Akibat kebakaran hutan dan lahan Juli-November 2015, 600.000 orang terkena ISPA, dua juta hektar lahan di Sumatera dan Kalimantan terbakar dengan kerugian ekonomi mencapai Rp 221 triliun. Angka itu dua kali lebih besar daripada peristiwa tsunami di Aceh pada Desember 2004.
Oleh
DKA/ESA/IRE/SAH/ITA/JUM
·4 menit baca
Catatan Redaksi: Tulisan ini terbit pada halaman 25 harian Kompas edisi 23 Desember 2015 sebagai laporan akhir tahun dengan judul ”Derita Asap Itu Selalu Terulang”.
”Mainlah ke Riau, Siapa Tahu Kena ISPA”. Kalimat ini terdapat pada meme bergambar latar kabut asap pekat selama Juli-November 2015 yang beredar di media sosial. Jumlah meme mencapai ratusan. Meme itu dapat bersifat ironi, meminta perhatian, propaganda, atau sekadar menyuarakan kesedihan.
Meme telah menjadi penawar hati dan penghibur duka warga yang lelah menghirup asap berbahaya berbulan lamanya. Apalagi derita itu berulang sejak 18 tahun terakhir.
Penderitaan menghirup asap sisa kebakaran lahan dan hutan juga dirasakan warga Jambi dan Sumatera Selatan serta daerah lain di Sumatera yang tidak terbakar, tetapi terpaksa menerima asap yang terbang dari tetangganya. Hampir seluruh wilayah Kalimantan juga terselimuti asap. Udara beracun itu telah menimbulkan bencana kemanusiaan yang diderita sekitar 40 juta orang.
Lebih dari 600.000 orang terkena dampak kesehatan langsung menderita infeksi saluran pernapasan akut. Penderita penyakit saluran pernapasan seperti asma dan pneumonia menjadi kambuh. Belasan orang, terutama anak-anak, meninggal. Di Sumsel dan Riau saja sembilan anak meninggal akibat penyakit pernapasan yang dipicu udara buruk.
Berdasarkan data Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, lebih dari dua juta hektar lahan dan hutan di Sumatera dan Kalimantan terbakar. Bank Dunia mengungkapkan kerugian ekonomi mencapai Rp 221 triliun. Angka itu dua kali lebih besar daripada peristiwa tsunami di Aceh pada Desember 2004.
Luas kebakaran lahan dan hutan di Sumsel pada musim kemarau 2015 mencapai 613.123 hektar atau meningkat dua kali lipat daripada tahun lalu, 304.741 hektar. Di Kalimantan Selatan 574.530 hektar rawa gambut dari luas rawa gambut 3,01 juta hektar hangus dilalap api. Kebakaran di Sumatera dan Kalimantan terjadi di seluruh lokasi, baik kawasan suaka dan pelestarian, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi, hutan produksi konversi, maupun areal penggunaan lain, terutama di lahan gambut.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat Anton Widjaya dan Direktur Eksekutif Mitra Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah Kussaritano mengungkapkan, penegakan hukum sebetulnya dapat menjadi pintu masuk memperbaiki tata kelola sumber daya alam. Sanksi hukum yang tegas diharapkan mampu memberikan efek jera terhadap pelaku pembakar.
Dari segi hukum, kepolisian, kejaksaan, dan Kementerian Kehutanan sudah bertindak tegas kepada pelaku pembakar untuk dimintai pertanggungjawaban. Sekitar 260 kasus tengah ditangani Polri di Riau, Jambi, Sumsel, Kalsel, Kalteng, Kalbar, dan Kalimantan Timur. Namun, penegakan hukum menyangkut kejahatan korporasi masih stagnan. Belum ada kasus korporasi ke pengadilan.
Bahkan, tahun 2016 pun belum ada jaminan dari pemerintah daerah dan pusat bahwa tidak akan ada lagi bencana asap. Sejauh ini belum ada persiapan menghadapi kemarau 2016. Padahal, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengingatkan Riau akan menjadi daerah pertama memasuki kemarau, yakni Februari 2016. Artinya, waktu bersiap hanya tersisa dua bulan.
Persiapan kurang
Keinginan pemerintah untuk mencegah kebakaran memang sudah sering dikumandangkan. Namun, apakah rencana pencegahan itu sudah dibuat?
Penjabat Gubernur Kalteng Hadi Prabowo, akhir November, mengatakan, pihaknya kesulitan mengatasi kebakaran karena tak ada prosedur standar operasi yang terintegrasi, minimnya sarana dan prasarana pemadaman, serta tidak ada anggaran dalam APBD untuk pencegahan kebakaran.
Persoalan APBD untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan nyaris serupa di setiap daerah rawan bencana asap. APBD Kalbar 2016 sebesar Rp 4,5 triliun tidak mencantumkan anggaran khusus kebencanaan. Yang ada hanya anggaran tidak terduga sekitar Rp 5 miliar. Di Kalsel anggaran penanggulangan bencana hanya sekitar Rp 500 juta atau 0,01 persen dari total APBD 2015 sebesar Rp 5,3 triliun.
Di Riau, Wakil Ketua DPRD Riau Noviwaldy Jusman bahkan sampai walk out dari sidang paripurna pembahasan RAPBD 2016 sebagai bentuk protes karena Pemerintah Provinsi Riau enggan menaikkan anggaran pencegahan bencana kebakaran yang hanya Rp 7 miliar. Padahal, Riau merupakan daerah langganan bencana asap.
Hal yang dinaikkan pemerintah justru tunjangan perumahan anggota DPRD Riau menjadi Rp 30 juta per bulan atau menghabiskan dana Rp 23,4 miliar. Anggaran untuk rumah wakil rakyat 65 orang itu nilainya tiga kali lebih besar daripada pencegahan bencana asap untuk 6 juta penduduk Riau.
Dari enam daerah bencana asap di Sumatera dan Kalimantan, anggaran untuk pencegahan dan penanggulangan bencana tidak sampai Rp 50 miliar. Apakah dana itu mencukupi untuk menjaga agar areal seluas dua juta hektar tidak terbakar lagi? Untuk memadamkan kebakaran pada kemarau 2015, Badan Nasional Penanggulangan Bencana harus mengeluarkan dana sampai Rp 720 miliar.
Ketua tim pemanfaatan lahan untuk menanggulangi kebakaran lahan Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya Momon Sodik Imanudin menilai, salah satu akar meluasnya kebakaran dipicu luasnya lahan gambut tidak terkelola di kawasan konsesi hutan tanaman industri yang berbatasan langsung dengan pedesaan atau permukiman warga. Kondisi ini diperparah dengan kemiskinan warga sekitar yang membuat warga terpaksa membakar lahan.
Cara paling efektif mencegah kebakaran adalah mengelola lahan-lahan terbengkalai secara bersama untuk meningkatkan kesejahteraan warga dengan perjanjian pinjam pakai. Pengelolaan lahan perlu melibatkan pemerintah dan perusahaan. Pola kerja sama dengan masyarakat perlu dilakukan sedini mungkin secara berkesinambungan. Tanpa adanya realisasi kebijakan tegas dan nyata ini, kabut asap dapat dipastikan akan berulang lagi pada tahun mendatang.