Gajah sumatera betina bernama Karina mati setelah menjalani proses translokasi selama 10 jam menuju salah satu kawasan hutan di Kabupaten Sarolangun, Jambi.
Oleh
IRMA TAMBUNAN dan ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Gajah sumatera betina bernama Karina mati setelah menjalani proses translokasi selama 10 jam menuju salah satu kawasan hutan di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Hingga Kamis (1/8/2019), penyebab kematian gajah berusia 45 tahun itu masih didalami.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi Rahmad Saleh mengatakan, Karina tewas diduga karena stres. Namun, pihaknya masih mengupayakan pendalaman lebih lanjut terkait dengan kejadian tersebut. ”Dari pengumpulan keterangan sementara, saya menduga Karina mati karena stres,” ujarnya.
Menurut Rahmad, tim memang telah berhari-hari mendekati Karina di pinggir kawasan hutan. Ia menduga, pada hari kelima saat Karina berhasil didekati dan dibius oleh tim, Minggu (28/7), dia sudah dalam kondisi lemah.
Dalam kondisi terbius, Karina berhasil digiring gajah jinak pemandu yang didatangkan dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas, Riau. Karina lalu dibawa ke lokasi hutan restorasi ekosistem Hutan Harapan di Kabupaten Sarolangun.
Setelah tiba di lokasi barunya, tim dokter menginjeksi cairan penawar bius untuk membangunkan kembali Karina. Namun, tak lama setelahnya, Karina rebah ke tanah dan akhirnya tewas.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno mengaku belum mengetahui perihal kematian Karina. Ia menyatakan belum mendapatkan laporan dari jajarannya. ”Saya akan coba mengecek informasi tersebut,” ujarnya.
Saat dihubungi, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK Indra Exploitasia Semiawan juga tidak memberikan banyak keterangan. Saat Kompas menanyakan perihal itu, ia meminta menanyakan informasi lengkapnya kepada Kepala BKSDA Jambi Rahmad Saleh.
Menurut Indra, opsi translokasi dalam upaya penyelamatan gajah dari ancaman konflik dengan manusia diperlukan. Pihaknya tengah memindahkan 12 gajah di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang situasinya berkonflik dengan masyarakat. ”Kami masih lakukan upaya penggiringan agar gajah kembali masuk dalam kawasan hutan,” katanya.
Rahmad sebelumnya menjelaskan, translokasi Karina diperlukan untuk membantu satwa itu bergabung dalam kelompok. Selama bertahun-tahun Karina diketahui sendirian menjelajah hutan sekunder di wilayah Muara Tabir, Tebo.
Kedatangan gajah-gajah tamu ini akan menambah populasi kantong spesies sehingga perkawinan sekerabat (in-breeding) dapat dihindari.
Kondisi Hutan Harapan menjadi lokasi yang paling layak untuk membentuk habitat baru gajah. Tahun 2017, gajah Haris menjalani translokasi di lokasi yang sama. Translokasi berlanjut pada gajah jantan bernama El Rahmad pada akhir 2018.
Kedatangan gajah-gajah tamu ini, menurut Rahmad, akan menambah populasi kantong spesies sehingga perkawinan sekerabat (in-breeding) dapat dihindari. Pembauran dalam ragam unsur genetika memberi peluang terciptanya regenerasi yang lebih baik.
Proses translokasi satwa yang memakan waktu dan biaya tak sedikit diharapkan mengentaskan dua hal: membangun kantong populasi dan mengatasi konflik dengan manusia.
Adapun translokasi diawali dengan upaya mendekati gajah liar dan menembakkan bius agar gajah tertidur. Dalam kondisi tidur, gajah tetap dapat berjalan, tetapi setiap langkahnya digiring oleh gajah terlatih.
Proses translokasi itu sendiri melibatkan puluhan orang, mulai dari kalangan konservator, mahout (pawang), peneliti, dan dokter hewan. Meskipun translokasi bukanlah cara baru dalam proses konservasi satwa, tak ada yang bisa menjamin prosesnya berjalan sukses. itu karena bukan perkara mudah mendekati seekor gajah liar yang terbiasa berkelana di tengah rimba dan semak belukar.
Proses penggiringan gajah menuju lokasi baru juga penuh tantangan. Beratnya medan tempuh dapat menambah tantangan penggiringan dan bahkan mengancam keselamatan satwa.
Gajah perlu dipastikan tiba dengan selamat di tempat yang baru. Selanjutnya, keberadaan gajah terus dipantau untuk memastikan satwa itu dapat beradaptasi dengan lingkungan baru.