya hanya petani kecil.
Keinginannya seakan memperoleh jawaban saat ia bertemu RT dalam perayaan Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2018 yang diadakan di lapangan di desanya. Di tengah perayaan itu, AM mendapati RT tengah bersama pacarnya, seorang pemuda berinisial AH (25).
Anak ketiga dari empat bersaudara itu merasa tak enak menjadi beban keluarga besar, sementara nenek, kakak, serta om dan tantenya hanya petani kecil.
Menurut AM, dalam pertemuan itu, RT mengajaknya bekerja di luar NTT dengan bantuan AH. Pilihannya adalah bekerja di Surabaya, Jawa Timur, sebagai pelayan toko.
Karena tekadnya sudah bulat, kedua remaja putri itu meninggalkan rumah mereka masing-masing tanpa meminta izin terlebih dahulu dari keluarga. ”Saya jalan, semua tidak tahu. Om juga tidak tahu. Nanti, kalau saya kasih tahu, dia tidak memperbolehkan. Jadi saya jalan diam-diam,” tutur AM.
Ayub Tanesib (50), ayah RT, pun mengungkapkan, RT tak pernah menceritakan sedikit pun rencananya bekerja di luar NTT. Saat meninggalkan rumah, menurut dia, RT hanya izin pergi ke gereja. ”Tapi, sejak itu, dia tidak pernah pulang lagi. Dia pergi bersama AM,” ucapnya.
Selama perjalanan dari desa menuju Kupang, AM dan RT didampingi AH. Setibanya di Kupang, keduanya diinapkan AH di sebuah rumah dan dilarang keluar. Di rumah itu, mereka bertemu dengan JA, pria berusia sekitar 40 tahun.
Baik JA maupun AH sama-sama calo sekaligus kurir calon TKI di NTT. Jika AH bertugas merekrut calon TKI di desa dan mengantarkannya ke Kupang, maka JA bertugas menyiapkan dokumen identitas dan perjalanan calon TKI untuk berangkat ke luar NTT.
Oleh JA, AM dan RT dibuatkan KTP palsu agar bisa menumpangi pesawat menuju Surabaya. Di KTP palsu itu nama mereka diubah dari AM menjadi AN.
Saat akan berangkat ke luar NTT, menurut AM, di Bandara El Tari sudah ada orang yang menyiapkan tiket ke Surabaya. Tiket itu kemudian diserahkan oleh orang tersebut kepada JA.
Setelah berada di dalam pesawat, AM dan RT ditinggalkan oleh JA. AM hanya dipesani bahwa nanti di Surabaya, mereka akan dijemput seseorang yang akan menghubungi AM lewat telepon.
Dilarang bicara
Di Surabaya, AM dan RT dijemput oleh seorang pria. Keduanya dibawa ke sebuah warung untuk makan siang. Seusai menyantap makanan, AM dan RT diminta mengenakan kerudung dan kembali dibawa ke bandara untuk diberangkatkan ke Batam.
Sejak berangkat dari Kupang, menurut AM, mereka dilarang JA untuk berbicara dengan siapa pun selama di pesawat. Jika ada orang yang bertanya tujuan perjalanan, mereka diminta JA untuk mengaku akan mengunjungi kerabat di Batam. ”Kami tidak omong apa-apa, diam saja,” ucap AM.
Di Batam, AM dan RT dijemput seorang sopir taksi yang mengantarnya ke laki-laki lain. Di tempat laki-laki inilah selama dua hari AM dan RT menginap hingga keduanya diangkut ke Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
Di Tanjung Pinang, AM dan RT kembali dititipkan selama tiga hari. Akhirnya AM dan RT diangkut dengan kapal penangkap ikan menuju Johor Bahru, Malaysia. Selama delapan jam, kedua remaja itu mengarungi lautan bersama tiga penumpang dan seorang nakhoda.
Tiba di Johor, AM dan RT harus berjalan kaki melalui perkebunan sawit menuju sebuah pondokan. Dari sana keduanya dijemput dengan mobil dan diantar ke sebuah hotel tak jauh dari Kuala Lumpur.
AM dan RT dimasukkan ke kamar hotel terpisah, tetapi tetap di satu lantai yang sama, lantai 10. Di kamar itulah mereka berdua dipaksa melayani tamu.
Tepat dua hari AM dijual di hotel itu, dia memutuskan kabur bersama RT. ”Saya harus buat cara keluar untuk kabur dari sini. Kalau kami begini terus, pasti mati,” ujar AM.
Mereka pun melapor ke polisi setempat. Namun, karena tak punya dokumen imigrasi resmi, keduanya ditahan di Penjara Kajang, Malaysia. AM berhasil keluar dari penjara, bahkan keluar dari Malaysia setelah mengaku dirinya adalah TKI ilegal. Sementara RT masih ditahan.
Setelah keluar dari Malaysia, butuh waktu dua bulan bagi AM hingga akhirnya dia bisa pulang ke desanya. Sejak kembali bersama keluarganya, AM lebih memilih tinggal di rumah. Dia masih khawatir JA akan mencarinya.
Dokumen palsu
Atase Imigrasi Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur Mulkan Lekat menyampaikan, tak ditemukan dokumen imigrasi yang pernah diterbitkan KBRI Kuala Lumpur atas nama AM. Hanya, menurut Mulkan, memang ada banyak sekali TKI bermasalah di Malaysia. Kerap kali mereka menggunakan dokumen imigrasi seperti paspor dan surat perjalanan laksana paspor (SPLP) palsu.
Sekretaris Pertama Konsuler KBRI di Kuala Lumpur Yulisdiyah Nuswapadi mengatakan, KBRI tak berhasil menemukan RT. Diakui Yulis, dari beberapa praktik perdagangan orang yang pernah ditangani KBRI, biasanya ada kurir yang mendampingi orang yang akan diselundupkan.
Korban juga tak terlacak di data imigrasi karena menggunakan dokumen palsu. ”Biasanya (saat diselundupkan) mereka sudah ada kontak-kontaknya. Siapa yang bawa ke Surabaya, Johor, itu sudah ada orangnya,” ucapnya.
Dari beberapa praktik perdagangan orang yang pernah ditangani KBRI, biasanya ada kurir yang mendampingi orang yang akan diselundupkan.
Ketua Yayasan Sosial Penyelenggaraan Ilahi Suster Laurentina PI, yang menjadi bagian dari jaringan anti-perdagangan orang NTT, mengungkapkan, anak perempuan di NTT yang direkrut sebagai calon TKI tak hanya dijual ke tempat prostitusi. Dari beberapa kasus, lanjutnya, mereka juga mengalami pelecehan seksual selama di tempat penampungan.
”Ada satu anak yang masih kami dampingi. Dia mengalami pelecehan seksual selama di penampungan,” ujarnya.
Menurut Laurentina, anak-anak dari NTT yang berangkat ke luar negeri sebagai calon TKI umumnya masih sangat polos sehingga mudah dikuasai dan dipengaruhi. Laurentina memberikan contoh, pihaknya pernah mendampingi dia pemuda asal Eban, Kabupaten Timor Tengah Utara, yang berhasil digagalkan perjalanannya ke luar negeri sebagai calon TKI.
Selama beberapa hari mendampingi keduanya, diketahui kedua pemuda itu belum mengetahui apa pun terkait seluk-beluk pekerjaannya di luar negeri.
Baca juga : Anak-anak Indonesia Diperdagangkan
”Jadi, memang, keinginan mereka untuk kerja adalah untuk membantu orangtua, perbaiki ekonomi orangtua. Namun, ketika digali pengetahuannya terkait apa itu kerja, bagaimana risikonya, mereka belum paham. Mereka hanya ikut-ikutan,” tuturnya.
Jika pemerintah berkomitmen anak adalah masa depan negara, sudah semestinya segala ancaman yang membahayakan anak dapat diantisipasi. Alih-alih dilindungi, seperti anak-anak di perdesaan di NTT malah terjebak dalam pusaran TKI ilegal yang menjerumuskan mereka dalam eksploitasi.