Daya Dukung Lingkungan Jakarta Terlampaui?
Konsep daya dukung mulai diangkat kembali di Jakarta setelah jumlah penduduk makin besar, konsumsi sumber daya alam makin tinggi, dan limbah meningkat. Tak hanya bergulat dengan isu pengurangan beban lingkungan, kini kian santer rencana pemindahan ibu kota.
Memang, salah satu alasan utama pemindahan ibu kota adalah daya dukung lingkungan Jakarta yang dinilai makin kurang. Jika pusat pemerintahan tak dipindah ke wilayah lain, tekanan lingkungan pada ibu kota akan semakin besar. Namun, apakah daya dukung lingkungan Jakarta memang benar-benar telah melampaui batas?
Daya dukung lingkungan dalam Undang-Undang Ketentuan Pokok-pokok Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 1982 adalah ”kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya”. Idealnya, daya dukung lingkungan menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan dan penetapan rencana tata ruang daerah.
Konsep daya dukung dalam UU Lingkungan Hidup tak dapat dipisahkan dari konsep daya tampung. Menurut UU No 32/2009, daya tampung lingkungan hidup adalah ”kemampuan lingkungan hidup menyerap zat, energi, dan komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya”.
Daya dukung lingkungan adalah modal alam, modal manusia, dan modal sumber daya buatan. Menurut Fatimah (2009), berdasarkan konteks tersebut, daya dukung lingkungan dapat dikelompokkan menjadi daya dukung lingkungan fisik dan nonfisik. Bagaimana dengan daya dukung lingkungan Jakarta?
Melampaui batas
Sejumlah lembaga menghitung daya dukung lingkungan Jakarta dengan beberapa metode. Secara umum, hasil penghitungan menunjukkan, kemampuan lingkungan Jakarta dalam menyediakan sumber daya telah melampaui batas.
Penghitungan daya dukung lingkungan dilakukan Kementerian Koordinator Perekonomian pada 2006 menggunakan konsep ecological footprint atau jejak ekologi. Konsep tersebut mengukur beban populasi yang harus ditanggung lingkungan. Konsep ini pun mengukur besar lahan yang diperlukan untuk menjamin keberlangsungan konsumsi dan daur ulang limbah yang dihasilkannya.
Ecological footprint menurut Wackernagel dan Rees (1995) adalah seberapa besar atau konsumsi area bioproduktif (lahan dan air) dari suatu populasi. Jejak ekologi merupakan cara mengukur dan menganalisis konsumsi sumber daya dan keluaran limbah dalam konteks kapasitas alam dalam memperbarui serta beregenerasi.
Besaran jejak ekologi dihitung berdasarkan jejak ekologi dunia sebesar 4,18 hektar per orang (Wackernagel dalam Perhitungan Daya Dukung Pulau Jawa, Kementerian Koordinator Perekonomian, 2006). Hasilnya, dengan jumlah penduduk Jakarta (2018) 10,37 juta orang dan kebutuhan lahan 4,18 hektar, dibutuhkan lahan 43,36 juta hektar. Padahal, ketersediaan lahan hanya 66.233 hektar. Menggunakan perhitungan itu, konsumsi lahan di Jakarta sudah melebihi kondisi lahan yang ada. Daya dukung lahan terlampaui, bahkan defisit.
Kritik terhadap perhitungan tersebut ialah standar kebutuhan lahan (4,18 hektar) yang digunakan merupakan standar di luar Indonesia. Kebutuhan lahan dalam konsep Wackernagel merupakan lahan yang dibutuhkan untuk ketersediaan pangan saja, tanpa memperhitungkan aktivitas-aktivitas penduduk lainnya. Selain itu, lingkup perhitungannya adalah wilayah administrasi provinsi. Padahal, belum tentu daya dukung semua wilayah dalam lingkup provinsi tersebut terlampaui.
Selanjutnya, pada 2010, Kementerian Pekerjaan Umum menghitung Jejak Ekologi Indonesia dengan mengadopsi perhitungan National Footprint dan Biocapacity Accounts yang dilakukan Wackernagel (2004). Perhitungan ini untuk mengetahui perbandingan antara permintaan manusia akan area bioproduktif dan ketersediaan area bioproduktif.
Konsumsi ecological footprint menggambarkan barang dan jasa yang dibutuhkan populasi dari lingkungan mencakup area lahan pertanian, padang rumput, hutan, perikanan, lahan terbangun, dan ketersediaan bahan bakar fosil. Adapun biokapasitas (BC) adalah kapasitas ekosistem untuk menghasilkan bahan biologi yang berguna menyerap limbah yang dihasilkan manusia.
Keberlanjutan suatu kota bisa terjadi jika ecological footprint-nya lebih kecil dari area bioproduktifnya (biocapacity). Meski demikian, suatu wilayah yang ecological footprint-nya rendah atau mengecil belum tentu memenuhi syarat sebagai wilayah yang berkelanjutan.
Perhitungan Kementerian Pekerjaan Umum tersebut menunjukkan Jakarta mengalami defisit jejak ekologi. Hal ini ditunjukkan dari nilai biokapasitas, ketersediaan lahan pertanian, hutan, serta perikanan yang nilainya lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi tiga jenis lahan tersebut.
Akibatnya, Jakarta sangat bergantung pada daerah sekitar untuk pasokan produk pertanian, peternakan, dan perikanan karena ketersediaan lahan pertanian sudah defisit. Nilai tertinggi jejak ekologis berasal dari lahan untuk penyerapan karbon. Hal ini bisa terjadi karena penggunaan energi oleh penduduk Jakarta untuk keperluan transportasi dan industri semakin tinggi.
Kesesuaian lahan
Selain menggunakan metode jejak ekologi, daya dukung lahan Jakarta juga dihitung dengan metode kesesuaian lahan, yang mengkaji pemanfaatan lahan kota dalam kondisi ideal.
Fitri Wardhono (2012) mengkaji daya dukung lingkungan menggunakan metode kesesuaian lahan. Menurut Fitri yang dikutip dari laman fitriwardhono.wordpress.com, ada beberapa faktor yang memengaruhi daya dukung lingkungan. Faktor itu meliputi keamanan lahan darat dari bahaya pasang laut, air sungai, curah hujan, serta kelayakan untuk hunian. Penelitian ini menggunakan metode sumperimposed (tumpang tindih) empat peta yang terdiri dari kondisi ketinggian, keamanan sempadan sungai, potensi amblesan tanah, dan potensi resapan air tanah.
Hasilnya, luas kawasan layak huni dan layak kegiatan perkotaan di Jakarta masih 37.703,16 hektar atau 58,53 persen luas daratan Jakarta. Wilayah dengan lahan layak huni dan layak kegiatan terluas berada di Jakarta Timur, sementara Jakarta Selatan mencatat persentase lahan layak yang tertinggi.
Perhitungan daya dukung lahan menggunakan metode kesesuaian lahan menunjukkan masih ada wilayah Jakarta yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya, antara lain untuk permukiman, komersial, perkantoran, transportasi, jaringan telekomunikasi, dan sarana prasarana air. Lahan budidaya tersebut di luar kawasan lindung kota, seperti jalur hijau serta daerah sempadan sungai dan situ.
Dengan demikian, pada 2012 kondisi lahan Jakarta masih tersisa untuk menampung penduduk. Namun, kondisi dan situasi lahan budidaya yang tersedia saat ini tentu berbeda dibandingkan dengan tahun 2012 mengingat jumlah penduduk saat ini telah meningkat 5,7 persen dibandingkan dengan tahun 2012.
Daya tampung
Tak mudah menghitung kondisi daya dukung lahan Jakarta karena data pemanfaatan lahan terkini tidak tersedia. Basis perencanaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2010-2030 menggunakan data pemanfaatan lahan kondisi tahun 2008. Data ini kurang menggambarkan kondisi ketersediaan lahan 2019 yang tentu mengalami banyak perubahan.
Daya dukung lahan Jakarta seharusnya bisa didekati dengan menggunakan kondisi daya tampung penduduk berdasarkan target jumlah dan kepadatan penduduk yang telah ditentukan. Seperti diketahui, RTRW Jakarta 2030 merencanakan Jakarta dihuni 12,5 juta orang. Persebaran penduduk dengan persentase sekitar 25 persen diarahkan ke Jakarta Barat dan Jakarta Timur.
Pada 2017, persebaran penduduk mengarah ke dua wilayah tersebut. Hanya saja, penduduk lebih terkonsentrasi di Jakarta Timur. Distribusi penduduk ke Jakarta Timur pada 2017 (28 persen) melebihi target yang ditetapkan (24 persen). Adapun persebaran ke Jakarta Barat pada 2017 masih di bawah target. Sebaliknya, persebaran ke Jakarta Pusat (11 persen) melebihi target.
Ambil contoh Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, pada 2030 direncanakan bisa menampung penduduk hingga 497.530 jiwa. Namun, pada 2017, jumlah penduduknya mencapai 532.787 jiwa. Artinya, kemampuan Cakung untuk menyerap zat, energi, atau sisa kegiatan manusia (sampah dan limbah) akan berkurang. Kelebihan kuota penduduk tersebut memengaruhi daya dukungnya yang diikuti dengan bertambahnya tekanan pada daya dukung lingkungan.
Jika dilihat per kecamatan, akan ada 13 kecamatan selain Cakung yang jumlah penduduknya melebihi rencana 2030, di antaranya Ciracas, Cipayung, Kramatjati, Duren Sawit, Cakung, dan Matraman. Disusul Kecamatan Senen, Sawah Besar, Gambir, dan Johar Baru.
Kajian Litbang Kompas pada 2012 mengungkap, jika penduduk disebar merata di Jakarta, setiap individu hanya mendapat ruang untuk bergerak seluas 8 meter x 8 meter (Kompas, 16/4/2012). Kepadatan yang tinggi berdampak pada kondisi fisik dan nonfisik kota. Secara fisik, nilai estetika kawasan bisa hilang dengan masifnya pertumbuhan bangunan tinggi. Dari segi nonfisik, keterbatasan ruang gerak menyebabkan perubahan perilaku warga.
Layaknya molekul yang kerap bersinggungan, gerak yang tak beraturan dengan intensitas yang bertambah akan meningkatkan temperatur medium yang mewadahinya. Ruang gerak sempit berpotensi menimbulkan gesekan antarindividu atau antarkelompok.
Kecamatan Johar Baru dengan kepadatan penduduk tertinggi se-Jakarta, misalnya, menjadi wilayah tawuran antarwarga berintensitas tinggi. Hasil penelitian ”Wilayah Tawuran dan Wilayah Damai Tawuran Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat (2014)” menunjukkan, wilayah tawuran berada di wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi dan permukiman kumuh yang ditandai dengan area kekuasaan geng.
Sebaliknya, wilayah bebas tawuran berada di daerah dengan kepadatan penduduk rendah dan permukiman tidak kumuh, serta wilayah yang tidak memiliki wilayah kekuasaan geng.
Laju pertumbuhan
RTRW Jakarta 2030 memperkirakan penduduk Jakarta akan berjumlah 12,5 juta jiwa. Dengan demikian, semua aspek perencanaan kota menetapkan batas ambang tertinggi pada patokan jumlah penduduk 12,5 juta jiwa, baik dari sisi permukiman, sanitasi, drainase, air bersih, persampahan, maupun transportasi.
Litbang Kompas memperkirakan jumlah penduduk di Jakarta pada tahun 2030 melebihi 12,5 juta jiwa. Jika menggunakan dasar laju pertumbuhan penduduk 0,94 persen, jumlah penduduk Jakarta sebesar 12.527.596 jiwa diperkirakan tercapai tahun 2024.
Jika dilihat per kecamatan, kondisi tersebut tersebar merata ke seluruh wilayah Jakarta. Bahkan, di Kepulauan Seribu yang kepadatan penduduknya rendah, diperkirakan pada 2020 melampaui target jumlah yang direncanakan.
Kondisi itu mengindikasikan daya dukung dan daya tampung lingkungan Jakarta akan mulai menurun pada 2020. Bisa diprediksikan segala masalah lingkungan seperti banjir, penurunan muka tanah, dan pencemaran akan lebih buruk dari kondisi sekarang. (LITBANG KOMPAS)