Ana Gunawan (38) malu bercampur bangga menunjukkan piring anyaman rotan di depannya. Tidak ada lagi sisa makanan yang tampak di atas alas daun pisang pada piring itu.
Oleh
·5 menit baca
Berbagai kekayaan Indonesia selalu membuat takjub, bahkan bagi khalayak asal mancanegara. Kali ini, kekayaan Nusantara disajikan di hadapan warga Jakarta dalam rupa keragaman kuliner dari segala penjuru di satu loka. Mari kita rayakan!
Ana Gunawan (38) malu bercampur bangga menunjukkan piring anyaman rotan di depannya. Tidak ada lagi sisa makanan yang tampak di atas alas daun pisang pada piring itu. Tadinya, berbagai macam santapan khas Nusa Tenggara Timur tersuguh di piring. Makanan dari wilayah Indonesia timur itu rupanya cocok di lidah karyawati swasta di daerah Sunter, Jakarta Utara, ini.
Ia memesan jagung bose sebagai pengganti nasi dengan sayur bernama rumpu rampe yang terdiri dari bunga pepaya, jantung pisang, daun kelor, buah pepaya muda yang tidak dikupas, dan ebi. Untuk lauk, ada sei sapi dan sei ikan, yang dilengkapi lagi dengan acar timor berisi pepaya muda, nanas, bengkoang, paprika, dan diberi sirup. Oh, tidak lupa dengan pedas mantab dari sambal NTT, sambal luat.
Ana kagum dengan cita rasa makanan NTT yang baru pertama kali dicecapnya, tetapi langsung akrab. ”Makanannya tidak familiar, tetapi menarik. Biasanya pakai nasi, ini jagung bose. Taste-nya juga masuk,” tuturnya, Rabu (7/8/2019) malam, di La Piazza, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Makanan favoritnya adalah sei sapi dan sambal luat meski sebenarnya ia bukan penggemar sambal. Menurut Ana, cita rasa kecut segar jeruk nipis yang diteteskan ke bahan sambal tidak pernah ia dapati dari sambal lainnya. Huh-hah, tapi membuat ingin merasakan lagi.
Ana sedang berada di Kampoeng Tempo Doeloe (KTD), sebuah ajang khas dari pergelaran Jakarta Fashion and Food Festival (JFFF) setiap tahun. Lokasinya di La Piazza, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Yang punya hajat adalah Summarecon, bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.
President Director Summarecon Adrianto P Adhi mengatakan, JFFF 2019 merupakan perhelatan ke-16 yang bertujuan untuk melestarikan budaya Nusantara sekaligus meningkatkan kekuatan perekonomian melalui para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta industri lokal.
”Khususnya di sektor mode dan kuliner guna memperkuat daya tarik Jakarta sebagai destinasi wisata,” ucapnya.
Adrianto menuturkan, pengunjung La Piazza bisa menjelajah rasa di festival kuliner KTD selama 7 Agustus-8 September. Tema yang diusung tahun ini adalah Kuliner Legendaris. Akan ada makanan-makanan hasil seleksi tim KTD dari sejumlah daerah yang tampil khusus akhir pekan. Kuliner legendaris yang muncul pada pekan pertama bakal berbeda dengan pekan lainnya.
Sebagai contoh, kuliner legendaris asal Jakarta menjadi bintang utama pada 17-18 Agustus nanti, diwakili antara lain oleh Nasi Uduk Kebon Kacang, Rujak Shanghai Encim 1950, dan Soto Betawi H Ma’ruf sejak 1940. Pada 24-25 Agustus, bagi makanan terkenal asal Bogor dan Sukabumi, seperti Soto Kuning Pak Aming, Toko Asinan ”Asli Bogor” sejak 1967, dan Bubur Ayam Bunut Siliwangi Sukabumi.
Namun, tidak perlu menunggu akhir pekan hanya untuk merasakan yang spesial. Kuliner khas NTT, seperti yang dicicipi Ana, akan jadi pengalaman rasa yang menawan bagi warga Ibu Kota. Apalagi, stan pangan lokal yang dikelola tim dari Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) NTT itu baru pertama kali turut serta dalam JFFF.
Karena amat jarang ditemui di Jakarta, makanan-makanan NTT di sana mengundang pertanyaan dari pengunjung KTD yang tertarik membeli atau sekadar melintas. Penjaga stan akan dengan senang hati menjelaskan, termasuk rahasia yang membuat sei sapi gurih dan harum.
Penanggung jawab stan Dekranasda NTT, Jeni Bhasarie, mengatakan, salah satu proses kunci untuk membuat sei adalah pengasapan. Saat daging diasapi, daun kusambi segar diletakkan di atasnya agar aroma daging harum.
Kayu untuk bahan bakar pengasapan pun tidak boleh sembarangan, harus juga berasal dari pohon kusambi yang biasanya tumbuh di daratan Timor. ”Menggunakan batok kelapa pun tidak bisa,” ujar Jeni.
Ada sekitar sepuluh jenis makanan yang ditawarkan Dekranasda NTT. Setidaknya dua piring dibutuhkan agar semua menu bisa dicicipi dengan harga Rp 30.000 per piring. Tarif yang sepadan karena terdapat bahan makanan yang mesti didatangkan langsung dari NTT setiap pekan, seperti sei, sambal luat, jagung bose, ubi, dan daun kelor.
Semakin malam, arena KTD yang dihiasi dekorasi bernuansa tradisional semakin ramai pengunjung. Mereka berkeliling untuk tahu apa saja yang ditawarkan di sana, kemudian duduk nyaman untuk menyantap menu pilihan. Total 108 stan di area seluas 3.785 meter persegi berusaha memikat konsumen dengan sajian istimewa masing-masing.
Begitu sampai di sana, otak dijamin terhipnotis untuk tidak hanya berkutat dengan hidangan dari satu stan. Jika sudah demikian, carilah penyaji kuliner yang amat jarang ditemukan di Jakarta. Selain pangan lokal NTT, sate klopo asal Surabaya, Jawa Timur, juga tergolong menu langka yang wajib masuk daftar. Di KTD, menu itu bisa didapatkan di stan sate klopo khas Surabaya ”Akong”.
Dengan harga Rp 44.000 (Rp 38.000 jika tanpa lontong) per porsi, pengunjung mendapatkan sepuluh tusuk sate sapi yang dituangi bumbu kacang, dilengkapi dengan potongan cabai, bawang merah, dan lontong. Taburan serundeng kelapa tidak lupa ditambahkan.
Pemilik Sate Klopo ”Akong”, Yoke Erwan, menuturkan, ia menggunakan daging sapi has dalam. Salah satu kunci untuk memberikan gurih yang spesifik pada sate klopo adalah menggunakan kelapa sebagai bagian dari proses marinasi daging. Bumbu lainnya dalam proses itu antara lain ketumbar, bawang merah, bawang putih, dan kunyit. Daging, setelah dibumbui, disimpan dalam kulkas lebih kurang lima jam. Itu untuk memastikan bumbu meresap sempurna. Sisa kelapa dari proses marinasi lantas digoreng untuk dijadikan serundeng.
KTD dibuka pukul 16.00-22.00 pada Senin-Kamis, pukul 16.00-23.00 pada Jumat, 11.00-23.00 pada Sabtu, dan 11.00-22.00 pada Minggu. Silakan pilih waktu terbaik untuk merayakan keragaman kuliner Nusantara di sana.