Jual Kambing hingga Bayar Dukun demi Sebuah Kepastian
Selama 21 tahun ditahan majikan di Arab Saudi, Turini (43) akhirnya kembali ke kampung halamannya di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Kedatangannya tidak hanya membuat keluarga terharu, tetapi juga menguak tabir masih ada turini-turini lain yang belum beruntung bisa pulang mencium Tanah Air.
Turini menginjakkan kaki di rumahnya di Desa Dawuan, Kecamatan Tengah Tani, Senin (22/7/2019). Tangis haru dan pelukan keluarga serta kerabat menyambutnya. Air mata mengalir di pipi Turini yang berbalut bedak.
Banyak yang penasaran dengan kisahnya selama 21 tahun di Arab Saudi dan tujuh tahun kehilangan kontak dengan keluarga. Sebaliknya, Turini juga berupaya mengumpulkan memori yang ia lewatkan, seperti kepergian ayahnya, Mastari, untuk selama-lamanya dan kehadiran cucunya, Nur Sya’ban Diaz (7).
Saat berangkat sebagai asisten rumah tangga (ART) pada tahun 1998, Turini meninggalkan anak-anaknya, Diah Ardika Sari yang berusia 6 tahun dan Menda yang masih membutuhkan air susu ibu. Suaminya, Samsudin (51), yang bekerja sebagai buruh harian lepas, menjelma menjadi orangtua tunggal. Empat tahun di Arab, Turini sempat mengirim uang Rp 20 juta kepada keluarga.
Setelah itu, hanya surat yang datang. Sejak 2012, keluarga kehilangan kabar. Keluarga berupaya mencari Turini. Namun, perusahaan yang memberangkatkan Turini telah bangkrut. Orang yang merekrut (sponsor) juga telah meninggal. Uang jutaan rupiah untuk membayar pihak yang berjanji memulangkan Turini terbuang sia-sia.
Hingga pada Maret lalu Diah Ardika mendapat informasi tentang ibunya di media sosial ART asal Filipina di Arab Saudi. Kabar tersebut diteruskan kepada Kementerian Ketenagakerjaan, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, dan Kementerian Luar Negeri melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia di Riyadh.
”Seharusnya, saya hanya dua tahun di Arab. Tetapi, lalu ditahan majikan. Saya kerja terus tanpa digaji. Meskipun tidak mengalami kekerasan fisik, saya tetap frustrasi karena enggak boleh pulang,” ujarnya. Pemerintah membantunya mendapat gaji yang belum dibayarkan sebesar 152.000 riyal Saudi atau sekitar Rp 575 juta. Uang itu bakal jadi modal membangun rumah dan buka usaha.
Getir-ludes
Di tempat lain, bahagia belum juga hadir di rumah Carmi di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Cirebon, 23 kilometer dari rumah Turini. Ilyas (85) dan Warniah (75) masih berharap anaknya, Carmi, lekas pulang. Sekitar 31 tahun lalu, Carmi berangkat sebagai ART di Arab Saudi dan belum pulang.
”Waktu itu usianya masih belasan tahun dan baru lulus SD. Katanya, ia ke sana untuk membahagiakan orangtua. Umurnya juga ditambah supaya punya KTP,” ucap Ilyas, terisak. Sebagai anak sulung dari 10 bersaudara, Carmi tulang punggung keluarga. Lagi pula beberapa tetangganya yang bekerja sebagai pekerja migran ilegal (PMI) di Arab Saudi mampu membangun rumah. Carmi ingin hal serupa.
Sayangnya, hanya tujuh tahun ia berkirim kabar. Dua puluh empat tahun terakhir keluarga hilang kontak. Bukannya menerima uang dari anaknya, Ilyas malah menjual tambak garamnya seluas 1.400 meter persegi, emas istrinya, lima ekor kambing, dan hasil panen garam untuk mencari anaknya.
”Jika dihitung-hitung, sudah lebih dari Rp 10 juta. Uang itu untuk bayar dukun dan orang yang katanya mau memulangkan anak saya. Tapi, semua tidak ada bukti,” ungkapnya. Semua foto, bahkan pakaian Carmi, telah diserahkan kepada dukun. Sponsor yang merekrut anaknya juga telah meninggal. Soal perusahaan yang memberangkatkan Carmi, keluarga tidak tahu.
Nasib serupa dialami Rakayah (29), warga Desa Karangkendal, Kecamatan Kapetakan, Cirebon. Perempuan lulusan SD itu berangkat ke Kuwait pada 2006. Anak tukang becak tersebut ingin menjadi PMI agar memperbaiki perekonomian keluarga meskipun harus memalsukan usianya.
”Dia hanya menelepon sekali waktu di sana. Dia juga sempat mengirim uang Rp 1.150.000. Setelah itu tidak ada kabar,” ujar Surna (52), kakak Rakayah. Uang kiriman itu habis untuk membayar utang yang dipinjam Rakayah sebelum berangkat.
Bukannya memperbaiki rumah yang masih berdinding kayu dan beralas tanah, kepergian Rakayah malah membuat ibunya, Damen, kerap jatuh sakit. ”Kalau ada tetangga pulang dari Arab, kondisi ibu langsung drop. Saya sudah lupa wajah kakak. Katanya mirip artis Okky Lukman,” kata Jakaria (27), adik Rakayah.
Keluarga mencoba mencari keberadaan Rakayah. Namun, orang yang mengurus dokumen telah meninggal. Keluarga juga tidak mengetahui keberadaan perusahaan penyalur tenaga kerja. ”Kami tidak tahu harus bagaimana lagi,” ucapnya.
Marka (65) dan Suniah (55) juga sempat terpikir menyerah mencari anaknya, Fitriyah (31), warga Desa Lungbenda, Kecamatan Palimanan, yang sudah 12 tahun hilang kontak. Anak buruh tani itu berangkat ke Arab tahun 2006 setelah lulus dari SMA. ”Saya sudah bilang, enggak usah ke sana. Tetapi, anaknya ngotot. Katanya, mau bahagiain orangtua,” kenang Suniah.
Fitriyah memang sempat mengirim Rp 22 juta untuk keluarganya. Uang itu sudah dibelikan tanah seluas 140 meter persegi. ”Tanah itu untuk Fitriyah. Kami juga sudah keluarkan banyak uang untuk mencari dia. Kalaupun sudah tiada, saya ikhlas. Yang penting, jasadnya ada,” kata Suniah.
Orang dekat
Kisah Rakayah, Carmi, dan Fitriyah menjadi potret buruknya perlindungan terhadap PMI. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Cirebon menerima laporan PMI asal Cirebon yang bermasalah tahun lalu mencapai 26 kasus.
Jumlah itu berkurang dibandingkan dengan 2017, yakni 32 kasus. Masalah PMI yang dimaksud antara lain berangkat ke negara tujuan secara ilegal, meninggal, tidak sesuai perjanjian kerja, hilang kontak, dan ditelantarkan majikan. Pada saat yang sama, jumlah PMI asal Cirebon terus meningkat. Jika pada 2017 tercatat 8.846 orang, setahun selanjutnya bertambah menjadi 10.185 orang. Jumlah itu belum termasuk warga yang menjadi PMI tidak sesuai prosedur.
Pelaksana Tugas Bupati Cirebon Imron Rosyadi meminta warga segera melapor jika masih ada PMI asal Cirebon yang hilang kontak. ”Di Arab juga ada Abu Jahal. Semoga warga kita enggak dapat majikan seperti Abu Jahal,” kata Imron. Abu Jahal merupakan sosok yang kerap berbuat jahat.
Mendengar hal itu, Pengantar Kerja Ahli Pertama Subdit Perlindungan TKI dari Kemnaker Yurnalis Chan, yang turut mengantar Turini pulang, sontak berbicara bahwa pemerintah desa, kabupaten, hingga kementerian akan mendapatkan hukuman pidana jika membantu pemberangkatan PMI ilegal.
Mencermati kasus para PMI yang hilang kontak, mereka direkrut orang dekat dan melanggar aturan, seperti memalsukan umur. ”Serigala” itu tidak jauh dari kehidupan sulit Turini dan mereka yang belum kembali.
Menjelang siang, rumah Turini semakin ramai oleh tetangga dan kerabat yang datang. Kangen dan rindu menjadi satu, membuat Turini enggan lagi mengingat 21 tahun hidupnya di Arab Saudi. Katanya, lebih baik menjaga cucu di rumah. ”Tidak usah ke Arab. Di sini saja cari kerja atau usaha,” pesan Turini kepada Diah, anaknya, yang kini seorang diri membesarkan cucunya.
Turini juga meminta calon PMI untuk berpikir berkali-kali jika ingin mengadu nasib ke luar negeri. ”Yang terpenting, jangan berangkat secara ilegal. Saya sudah kapok,” katanya.
Turini adalah bukti dan saksi hidup manusia Indonesia yang mempertaruhkan hidup di negeri orang demi mimpinya. Pengalaman hidup Turini dan yang lain membuktikan bahwa jelas tak mudah. Kehadiran negara sangat dibutuhkan sebelum semuanya terlambat dan sia-sia.