Pemasaran Digital Berkembang Pesat, Kekacauan Mengintai
Kekacauan iklan atau biasa disebut ad fraud membayangi pesatnya perkembangan pemasaran digital. Namun, potensi risiko di balik kasus kekacauan iklan belum dipahami oleh pelaku pemasaran.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekacauan iklan atau biasa disebut ad fraud membayangi pesatnya perkembangan pemasaran digital. Namun, potensi risiko di balik kasus kekacauan iklan belum dipahami oleh pelaku pemasaran.
Country Manager Mobile Marketing Association (MMA) Shanti Tolani, pekan lalu, di Jakarta, menyebut, Indonesia sebagai negara dengan jumlah pengguna ponsel pintar yang besar. Mayoritas warga mengenal internet pertama kali melalui ponsel pintar.
Selanjutnya, adopsi pembayaran melalui sistem elektronik berlangsung cepat. Alokasi belanja pemasaran dalam jaringan juga menunjukkan tren pertumbuhan yang pesat. Situasi ini menjadikan Indonesia sebagai sasaran kekacauan iklan.
Menurut laporan riset Appsflyer, sekitar 34 persen aplikasi yang terinstal pada periode November 2018 hingga April 2019 menghadapi risiko jadi sasaran kekacauan iklan. Ini menjadikan Indonesia sebagai negara kedua target kekacauan iklan di dunia.
MMA bekerja sama dengan Integral Ad Science meluncurkan dokumen putih Ad Fraud, Brand Safety, and Viewability: The State of Ad Fraud in Indonesia. Dokumen ini salah satunya berisi hasil survei sejauh mana pemahaman pelaku pemasaran terhadap kekacauan iklan dan cara mengatasinya. Pelaku pemasaran yang dimaksud terdiri dari pemilik merek, penerbit, dan agensi periklanan. Survei berlangsung selama triwulan I-2019.
Dalam dokumen putih itu disebutkan, kekacauan iklan menjadi salah satu dari tiga tantangan utama yang menjadi prioritas perhatian pelaku pemasaran. Sekitar 33 persen dari responden yang disurvei mengaku memiliki pemahaman rendah terhadap tingkat kekacauan iklan. Sekitar 23 persen respoden tidak mempunyai rencana atau solusi menekan kasus kekacauan iklan.
Mengutip survei eMarketer, Managing Director Southeast Asia Integral Ad Science Laura Quigley mengatakan, porsi belanja iklan di penerbit digital akan mencapai sekitar 25,8 persen terhadap total belanja di Indonesia pada 2023. Hal ini membuat belanja iklan di penerbit digital berada di urutan kedua terbesar setelah televisi, yaitu 58,2 persen. Pada tahun 2023, porsi belanja iklan koran diperkirakan mencapai 11,1 persen terhadap total dan berada di urutan ketiga setelah digital.
Urutan keempat adalah majalah, dengan porsi 1,1 persen. Kemudian, belanja iklan di radio mempunyai porsi 0,8 persen. Terakhir, porsi belanja iklan di media luar ruang diproyeksikan mencapai 3 persen.
Kondisi tahun 2019 yaitu porsi belanja iklan di televisi diperkirakan sebesar 60,4 persen dan berada di urutan pertama, lalu diikuti alokasi ke penerbit digital sekitar 20,4 persen, dan koran sekitar 13,9 persen. Urutan berikutnya adalah majalah (1,5 persen), radio (1,0 persen), dan media luar ruang (2,8 persen).
”Sepuluh tahun lalu, kita semua tidak percaya bahwa teknologi pemasaran atau periklanan digital membesar. Ketika pemasangan iklan bergeser ke digital, baik melalui jalur penerbit daring maupun penyedia layanan iklan terprogram, isu utama adalah menjaga kepercayaan. Pemilik merek harus memastikan mutu iklan selalu tinggi dan berkurangnya kasus kecurangan,” katanya.
Laura menjelaskan, masih banyak pemilik merek belum menyadari potensi risiko kecurangan iklan. Kembali mengutip hasil riset eMarketer, dia menyebutkan, sekitar 43 persen pemilik merek di Indonesia belum sadar dan memahami seperti apa praktik kecurangan iklan bekerja. Padahal, kasus seperti itu bisa menghilangkan pendapatan pemilik merek sampai 120 juta dollar AS.
Dia mencontohkan beberapa bentuk praktik kecurangan iklan, seperti ad stacking, location fraud, dan domain spoofing. Ad stacking berupa kumpulan iklan palsu yang muncul serentak. Ini biasanya muncul saat membuka laman merek tertentu. Location fraud berarti mengacaukan lokasi sebenarnya dari iklan original. Adapun domain spoofing adalah tindakan mengaburkan lalu lintas akses ke laman original. Pelakunya biasa menyamar sebagai penerbit dan jejaring pertukaran iklan.
”Bentuk canggih berupa bot yang intinya mereka bekerja mengacaukan pendistribusian iklan original. Pelakunya bisa bekerja seperti malware di belakang tampilan resmi iklan, seolah-olah tidak masalah, tetapi pelaku mengumpulkan data pemilik merek,” ujarnya.
Kecurangan iklan berakibat pada penurunan impresi konsumen terhadap iklan merek. Pemilik merek atau penerbit menjadi pihak paling dirugikan. Laura mengatakan, praktik kecurangan iklan hanya bisa ditekan.
Relevan
Pada saat bersamaan, E-Business Transformation Lead Nestle Indonesia, Arush Kochar, memandang, teknologi pemasaran ataupun periklanan digital berkembang semakin kompleks. Hal ini mendorong pemilik merek mau tidak mau harus mengikuti agar tetap relevan. Pemilik merek, seperti Nestle, pun sampai berinovasi perangkat teknologi dan sumber daya manusia.
”Pemilik merek, seperti kami, harus mempunyai tim beranggotakan sumber daya manusia yang paham perkembangan teknologi pemasaran ataupun periklanan digital, termasuk isu keamanan siber. Misalnya, kecurangan iklan. Investasi ini bertujuan menjaga kepercayaan konsumen terhadap merek kami,” ujarnya.
Head of Media Unilever untuk Indonesia serta Australia dan Asia Tenggara, Era Sugiarto, berpendapat, untuk menyikapi fenomena kecurangan iklan perlu edukasi berkelanjutan antara pemilik merek dan penerbit. Alasan penerbit harus mendapat pemahaman adalah mereka juga menjadi target kecurangan iklan. Misalnya, penerbit media massa daring. (MED)