Sektor Pariwisata, Sang Primadona yang Tertekan
Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO) menunjukkan bahwa kontribusi sektor pariwisata adalah salah satu yang besar dalam perolehan devisa. Potensi sektor ini tidak hanya besar, tetapi juga adaptif dan paling liat menghadapi hantaman krisis.
Terbukti data UNWTO menunjukkan, jumlah wisatawan dunia pada tahun 2017 mencapai 1,327 miliar manusia. Dari jumlah itu sekitar 323 juta manusia atau sebanyak 24 persen berkunjung ke negara-negara di Asia Pasifik. Jika saja dari total yang berkunjung ke Asia-Pasifik, sekitar 25 persen berkunjung ke Asia berarti ada sebanyak 80,750 juta wisatawan.
Target Indonesia mendapatkan 17 juta wisatawan pada tahun 2019, bukan angka yang ambisius. Jumlah itu hanya sekitar 21 persen dari total wisatawan yang berkunjung ke Asia atau 5 persen dari total kunjungan wisatawan ke Asia-Pasifik.
Namun, dengan catatan Indonesia mampu mempersiapkan segalanya dengan baik. Infrastruktur yang memadai, eksotika wilayah destinasi yang terpelihara, kuliner khas Indonesia yang berkualitas, serta sumber daya manusia yang melayani dan profesional, termasuk transportasi yang kompetitif.
Di atas kertas hal itu mudah ditulis, namun sulit dilakukan. Salah satu hambatan serius adalah kenaikan harga tiket pesawat. Pelaku bisnis pariwisata di berbagai daerah mengaku, banyak wisatawan akhirnya membatalkan kunjungan karena mahalnya harga tiket.
Dampaknya bukan hanya memukul destinasi wisata, tetapi juga menurunnya hunian hotel, pusat oleh-oleh di daerah, dan jasa transportasi travel.
Kalangan pelaku bisnis di Banyuwangi misalnya, mengaku kebijakan pemerintah menurunkan harga tiket di rute, hari, dan jam tertentu belum berdampak positif bagi pariwisata Banyuwangi. Kenaikan jumlah penumpang dan okupansi hotel masih belum sebanding dengan penurunan yang terjadi akibat tingginya harga tiket beberapa bulan lalu.
Kenaikan harga tiket, di awal tahun sangat dirasakan sektor pariwisata, terutama pelaku usaha hotel dan oleh-oleh. Bahkan di Banyuwangi beberapa wisatawan harus membatalkan agenda mereka.
“Rata-rata kunjungan wisatawan di Banyuwangi mencapai 500.000 orang wisnu (wisatawan nusantara) dan 10.000 wisman (wisatawan mancanegara) per bulan. Akibat mahalnya harga tiket, jumlah wisatawan per bulan turun hingga 40 persen,” ujar Kepala Bidang Pariwisata di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi Marhaen Dwiyono.
Marhaen mencontohkan, kunjungan kerja salah satu instansi pemerintah di Sumatera Barat ke Banyuwangi batal. Padahal seharusnya ada 100 orang yang akan melakukan studi banding terkait pelayanan publik di Banyuwangi.
Pintu masuk wisatawan ke Banyuwangi umumnya berasal dari Jakarta, Bali dan Yogyakarta. Pintu masuk masuk dari Jakarta menjadi yang paling terdampak.
Pasalnya bila dari Bali wisatawan masih bisa beralih menggunakan jalur darat dan menyeberang di pelabuhan. Sedangkan wisatawan dari Yogyakarta bisa menggunakan kereta api dari rute penerbangan pada jam dan hari tertentu.
"Cara itu kurang diminati wisatawan. Pasalnya mereka akan membuang banyak waktu dan tenaga dengan biaya yang juga tidak sedikit. Dengan demikian mereka tetap saja tidak mampu meningkatkan kunjungan wisatawan," katanya.
Jumlah penumpang saat ini belum bisa menyamai jumlah penumpang sebelum adanya kenaikan harga tiket. Bahkan, upaya pemerintah menurunkan harga tiket juga belum memberi dampak signifikan dalam pertumbuhan jumlah penumpang.
"Sebelum ada ramai-ramai mahalnya harga tiket, jumlah penumpang yang naik dan turun di Bandara Banyuwangi mencapai 1.400 orang per hari. Tingginya harga tiket membuat jumlah penumpang berkurang drastis. Kami pernah mencatat jumlah penumpang hanya 400 orang dalam sehari,” ujar Executive General Manager Angkasa Pura II Bandara Banyuwangi Anton Marthalius, Sabtu (10/8/2019).
Kebijakan penurunan harga tiket di hari, jam dan rute tertentu, lanjut Anton, belum memberikan dampak signifikan pada peningkatan jumlah penumpang di Banyuwangi. Pasalnya tak ada satupun penerbangan di Banyuwangi yang masuk dalam skema penurunan harga tiket.
Namun, Angkasa Pura (AP) II Bandara Banyuwangi mencatat, ada sedikit kenaikan jumlah penumpang bila dibandingkan sebelum ada kebijakan penurunan tiket. Hal ini diduga karena dampak tidak langsung dari turunnya sejumlah harga tiket tujuan Surabaya yang menjadi salah satu bandara persinggahan sebelum ke Banyuwangi.
“Setelah kebijakan penurunan harga tiket, jumlah penumpang sedikit terdongkrak kendati tidak signifikan. Jumlah penumpang naik menjadi 600 orang per hari,” tuturnya.
General Manager Ketapang Indah Hotel Agus Suprapto, mengatakan, penurunan tiket hanya memberi sedikit pengaruh untuk menaikkan okupansi. Namun, kenaikan okupansi itu masih belum mengembalikan tingkat okupansi seperti sebelum ada kenaikan harga tiket.
Sebelum ada kenaikan tiket, okupansi hotel kami mencapai 80 persen. Saat kenaikan tiket, okupansi turun menjadi 50 persen. Saat ini setelah ada kebijakan penurunan tiket, okupansi mulai naik menjadi 60 persen hingga 65 persen,” ujarnya.
Hal serupa dirasakan pusat oleh-oleh Banyuwangi Osing Deles. Kenaikan harga tiket membuat penurunan pengunjung hingga 40 persen. Sejak kenaikan harga tiket dan jumlah wisatawan berkurang omzet penjualan Osing Deles ikut anjlok.
"Saat tengah pekan ada sekitar 400 sampai 600 transaksi, sedangkan saat akhir pekan ada 1.500 hingga 2.000 transaksi per harinya. Namun saat terjadi kenaikan harga tiket, omzet langsung turun hingga 40 persen,” ujar Marketing Manager Osing Deles Febriana.
Namun, kata Febriana, justru ia melihat ada perubahan pola kunjungan. Saat ini banyak bus-bus besar yang parkir di depan Osing Deles. Ia menduga, wisatawan mengalihkan moda transportasi dari pesawat ke moda transportasi darat.
Sementara kondisi pariwisata di Maluku kondisinya setali tiga uang. Kunjungan wisatawan ke Maluku tahun 2019, diperkirakan bakal terjun bebas akibat dipukul harga tiket pesawat udara yang melambung. Padahal, sektor pariwisata di Maluku baru mulai bergairah sejak tiga tahun terakhir.
Pada tahun 2016, jumlah pengunjung wisman tercatat 15.015 orang, naik menjadi 18.075 pada tahun 2017. Tren kenaikan 20,37 persen seperti pada tahun sebelumnya itu diharapkan terjadi juga pada tahun 2018. Sayangnya, tiga bulan sebelum tutup tahun, harga tiket mencekik leher. Kunjungan wisman hanya bertambah 904 orang menjadi 18.979 orang.
Harga tiket paling murah untuk rute Jakarta-Ambon sempat melonjak hingga Rp 2,7 juta, atau tiga kali lipat dibandingkan harga sebelumnya. Tarif tiket yang tetap tinggi itu masih berlangsung hingga kini meskipun sedikit mengalami penurunan sekita 30 persen dibandingkan harga sebelumnya.
Sejumlah pelaku wisata mengeluh. Reza Tuasikal, pelaku wisata di Kepulauan Banda yang dihubungi beberapa waktu lalu menuturkan, selama beberapa bulan, kunjungan wisatawan domestik di Banda turun hingga 100 persen. Wisman memang tetap ada, namun berkurang dibandingkan saat-saat sebelumnya. Sejumlah penyedia jasa penyelaman di Banda tutup.
Hotel-hotel sepi pengunjung termasuk di Ambon sebagai tempat transit wisatawan. Manager salah satu hotel menuturkan, penurunan tingkat hunian menjadi 70 persen. Marketing hotel berpikir keras menggaet institusi pemerintah untuk menggelar kegiatan di hotel mereka. Strategi paling akhir pun dipakai, banting harga. Beberapa hotel kabarnya memberhentikan sejumlah karyawan.
Usaha souvenir pun lesu. Kenaikan harga tiket serta penghapusan kebijakan bagasi gratis membuat pengunjung yang datang ke Maluku hanya membeli souvenir seadanya. Bahkan seorang wisman rela meninggalkan souvernir yang sudah dibeli di Bandara Pattimura Ambon, setelah dipatok tarif bagasi yang tidak rasional dibandingkan dengan harga produk itu sendiri.
Haruskah sang primadona dibiarkan mati di tengah riuh-reda panggung yang gemerlap? Tidak! Pemerintah dan perusahaan pelat merah harus menyiapkan strategi yang jitu menyelamatkan sektor pariwisata. Sebab mereka yang paling tahu komponen yang memicu ekonomi biaya tinggi dalam jasa penerbangan udara.
Apabila tidak, sektor ini hancur bukan karena kalah bersaing dengan sesama negara ASEAN, tetapi merosot karena salah urus dan egoisme sektoral. Presiden Joko Widodo tidak boleh tinggal diam jika para pembantunya tak lagi mampu menciptakan iklim yang kondusif di sektor pariwisata.
Presiden Jokowi dalam sisa waktu yang ada harus mengambil keputusan strategis. Presiden harus lebih tegas, berani, dan cepat meminta kementerian dan BUMN terkait bekerja lebih efisien dan kompetitif.
Jika tidak! Berarti Presiden Jokowi membiarkan sang primadono merana di atas panggung, loyo, dan terkulai lemas ditinggalkan oleh penonton.(Banu Astono/Angger Putranto/Frans Pati Herin)