Sidang Perdana Polusi Udara Jakarta Ditunda Tiga Pekan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang perdana polusi udara Jakarta, Kamis (1/7/2019). Namun, sidang yang menindaklanjuti gugatan Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta Ibu Kota yang menuntut udara bersih di Jakarta itu ditunda tiga pekan ke depan karena kekurangan syarat formal dari pihak penggugat dan tergugat.
Oleh
Ayu pratiwi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang perdana polusi udara Jakarta, Kamis (1/7/2019). Namun, sidang yang menindaklanjuti gugatan Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta Ibu Kota yang menuntut udara bersih di Jakarta itu ditunda tiga pekan ke depan karena kekurangan syarat formal dari pihak penggugat dan tergugat.
Hakim Ketua Saifudin Zuhri memutuskan menunda sidang hingga 22 Agustus 2019. Menurut dia, dari pihak tergugat ada beberapa kuasa hukum yang belum menandatangani berkas. Selain itu, ada surat kuasa yang halamannya tidak lengkap.
Dari pihak tergugat, beberapa orang yang mewakili instansi pemerintah datang dengan surat tugas, bukan surat kuasa. ”Jadi ada kekurangan persyaratan yang harus dipenuhi dari pihak tergugat dan penggugat,” ujar Saifudin.
Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta Ibu Kota merupakan gabungan individu dan organisasi yang memperjuangkan hak warga untuk mendapatkan udara bersih di Jakarta. Mereka menggugat tujuh pihak yang dinilai tidak mampu mengatasi polusi di Jakarta.
Mereka adalah Presiden RI, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, Pemprov Jawa Barat, dan Pemprov Banten.
Dari ketujuh tergugat itu, hanya Pemprov Banten yang tidak hadir. Sementara dari pihak penggugat hadir dengan mengenakan kaus merah bertuliskan ”Jakarta VS Polusi Udara”.
Sebelum sidang itu dimulai, Ayu Eza Tiara dari Tim Advokasi Gerakan Ibu Kota mengatakan, agenda sidang perdana adalah mediasi antara pihak penggugat dan tergugat. Mediasi ini merupakan tahap di mana para pihak dapat menyelesaikan masalah tanpa melalui proses persidangan.
”Untuk itu, ketujuh pihak yang digugat harus hadir. Apabila tidak, sidang akan ditunda tiga minggu. Jika ditunda, prosesnya akan semakin panjang sehingga hak warga mendapatkan udara bersih tertunda. Kalau tergugat enggak hadir, patut diduga kuat iktikadnya tidak baik,” katanya.
Jika ditunda, prosesnya akan semakin panjang sehingga hak warga mendapatkan udara bersih tertunda. Kalau tergugat enggak hadir, patut diduga kuat iktikadnya tidak baik.
Sidang dijadwalkan mulai pukul 09.00, tetapi hingga pukul 11.00 belum ada satu pihak tergugat yang hadir. Majelis hakim baru memulai sidang pukul 11.30 setelah enam dari tujuh lembaga pemerintah yang digugat tiba.
”Kami akan memanggil perwakilan Pemprov Banten yang tidak hadir dalam sidang perdana ini,” kata Saifudin.
Tiga tuntutan
Menurut Ayu, ada tiga hal yang dituntut penggugat. Pertama, memperketat batas baku mutu udara ambien. Kedua, pemerintah harus saling berkoordinasi dalam mengatasi pencemaran udara. Ketiga, pemerintah harus membuat rencana strategis yang sesuai dengan hasil riset untuk mengatasi pencemaran udara.
”Kami membuka peluang kepada pemerintah untuk diskusi. Nah, tahap mediasi ini penting untuk menentukan yang kami mau apa. Kebijakan pemerintah saat ini berdasarkan hasil riset enggak? Kalau enggak, langkah itu tidak efisien. Apalagi, pemerintah menggunakan dana pajak warga negara. Jadi harus hati-hati,” katanya.
Melani Subono, salah satu penggugat dari Koalisi Ibu Kota, menekankan, menghirup udara bersih merupakan salah satu hak paling mendasar manusia. Untuk itu, pemerintah wajib menyediakannya dengan mengatasi polusi udara.
”Kita sebagai warga negara juga berhak diberikan data yang jelas. Mesin pemantau kualitas udara di Bundaran Hotel Indonesia dan Gelora Bung Karno, misalnya, kadang tidak akurat. Bahkan, tidak jarang mesinnya rusak,” ujarnya.
Tim Advokasi Gerakan Ibu Kota mencatat, angka konsentrasi Particular Matter (PM)2,5 di Jakarta pada Januari-Juni 2019 sebesar 37,82 mikrogram per meter kubik (ug/m3). PM2,5 atau partikulat 2,5 adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron (mikrometer).
Angka PM2,5 di Jakarta itu hampir empat kali lebih tinggi dari standar PM2,5 yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (WHO) yang sebesar 10 mikrogram/meter kubik dalam setahun.
Sementara itu, standar minimum Baku Mutu Udara Ambien Nasional lebih rendah daripada standar WHO. Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, standar konsentrasi PM2,5 sebesar 15 mikrogram per normal meter kubik (Nm3) dalam setahun.
Tiga sumber utama pencemaran udara adalah transportasi, industri, dan rumah tangga. Diperkirakan, setidaknya 58,3 persen warga Jakarta menderita berbagai penyakit yang diakibatkan polusi udara.
Tren penyakit itu meningkat setiap tahun. Dari 2010-2016, kasus penyakit asma meningkat dari 1.210.581 menjadi 1.489.014 kasus, bronkopneumonia dari 173.487 menjadi 214.256 kasus, gangguan pernafasan kronis dari 153.724 menjadi 172.632 kasus, dan infeksi pernafasan akut dari 249.986 menjadi 373.935 kasus.