Polarisasi antarelite yang terbentuk karena Pemilu 2019 memunculkan potensi amandemen UUD 45 akan diisi oleh kepentingan segelintir parpol.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-- Para elite perlu menyampingkan kepentingan partai politik dalam pemilihan ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan berlangsung pada Oktober 2019. Sejumlah pihak menilai, hampir seluruh parpol mengincar posisi pimpinan MPR karena memiliki peran strategis untuk mengamendemen Undang-Undang Dasar 1945 dan sarat dengan kepentingan transaksional.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Donal Fariz di Jakarta, Selasa (30/7/2019), mengatakan, pemilihan Ketua MPR sarat kepentingan transaksional guna memuluskan langkah sejumlah tokoh maju dalam Pemilihan Presiden 2024 nanti. Menurut ia, MPR memiliki posisi strategis untuk mengubah tatanan negara melalui amandemen UUD 1945.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
"Saat ini gerbong untuk pemilihan menteri sudah mulai sesak, para elite mulai berbondong-bondong mengincar kursi ketua MPR. Semakin tinggi posisi di sebuah lembaga, maka semakin tinggi pula potensi politik transaksional yang akan terjadi," ujarnya dalam diskusi bertajuk \'Negosiasi Kursi Ketua MPR yang Merusak Sistem Presidensial\' di Jakarta, Selasa.
Donal menuturkan, akan ada potensi perputaran uang yang cukup besar dalam proses politik transaksional untuk meraih sebuah jabatan, khususnya jabatan ketua MPR. Selain itu, lembaga MPR juga memiliki wewenang untuk mengatur anggarannya sendiri dalam menjalankan program, khususnya program terkait sosialisasi kebangsaan.
Sementara itu, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, menjelaskan, proses amandemen UUD 1945 yang belum tuntas pada periode MPR 2014-2019 akan dilanjutkan pada periode berikutnya. Ia khawatir, para elite mengincar posisi pimpinan MPR agar bisa mengubah UUD 1945 sesuai kepentingan pihak tertentu.
"Saya khawatir, jika posisi ini diperebutkan demi kepentingan transaksional, maka hasil amandemen UUD 1945 dan pembentukan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) akan jauh dari harapan masyarakat," ujarnya.
Bivitri mengatakan, polarisasi antarelite yang terbentuk karena Pemilu 2019 memunculkan potensi amandemen UUD 45 akan diisi oleh kepentingan segelintir parpol. Ia juga berharap, agar nantinya komposisi paket pimpinan MPR bisa diisi oleh gabungan antara parpol koalisi pemerintah dan luar koalisi.
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, MPR juga memiliki wewenang untuk memperkuat maupun memperlemah peran suatu lembaga negara melalui amendemen UUD 1945.
"Masyarakat tentunya tidak ingin jika pimpinan MPR menggunakan wewenangnya sesuai dengan kepentingan parpol demi memperkuat atau melemahkan lembaga terrtentu," katanya.
Kawal amandemen
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengatakan, PKS ingin agar fraksi partai politik parlemen perlu membahas terlebih dahulu bagaimana agenda dan rencana MPR selanjutnya sebelum menentukan paket pimpinan MPR.
Selain itu, Mardani berharap agar semua fraksi bisa mengawal proses amandemen UUD 45 supaya tidak terjadi politik transaksional yang hanya menguntungkan segelintir parpol. Saat ini, PKS juga masih belum menentukan siapa tokoh yang diajukan untuk maju dalam pimpinan MPR.
Dihubungi terpisah, Sekjen Partai Nasdem Johnny G Plate mengatakan, Nasdem ingin membentuk paket pimpinan MPR dari parpol Koalisi Indonesia Kerja dan satu perwakilan Dewan Perwakilan Daerah. Ia juga berharap nantinya Ketua MPR memiliki integritas dan jaringan politik yang kuat agar bisa menjalankan agenda-agenda periode selanjutnya.
"Nantinya, pembahasan amandemen UUD 45 sebaiknya dibahas setelah pimpinan DPR ini terpilih," ucapnya.