Bersanding dan Bersaing dengan Pekerja Migran Filipina
Kesempatan kerja bagi pekerja migran Indonesia kian terbuka. Beberapa negara baru-baru ini membuka penawaran kerja bagi tenaga kerja Indonesia. Namun, persaingan antarnegara pengirim tenaga kerja ke luar negeri semakin ketat.
Kesempatan kerja bagi pekerja migran Indonesia kian terbuka. Beberapa negara baru-baru ini membuka penawaran kerja bagi tenaga kerja Indonesia. Namun, persaingan antarnegara pengirim tenaga kerja ke luar negeri semakin ketat.
Jepang membuka kesempatan kerja sebanyak 345.000 lowongan dalam lima tahun ke depan. Kesempatan kerja tersebut berlaku bagi pekerja migran terampil dari delapan negara yang ditunjuk oleh Jepang, salah satunya Indonesia.
Pemerintah Hong Kong juga membuka kesempatan kerja bagi 600.000 pekerja rumah tangga dalam 30 tahun ke depan. Kesempatan kerja ini sangat terbuka bagi Indonesia sebab saat ini saja terdapat 165.000 pekerja migran Indonesia atau 43 persen dari 380.000 kelompok pekerja asisten rumah tangga (ART) dan perawat orang tua (caregiver) di Hong Kong.
Dari 1,49 juta PMI prosedural yang tercatat BNP2TKI, 37,32 persennya lulus SMP. Sebanyak 33,14 persen dan 26,74 persen lulus SD dan SMA.
Tak hanya dua negara itu saja, pada laman resmi BNP2TKI tersedia informasi kesempatan kerja dari 28 negara. Selain banyaknya negara yang membuka kesempatan, jenis pekerjaan yang dibutuhkan pun beragam.
Beragamnya tawaran pekerjaan di sejumlah negara tersebut bukan menjadi privilese bagi pekerja migran Indonesia (PMI) semata. PMI harus bersaing dengan pekerja migran dari negara lain untuk mengisi lowongan pekerjaan dalam pasar tenaga kerja global.
Di Asia Tenggara, pekerja migran asal Indonesia bersaing langsung dengan pekerja migran asal Filipina dalam hal jumlah. Akan tetapi, semakin lama persaingan pekerja migran akan semakin ditentukan oleh kualitas pekerja itu, di samping dukungan dari sisi kebijakan pengiriman dan perlindungan oleh pemerintah masing-masing. Bagaimana kualitas pekerja migran serta dukungan pemerintah terhadap pekerja migran di Indonesia dan Filipina?
Perkembangan pekerja migran
Indonesia dan Filipina memiliki pola pekerja migran yang sama sejak awal tahun 1970-an. Sejak saat itu, pemerintah kedua negara memiliki target pengiriman pekerja migran setiap tahun.
Piyasiri Wickramasekera dalam tulisannya, ”Asian Labour Migration: Issues and Challenges in an Era of Globalization”, menyebutkan bahwa terdapat dua faktor utama bagi suatu negara ketika mengirim tenaga kerja ke luar negeri. Faktor pertama adalah tekanan pengangguran di negara tersebut. Faktor kedua adalah potensi penerimaan devisa negara.
Migrasi para pekerja migran diawali kondisi krisis minyak dunia tahun 1973. Kondisi tersebut menyebabkan krisis ekonomi dan naiknya beban pengangguran. Di saat yang bersamaan, permintaan tenaga kerja Indonesia dan Filipina ke Timur Tengah untuk pekerjaan proyek infrastruktur datang.
Selanjutnya, semakin banyak lowongan kerja bagi tenaga kerja kedua negara dari negara lain. Dengan demikian, remitansi dari para pekerja migran ini menopang perekonomian negara.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa jumlah pekerja migran baik dari Indonesia maupun Filipina meningkat pesat. Berdasarkan data arus keluar, jumlah pekerja migran Indonesia tahun 1976-1998 naik lebih dari 200 kali lipat. Sementara jumlah pekerja migran Filipina (OFW) yang berangkat ke luar negeri pada 1998 meningkat 11 kali lipat dibandingkan tahun 1976.
Pada 2018, Pemerintah Indonesia memperkirakan terdapat 6 juta PMI di mancanegara. Sementara berdasarkan survei yang dilakukan oleh Otoritas Statistik Filipina, jumlah OFW mencapai 2,8 juta orang.
Walaupun kalah secara jumlah, proporsi OFW ternyata lebih tinggi daripada PMI dibandingkan jumlah penduduk masing-masing negara pada tahun 2018. Dari sisi proporsi, jumlah PMI merupakan 2,3 persen dari 267,6 juta jiwa penduduk Indonesia pada 2018. Adapun jumlah OFW merupakan 2,6 persen dari 106,6 juta jiwa penduduk Filipina pada 2018.
Dengan proporsi yang lebih tinggi, cara pandang terhadap pekerja migran di Filipina pun berbeda. Bagi penduduk Filipina, menjadi pekerja di luar negeri sudah menjadi alternatif jenis pekerjaan yang dianggap biasa.
Menurut laporan survei Anju Mary Paul, kandidat profesor sosiologi dan migrasi internasional Yale-National University of Singapore yang berjudul ”Stepwise International Migration: A Multistage Migration Pattern for the Aspiring Migrant” pada Oktober 2005, sebanyak 33 persen orang dewasa Filipina setuju dengan pernyataan ”jika mungkin, saya akan migrasi ke negara lain dan tinggal di sana”.
Alternatif tersebut menjadi biasa karena adanya desakan ekonomi dalam negeri, sistematika migrasi yang telah teratur oleh institusi, besarnya remitansi, dan diaspora penduduk Filipina ke seluruh dunia. Beberapa keunggulan tersebut menjadi daya dukung untuk meningkatkan kualitas OFW untuk bersaing dalam pasar tenaga kerja migran.
Mengingat pekerja migran merupakan salah satu jenis pekerjaan yang biasa di Filipina, Pemerintah Filipina sejak awal mencoba mengelolanya. Pemerintah Filipina mengeluarkan Dekrit Presiden Nomor 442 Tahun 1974 yang disebut sebagai Kode Pekerja (Labor Code) untuk mengatur pekerja migran.
Melalui Labor Code, dibentuklah Dewan Pengembangan Ketenagakerjaan Luar Negeri dan Dewan Pelaut Nasional. Departemen tersebut bekerja di sektor penempatan, administrasi, dan penyelesaian masalah pekerja migran.
Di masa yang sama, pekerja migran di Indonesia diurusi oleh Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi. Meskipun tidak semata bertugas untuk mengurus PMI, departemen tersebut sempat mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 4 Tahun 1970 yang melarang perekrutan pekerja migran tanpa izin.
Di Asia Tenggara, pekerja migran asal Indonesia bersaing langsung dengan pekerja migran asal Filipina dalam hal jumlah.
Pada kurun waktu tahun 1970-1980, mekanisme migrasi domestik dilakukan melalui program Angkatan Kerja Antar-Daerah (AKAD), sedangkan migrasi internasional melalui program Angkatan Kerja Antar-Negara (AKAN). Artinya, pada tahun 1970-1980, belum terdapat lembaga khusus yang mengatur penempatan dan penyelesaian masalah pekerja migran di Indonesia.
Lembaga khusus yang dibentuk untuk mengurus para pekerja migran Indonesia baru dibentuk pada 1999, yakni Badan Koordinasi Penempatan TKI (BKPTKI). BKPTKI dibentuk untuk meningkatkan kualitas penempatan dan keamanan perlindungan TKI. Selanjutnya, pada 2004, barulah terbentuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).
Dalam jangka waktu 20 tahun sejak Indonesia gencar mengirim PMI sampai BKPTKI terbentuk, Filipina telah memiliki dua lembaga lagi yang khusus mengatur OFW.
Melalui perintah eksekutif Presiden Aquino, dibentuklah departemen Administrasi Kesejahteraan Pekerja Luar Negeri (OWWA). Sebelumnya, OWWA merupakan departemen Dana Kesejahteraan yang kemudian diganti nama.
Saat ini, OWWA menjadi bagian Departemen Tenaga Kerja dan Ketenagakerjaan yang ditugaskan untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan OFW dan keluarganya.
Selain OWWA, terdapat lembaga Administrasi Ketenagakerjaan Pekerja Migran Filipina (POEA). POEA menjadi agen pemerintah yang membawahkan semua urusan OFW.
Bagi penduduk Filipina, menjadi pekerja di luar negeri sudah menjadi alternatif jenis pekerjaan yang dianggap biasa.
Saat ini, peran POEA sama dengan BNP2TKI. Namun, orientasi Filipina melalui POEA akan pengiriman pekerja migran yang mendunia sangat kuat. Hal ini tampak dari visi POEA, yaitu ”unggul dalam tata kelola untuk pekerja migran Filipina kelas dunia”.
Campur tangan pemerintah melalui lembaga khusus bagi pekerja migran hanyalah salah satu faktor yang memengaruhi daya saing pekerja migran. Faktor lain yang lebih menentukan adalah kualitas para pekerja migran, di antaranya meliputi tingkat pendidikan, penguasaan bahasa, dan keterampilan.
Dengan menguasai keterampilan, bahasa, dan kesiapan bekerja di negara penempatan, pekerja migran dapat lebih bersaing memasuki sektor-sektor formal yang ditawarkan oleh pasar pekerja migran.
Sebaliknya, apabila semata memasuki sektor informal, pekerja migran akan lebih rentan terhadap kekerasan dan penelantaran, bahkan rentan terhadap tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Kesiapan pekerja migran
Campur tangan pemerintah terhadap PMI ataupun OFW tampak hasilnya dalam kesiapan para pekerja migran yang bekerja di luar negeri.
Kesiapan pekerja migran dapat dilihat minimal dari dua sisi, internal dan eksternal. Dari sisi internal terdapat beberapa faktor, seperti usia, tingkat pendidikan, kemampuan bahasa, dan keterampilan kerja. Dari sisi eksternal terdapat beberapa faktor yang memengaruhi, salah satunya jejaring di luar negeri.
Anju Mary Paul melakukan survei terhadap 1.180 pekerja migran yang bekerja sebagai pekerja domestik (domestic worker) di Singapura dan Hong Kong pada tahun 2013 sampai 2014. Pekerja tersebut berasal dari Indonesia (431 orang) dan Filipina (749 orang).
Berdasarkan hasil survei tersebut, komposisi usia pekerja migran Filipina dan Indonesia saat pertama kali migrasi didominasi oleh mereka dari kelompok usia 21-30 tahun. Akan tetapi, proporsi OFW di kelompok usia ini lebih tinggi, mencapai 70,2 persen, apabila dibandingkan dengan PMI di kelompok umur yang sama sebesar 62 persen.
Hal yang menarik, posisi kedua proporsi usia PMI pertama kali bermigrasi berasal dari kelompok umur 20 tahun sebesar 28,1 persen. Di kelompok usia ini, proporsi OFW yang pertama kali bermigrasi sebesar 6,8 persen.
Di sisi lain, urutan kedua komposisi usia OFW saat pertama kali bermigrasi berasal dari kelompok umur 31-40 tahun sebesar 21,5 tahun. Di kelompok usia ini, proporsi TKI yang pertama kali bermigrasi sebesar 8,8 persen.
Dengan demikian, apabila ingin diperlebar, proporsi gemuk OFW saat pertama kali migrasi berada pada kelompok umur 21-40 tahun. Di sisi lain, proporsi gemuk TKI saat pertama kali migrasi berada pada kelompok umur kurang dari 20 tahun hingga 30 tahun.
Walaupun bukan satu-satunya, usia secara umum dianggap memengaruhi kedewasaan seseorang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bertambahnya usia menambah kesiapan seseorang untuk bekerja.
Dari data di atas, tampak bahwa usia mulai bekerja PMI lebih muda daripada OFW. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berdasarkan usia mulai bekerja, OFW berada dalam usia yang lebih siap bekerja daripada PMI.
Tingkat Pendidikan
Selain ditentukan oleh umur, kesiapan bekerja juga ditentukan oleh faktor pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, diasumsikan semakin siap pula seseorang untuk bekerja.
Di sini, tingginya tingkat pendidikan berhubungan dengan umur. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin bertambah pula usia pekerja migran saat pertama kali bermigrasi.
Akan tetapi, dengan logika ini, tidak berarti bahwa usia pekerja migran yang lebih tua menggambarkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Yang ingin dikatakan di sini adalah bahwa usia pekerja migran yang lebih tua salah satunya disebabkan tingkat pendidikanya yang lebih tinggi.
Jika dibandingkan tingkat pendidikan OFW dan PMI, tampak data yang cukup kontras.
Berdasarkan hasil survei Anju Mary Paul di atas, mayoritas PMI atau 55 persen PMI merupakan lulusan sekolah dasar. Urutan kedua proporsi tingkat pendidikan PMI diisi oleh mereka dengan tingkat pendidikan terakhir sekolah menengah sebesar 42 persen.
Urutan PMI selanjutnya diisi oleh mereka yang merupakan lulusan perguruan tinggi sebesar 1,6 persen. Posisi keempat PMI diisi oleh mereka yang merupakan lulusan pendidikan vokasi atau diploma dengan proporsi sebesar 1,6 persen.
Kondisi tersebut kontras dengan tingkat pendidikan yang ditempuh OFW. Sebagian besar OFW merupakan lulusan perguruan tinggi atau sebesar 44,9 persen. Di urutan kedua adalah lulusan sekolah menengah dengan proporsi 33,5 persen, diikuti mereka yang lulus sekolah vokasi/diploma sebesar 18,6 persen. Mereka yang merupakan lulusan sekolah dasar hanya 3 persen dari semua OFW yang diteliti.
Data tingkat pendidikan PMI dan OFW tersebut menunjukkan, tingkat pendidikan PMI kalah jauh dari OFW. PMI didominasi oleh lulusan sekolah dasar, sedangkan OFW didominasi oleh lulusan perguruan tinggi. Hal ini memengaruhi kualitas, yang pada gilirannya memengaruhi daya saing PMI dan OFW di pasar tenaga kerja migran.
Dalam kasus di atas, banyak OFW dengan pendidikan akhir sarjana yang menjadi pekerja domestik karena merasa gaji yang diterima di pekerjaannya saat ini lebih baik dibandingkan bekerja di dalam negeri. Mereka rela menjadi pekerja domestik yang bahkan tidak membutuhkan ilmu dari pendidikan terakhirnya demi gaji yang lebih besar.
Bagi pekerja migran, kurangnya kemampuan berbahasa Inggris menyebabkan pekerja migran lebih rentan mengalami tindak kekerasan.
Hal tersebut berbeda dengan yang dialami PMI. Berdasarkan data tingkat pendidikan akhir PMI yang diberangkatkan pada periode 2014-2018, komposisi PMI banyak yang memiliki pendidikan akhir di tingkat SD, SMP, dan SMA.
Dari 1,49 juta PMI prosedural yang tercatat BNP2TKI, 37,32 persennya lulus SMP. Sebanyak 33,14 persen dan 26,74 persen lulus SD dan SMA. Sementara sisanya, kurang dari 1 persen PMI, lulus sarjana dan pascasarjana. Tantangan bagi PMI di sini adalah menaikkan keterampilan dan daya saing agar berhasil mendapatkan pekerjaan di pasar pekerja migran.
Perbedaan tingkat pendidikan PMI dan OFW menyebabkan perbedaan tantangan bagi kedua kelompok tenaga kerja migran tersebut. OFW yang mayoritas berpendidikan tinggi harus rela menjadi pekerja domestik yang tidak membutuhkan ilmu dari pendidikan terakhirnya.
Sementara itu, PMI dengan mayoritas pendidikan rendah harus berjuang untuk menaikkan keterampilan demi mendapatkan pekerjaan yang ditawarkan dalam pasar pekerja migran.
Baca juga: Potret Kualitas Pekerja Migran Indonesia
Daya saing
Di luar tingkat pendidikan, kualitas tenaga kerja dapat dilihat salah satunya dari daya saing manusia di suatu negara. Terdapat dua komponen yang berhubungan dengan SDM yang biasanya diukur oleh World Economic Forum saat mengukur kemudahan berusaha (competitiveness index) di suatu negara, yakni kesehatan dan keterampilan. Di luar itu, masih terdapat 10 komponen lain yang digunakan untuk mengukur kemudahan berusaha di suatu negara.
Dalam pilar keterampilan, terdapat sembilan faktor yang dinilai, yakni rata-rata lama sekolah, lamanya karyawan diberi pelatihan, kualitas pelatihan kejuruan, jumlah keterampilan lulusan, kemampuan digital masyarakat, kemudahan menemukan pekerja terampil, harapan lama sekolah, pengajaran yang mengajak berpikir kritis, dan rasio murid-guru dalam pendidikan dasar.
Dalam World Competitiveness Index 2018, dari sektor keterampilan, Filipina mendapatkan nilai yang lebih baik di delapan indikator. Hanya satu indikator yang menempatkan Indonesia lebih baik daripada Filipina, yakni harapan lama sekolah.
Hal itu menunjukkan bahwa keterampilan sumber daya manusia di Filipina lebih baik daripada di Indonesia. Dengan keterampilan yang lebih baik, daya saing tenaga terampil Filipina lebih tinggi daripada tenaga terampil Indonesia di sektor pekerjaan yang sama.
Kemampuan bahasa
Bagi pekerja migran, selain tingkat pendidikan dan keterampilan, kemampuan bahasa negara tujuan menjadi kemampuan penting yang harus dimiliki. Minimal pekerja migran harus mampu memahami dan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dengan baik.
Jika dibandingkan dengan Filipina, kemampuan penduduk Indonesia dalam menggunakan bahasa Inggris masih tertinggal. Hal ini cukup wajar karena di Filipina, dalam kesehariannya, bahasa Inggris sudah digunakan untuk bercakap-cakap.
Education First dalam laporannya pada tahun 2018 menyebutkan bahwa Filipina masuk dalam kategori negara dengan kecakapan bahasa Inggris tinggi. Filipina meraih skor 61,84 dengan peringkat ke-14 dari 88 negara. Sementara Indonesia masih tergolong negara dengan kecakapan bahasa Inggris rendah dengan skor 51,58 dan berada di peringkat ke-51.
Bagi pekerja migran, kurangnya kemampuan berbahasa Inggris menyebabkan pekerja migran lebih rentan mengalami tindak kekerasan.
Hal tersebut diakui oleh Direktur Amnesty International Hong Kong Mabel Au Mei-po. Dalam media South China Morning Posttahun 2015, ia mengatakan bahwa hambatan berbahasa dan perbedaan budaya menjadi alasan pekerja domestik asal Indonesia mengalami kasus kekerasan di Hong Kong.
Sebetulnya, sebelum diberangkatkan ke negara penempatan, PMI sudah dibekali pelatihan berbahasa Inggris. Akan tetapi, menurut Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia tahun 2015 Sringatin, kualitas pelatihan yang diselenggarakan agen-agen migran tidak diatur secara ketat. Akibatnya, kemampuan berbahasa Inggris PMI belum merata. Hal ini meningkatkan tingkat kerentanan PMI terhadap tindak kekerasan.
Baca juga: Mencari Akar Perdagangan Manusia
Jejaring di luar negeri
Di luar campur tangan pemerintah, daya saing, serta kualitas pekerja migran, terdapat faktor pendukung bagi pekerja migran yang dimiliki oleh Filipina dibandingkan Indonesia, yakni jejaring di luar negeri.
Cukup banyak penduduk Filipina yang telah menetap atau sekadar tinggal sementara di luar negeri. Pada tahun 2015, sebanyak 2,3 juta pekerja Filipina berada di 192 negara. Sementara penduduk Filipina yang menetap di luar negeri pada tahun yang sama sebanyak 10,2 juta orang atau hampir 10 persen dari total penduduk Filipina.
Sementara berdasarkan data Bank Indonesia tahun 2015, terdapat sekitar 3,7 juta PMI yang bekerja di luar negeri (Kompas, 28 September 2016). Berdasarkan data BNP2TKI, pada saat itu, PMI tersebar di 145 negara. Jumlah warga negara Indonesia yang berada di luar negeri mencapai 4,3 juta orang atau 1,68 persen dari total penduduk Indonesia pada tahun 2015.
Pekerja migran Indonesia didominasi oleh lulusan sekolah dasar, sedangkan pekerja migran Filipina didominasi oleh lulusan perguruan tinggi.
Dengan sebaran yang luas dan jumlah penduduk migran yang tinggal di luar negeri yang lebih banyak, akses jejaring pekerja migran Filipina lebih luas. Hal ini menjadi modal sosial mereka ketika bekerja di luar negeri.
Dalam penelitian Anju Mary Paul di atas, disebutkan bahwa OFW lebih memiliki jejaring yang lebih luas dan banyak sebelum mereka berangkat ke negara penempatan.
Sebagai perbandingan, dari hasil survei dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa mayoritas PMI (51,5 persen) hanya memiliki satu kontak relasi di luar negeri sebelum berangkat ke negara penempatan. Adapun mayoritas OFW (43 persen) memiliki tiga atau lebih kontak relasi di luar negeri.
Penelitian di atas juga menyebutkan, luas dan terkoneksinya OFW dengan jejaring di luar negeri berdampak positif pada keseharian OFW ketika tiba di negara penempatan.
Kelas dunia
Melihat situasi pekerja migran Indonesia saat ini yang masih rentan dan kalah saing dibandingkan dengan negara lain, baik apabila pemerintah merumuskan kembali dan meningkatkan perlindungan serta kapasitas sumber daya manusia (SDM) pekerja migran.
Apalagi, peningkatan kualitas SDM menjadi prioritas kedua Presiden Joko Widodo dalam pidato visi Indonesia. Presiden Jokowi ingin mewujudkan SDM di Indonesia menjadi SDM kelas dunia.
Hal itu dapat mulai diwujudkan dengan meningkatkan kualitas dan daya saing calon pekerja migran Indonesia, mulai dari meningkatkan tingkat pendidikan, kemampuan bahasa, hingga keterampilan kejuruan yang dibutuhkan oleh pasar kerja.
Terlebih, dalam waktu-waktu ke depan, Indonesia mengalami bonus demografi. McKinsey dalam penelitiannya juga memprediksi bahwa pada 2030 nanti Indonesia akan memiliki tenaga ahli kejuruan yang berlebih. (LITBANG KOMPAS)