Aku dan Lelaki Itu
Kompas/Supriyanto Cartoons
Setiap kali mengunjungi Pantai Kuta, entah mengapa aku selalu teringat kepada lelaki itu. Entah mengapa pula Kuta selalu identik dengan sosok dirinya. Seolah Kuta dan dirinya lebur menjadi satu kesatuan.
Senja itu, aku sengaja datang ke rumahnya di Kuta yang merangkap studio melukisnya. Aku ingin mewawancarainya. Aku ingin menulis tentang dirinya secara utuh. Namun, dia malah mengajakku jalan-jalan menyusuri pantai.
“Pasir pantai akan menyehatkan kakimu,” ujarnya.
Maka, senja itu, sembari menenteng sandal, kami berjalan menyusuri bibir pantai. Lidah-lidah ombak menjilati kaki kami yang telanjang. Butir-butir pasir seolah meresap ke dalam pori-pori telapak kaki kami. Cahaya matahari semakin tua dan sebentar lagi akan berakhir.
“Jadi, kamu ingin menulis apa tentang diriku?” Lelaki itu menoleh ke arahku.
“Ya, apa saja tentang diri Abang.”
Untuk mengakrabkan diri aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan “abang”. Aku sering mendengar kisah tentang dirinya. Aku juga beberapa kali pernah bertemu dengannya dalam acara pameran lukisan. Penampilannya klimis dan perlente, pakaiannya necis, bersepatu ciko, mengendarai motor besar. Perawakannya tidaklah terlalu tinggi. Namun, sorot matanya sangat tajam bagai mata elang. Rambutnya yang panjang dan sebagian memutih dikuncir rapi. Dia masih tampak ganteng di usia tuanya.
“Umurku sudah kepala enam. Sudah banyak hal yang kulalui dalam hidup ini.”
“Abang masih suka minum?”
Aku mulai mewawancarainya. Dia tertawa kecil. Mungkin pertanyaan yang kulontarkan dianggapnya lucu. Dulu, pada suatu acara pameran lukisan kulihat dia mabuk cukup parah dan ngoceh tak karuan. Di lain waktu pernah pula secara kebetulan aku bertemu dengannya di sebuah kafe di Kuta dan dia mentraktirku minum bir. Saat itu, dia banyak berceloteh tentang Chairil Anwar. Dan, baru saat itu aku mengetahui dia menyukai puisi-puisi dan kehidupan si Binatang Jalang itu.
“Kadang-kadang jika lagi ingin minum,” jawabnya enteng.
“Pernah mengalami gangguan pada tubuh, Abang?”
“Maksudmu?”
“Sakit lever, misalnya.”
“Ah, apa yang mesti ditakutkan dari penyakit? Justru penyakit yang takut sama tubuhku.”
Dia tertawa kecil. Aku tersenyum mendengar gurauannya. Namun, bisa jadi dia tidak sedang bergurau. Dia telah menyelami kehidupan hingga ke lumpurnya yang paling kelam.
“Abang masih suka merokok?”
“Janganlah melontarkan pertanyaan bodoh kepadaku, Dik.”
“Ehm. Maaf, Bang.”
“Ya, aku masih merokok, hanya beberapa batang sehari.”
Lelaki di sampingku berhenti melangkah. Aku pun menghentikan langkah. Dia menatap lautan yang disepuh cahaya senja. Suara debur ombak seolah menggema dalam relung batinku.
“Lihatlah hamparan pantai ini. Dengarlah debur ombak itu. Perhatikan cahaya senja yang perlahan akan sirna. Hidup ini indah, bukan? Namun semua keindahan ini akan pergi dari pikiran kita jika kita mati.”
“Kedengarannya sangat filosofis, Bang.”
“Itu menurut pikiranmu. Bagiku, alam telah mengajarkan banyak hal kepada kita. Hanya saja kita selalu dungu menyimaknya.”
Dia menatapku. “Berapa umurmu?”
“Tiga puluh, Bang,”
“Sudah berkeluarga?”
“Belum, Bang.”
Dia tertawa kecil. “Ya, sebaiknya tak usah berkeluarga.”
Dia mengamati alunan gelombang yang datang dan pergi. Kedua tangannya direntangkan. Dia menghirup udara beraroma garam begitu dalam. Kemudian dengan lantang dia meneriakkan sebaris puisi Chairil Anwar: “Peluk kecup perempuan, tinggalkan kalau merayu.” Beberapa turis yang sedang berjemur menoleh ke arah kami.
Dengan kalem dia menatapku. “Kamu pernah meniduri perempuan?”
“Pernah, Bang.”
“Berapa perempuan?”
“Satu, Bang.”
“Pacarmu?”
“Iya, tapi kami sudah lama pisah.”
“Cari lagi yang lain.”
“Sedang kuusahakan, Bang.”
Dia tersenyum. Kami kembali melangkah menyusuri bibir pantai. Dari gosip yang kudengar, sejak usia muda dia sering gonta-ganti perempuan. Kebanyakan perempuan asing. Bahkan, beberapa dari perempuan itu bersikeras ingin punya anak darinya.
“Jadi, apa yang ingin kau tulis tentangku?”
“Ya, semuanya, Bang. Tentang kisah hidup Abang.”
“Apa pentingnya menulis tentang kisah hidupku?”
“Kata orang, Abang legend.”
“Ah, omong kosong apa lagi itu.”
“Itu yang sering kudengar, Bang.”
“Mereka bisa saja membual tentang aku.”
“Iya, Bang, tapi aku memang ingin menulis sesuatu tentang Abang. Mungkin tentang karya-karya Abang.”
Dulu aku pernah menulis ulasan pameran tunggalnya untuk sebuah media di Jakarta. Karya-karyanya menarik dan unik. Dia menghidupkan kembali seni kolase yang telah lama ditinggalkan para perupa. Pada bentang kanvasnya dia suka menempel benda-benda temuan, seperti kayu terbakar, sandal jepit, kutang, kaleng bekas, bahkan sepeda ontel ringsek. Tentu saja karya-karya seperti itu sangat jarang dibeli atau dikoleksi orang. Tapi dia tidak peduli. Bahkan, konon dia pernah memaki kolektor yang merendahkan karyanya. Baginya, kesenian adalah ekspresi dirinya. Karya-karyanya adalah anak-anak rohaninya.
“Tulisanmu tentang ulasan pameranku dulu itu bagus. Aku membaca dan menyimpannya.”
“Terima kasih, Bang. Hanya tulisan sederhana yang banyak kekurangannya.”
“Sesederhana apa pun itu tetap karyamu.”
“Iya, Bang.”
“Melukis bagiku seperti bercinta. Aku melukis hanya untuk menuruti naluri seniku. Aku tak peduli orang suka atau tidak.”
“Abang memang berjiwa seniman.”
“Kau meragukan kesenimananku!?”
“Oh tidak, Bang.”
“Aku banyak belajar dari sikap hidup Chairil Anwar.”
Dia lahir di Yogyakarta dan menghabiskan masa remajanya di Jakarta. Pada awal tahun 1980-an dia pindah ke Bali dan jatuh hati pada Kuta. Perlahan-lahan dia berhasil membangun rumah dan studio sederhana di pinggiran Kuta. Rumah dan studio itu juga sering menjadi markas dan tempat persinggahan kawan-kawannya sesama seniman. Sebelumnya, aku pernah dua kali mampir ke studionya. Ketika capek melukis, dia bersama kawan-kawannya bermain musik sembari minum arak, tuak, atau bir. Kadang mereka berpesta jamur tai sapi, kadang hanyut dalam asap ganja. Ada saja perempuan-perempuan bule yang nimbrung dan tergeletak di studionya. Mereka seolah menemukan surga yang hilang di sana.
“Apa yang membuat Abang meninggalkan Jakarta, lalu memilih menetap di Kuta?”
“Aku tidak menemukan yang kucari di Jakarta untuk jiwa seniku.”
“Maksudnya?”
“Jakarta terlalu borjuis bagi jiwa seniku.”
“Lalu, apakah Kuta tidak borjuis, Bang?”
“Sekarang mungkin iya. Namun, dulu, awal 1980-an, Kuta adalah salah satu surga bagi seniman selain Ubud dan Sanur. Kuta adalah simbol kebebasan ekspresi, bagiku.”
“Abang berjiwa romantik.”
“Maka dari itu banyak cewek yang suka padaku.”
Kami tertawa bersama. Kami membiarkan buih ombak mengelus-elus kaki kami. Entah berapa jejak kaki yang telah kami tinggalkan di pasir sejauh menyusuri pesisir. Entah berapa jejak yang telah berhasil dihapus ombak.
“Apa tujuan hidupmu?”
Aku terhenyak. Aku tidak menduga mendapat pertanyaan seperti itu. Sebenarnya siapa yang mewawancarai dan siapa yang sedang diwawancarai. Aku sendiri belum tahu apa tujuan hidupku. Aku terkadang berpikir apa hidup perlu tujuan? Bagiku, hidup adalah untuk hidup itu sendiri.
“Aku belum tahu, Bang.”
“Setiap orang semestinya punya tujuan hidup. Kalau tujuan hidupku, seperti Chairil Anwar bilang: aku ingin hidup seribu tahun lagi.”
“Aku ingin terus menulis, Bang. Menulis apa saja yang menarik perhatianku.”
“Iya, itu bagus. Sama seperti melukis, modal utama menulis adalah kejujuran. Jujur pada diri sendiri.”
Aku terdiam, merenungi ucapannya.
“Kamu tahu, terlalu banyak orang tidak jujur pada dirinya sendiri. Banyak orang tiap hari bangun pagi, pulang sore, hanya untuk mendapatkan gaji yang tidak seberapa. Mereka mengorbankan hidupnya menjadi mesin.”
“Setiap orang punya pilihan yang berbeda, Bang.”
“Maka dari itu aku memilih menjadi seniman. Aku menghargai hidupku sebagai seniman. Aku menjadi bos untuk diriku sendiri.”
“Lalu, bagaimana cara seniman menghidupi dirinya, Bang?”
“Itu pertanyaan bodoh.”
Aku terdiam. Memang yang kulontarkan adalah pertanyaan sangat bodoh.
“Setiap orang telah dikaruniai bakatnya masing-masing. Mereka berhak mengolah bakatnya dengan kerja keras dan menghasilkan sesuatu dari bakat itu. Kau punya bakat menulis, maka kau olah bakatmu itu sehingga berguna bagi dirimu dan orang lain.”
“Iya, Bang.”
Sebagai seorang penulis yang masih banyak belajar, aku merasa tak berdaya di hadapannya. Bagiku dia benar-benar legend. Dia punya kharisma yang tak semua seniman memilikinya. Sorot mata elangnya seolah ingin mengulitiku. Mungkin sorot mata itu pula yang membuat banyak perempuan takluk padanya.
Berjalan bersamanya menyusuri pesisir Pantai Kuta selalu melekat dalam ingatanku. Peristiwa itu terjadi lebih dari sepuluh tahun lalu. Beberapa tahun kemudian kudengar dia opname di sebuah rumah sakit. Karena berbagai kesibukan pekerjaan, aku tak sempat menjenguknya. Mungkin hampir sebulan dia opname karena gangguan liver dan paru-paru.
Tak ada keluarga atau kerabat yang menjenguknya. Semua urusan rumah sakit diurus oleh kawan-kawan karibnya. Bahkan ketika meninggal, dia diurus oleh kawan-kawannya. Menurut berita yang kudengar, dia sempat meninggalkan surat wasiat agar mayatnya dikremasi bersama karya-karyanya dan abunya ditabur di Pantai Kuta. Mungkin dia akan hidup seribu tahun lagi di hati para pengagumnya. Entahlah.
Aku menatap deburan ombak Pantai Kuta. Di antara hamparan biru lautan seolah kulihat dia tersenyum ke arahku. Hingga kini kisah tentang dirinya belum pernah selesai kutulis. Semesta telah lebih dulu menuliskannya.
Wayan Jengki Sunarta lahir di Denpasar, 22 Juni 1975. Lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Pernah kuliah Seni Lukis di ISI Denpasar. Mencipta puisi sejak awal 1990-an, kemudian merambah ke penulisan prosa liris, cerpen, feature, esai/artikel seni budaya, kritik/ulasan seni rupa, dan novel.