Polri Bongkar Sindikat Peretas yang Kuras Rp 113 Miliar dari Perusahaan Yunani
Polisi menangkap lima warga negara Indonesia yang terlibat sindikat peretas internasional. Sindikat ini membobol Rp 113 miliar uang salah satu perusahaan di Yunani.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polisi menangkap lima warga negara Indonesia yang terlibat sindikat peretas internasional. Sindikat ini membobol Rp 113 miliar uang salah satu perusahaan di Yunani. Peretasan oleh sindikat internasional ini dinilai membahayakan Indonesia dan negara-negara lain sehingga pemerintah diminta memperkuat kerja sama intelijen antarnegara.
Kepala Subdirektorat II Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Besar Rickynaldo Chairul, Rabu (7/8/2019), di Jakarta, menjelaskan, kasus ini bermula dari audit keuangan bendahara perusahaan OPAP Investment Limited, Zisimos Papaioannou. Dari hasil audit, terdapat dua transaksi mencurigakan pada 16 Mei 2019 dan 23 Mei 2019. Nilainya mencapai Rp 113 miliar.
Sindikat peretas internasional besutan warga Nigeria ini, kata Ricky, meretas dan mempelajari data surat elektronik (surel) Zisimos Papaioannou. Lalu, peretas memerintahkan salah satu bank di Republik Ceko, yang bekerja sama dengan perusahaan itu, untuk mengirim uang ke salah satu rekening perusahaan yang ada di Indonesia.
”Nama perusahaan itu mirip dengan nama perusahaan Yunani. Hanya saja berbentuk persekutuan komanditer (CV),” katanya.
Dari Rp 113 miliar uang yang mengucur ke rekening perusahaan duplikat itu, baru sekitar Rp 5,6 miliar yang berhasil disita polisi. Besaran Rp 5,6 miliar itu berbentuk uang, properti, mobil, dan lain-lain.
Dalam menjalankan aksinya, sindikat itu merekrut lima orang Indonesia, yaitu KS, HB, IM, DN, dan BY. KS bertugas mengambil hasil kejahatan dan menukarkannya ke valuta asing. Empat orang lainnya bertugas menyiapkan semua persyaratan untuk mentransfer uang, antara lain mendirikan perusahaan dan membuka rekening.
”Saya menyimpulkan, perusahaan itu sengaja dibuat agar dapat membuka rekening yang menerima aliran uang,” katanya.
Selain menahan lima tersangka, polisi juga menerbitkan red notice untuk dua pelaku utama yang masih buron, yaitu IR dan BV.
Menurut Ricky, sindikat ini menerjunkan tim khusus ke Indonesia untuk merekrut orang. Awalnya, ada anggota tim yang menikahi atau memacari perempuan Indonesia. Pacar atau istri anggota tim itu mencari orang baru untuk menjalankan ”bisnis”.
Kepada polisi, kelima tersangka mengaku bahwa mereka mendapat 15 persen dari hasil kejahatan. ”Sisanya untuk bos besar (pelaku utama),” katanya.
Dari hasil kejahatan ini, polisi menyita tujuh mobil, dokumen pendirian CV, tujuh sertifikat tanah dan bangunan, lima kartu tanda penduduk, sebelas kartu anjungan tunai mandiri, 13 buah stempel perusahaan, serta uang tunai sebesar Rp 742 juta.
Atas perbuatannya ini, kelima tersangka terancam 20 tahun pidana penjara. Ini sesuai dengan Pasal 82 dan atau Pasal 85 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana dan atau Pasal 46 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) juncto Pasal 30 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) dan atau Pasal 51 Ayat (1) dan Ayat (2) juncto Pasal 35, dan atau Pasal 36 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan atau Pasal 3, Pasal 5 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan atau Pasal 378 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan atau Pasal 263 KUHP.
Ricky menyatakan, kejahatan siber yang meretas surel perusahaan ini menjadi fenomena umum di dunia. Oleh sebab itu, perusahaan diminta menjaga ketat surel karyawannya. ”Ganti kata kunci surel secara berkala,” kata Ricky.
Dihubungi terpisah, Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja menjelaskan, orang Indonesia terkesan hanya untuk ditangkap saja dalam kasus kejahatan siber internasional. Sebab, penelusuran ke arah pelaku utamanya selalu terputus.
Oleh sebab itu, ia meminta pemerintah memperkuat kerja sama intelijen antarlembaga dan antarnegara. Peran Indonesia di forum-forum interpol juga harus ditingkatkan.
Dia berpendapat, sindikat peretas internasional ini berbahaya bagi Indonesia. ”Terbuka kemungkinan hasil kejahatan itu digunakan untuk membiayai tindakan terorisme,” katanya.