Kiprah gerakan kepanduan di Indonesia sudah mengakar sejak masa perjuangan kemerdekaan. Mulai 1961, Presiden Soekarno menyatukan gerakan-gerakan kepanduan itu dalam Perkumpulan Gerakan Pramuka. Kiprah gerakan kepanduan, termasuk Pramuka, pernah begitu menonjol tetapi belakangan semakin meredup.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
Kiprah gerakan kepanduan di Indonesia sudah mengakar sejak masa perjuangan kemerdekaan. Mulai 1961, Presiden Soekarno menyatukan gerakan-gerakan kepanduan itu dalam Perkumpulan Gerakan Pramuka. Kiprah gerakan kepanduan, termasuk Pramuka, pernah begitu menonjol tetapi belakangan semakin meredup.
Tahun 1968, sebanyak 7.000 pramuka pernah terlibat dalam pembangunan bendungan di Cihideung, Bogor, Jawa Barat. Bendungan yang penting artinya bagi petani di Bogor tersebut, dapat mengairi sawah seluas 640 hektare.
Menurut analisis Dinas Pekerjaan Umum waktu itu, jika bendungan dikerjakan oleh swasta, bakal memakan biaya hingga Rp 33 juta. Itu belum termasuk biaya pembebasan tanah. Namun, Pramuka dapat menyelesaikan proyek itu dengan biaya separuhnya atau hanya Rp 14 juta (Kompas, 4/11/1968).
Kiprah Pramuka kembali menonjol tahun 1974. Pada September 1974, Pramuka Kwartir Cabang Situbondo, Jawa Timur, berhasil merampungkan jembatan yang melintasi Sungai Patemon. Pembangunan jembatan bermanfaat bagi sekitar 6.000 penduduk desa yang berada di sekitar jembatan itu (Kompas, 27/9/1974).
Kemudian sejak September 1985 hingga Maret 1986, Gerakan Tunas Pramuka melakukan penghijauan daerah aliran sungai (DAS) yang kritis di seluruh Jawa. Mereka mengumpulkan biji tanaman unggul, menyemai pohon buah-buahan dan pohon langka di tanah gundul (Kompas, 20/11/1985).
Tiga tahun sesudah reformasi, 1.000 anggota Pramuka ikut membersihkan sampah di Jakarta. Mereka memungut, memilah, dan mengolah sampah menjadi pupuk organik (Kompas, 3/3/2002).
Pergerakan kemerdekaan
Jauh sebelum Presiden pertama RI Soekarno menyatukan organisasi-organisasi pandu menjadi Pramuka, 9 Maret 1961, gerakan kepanduan vital kontribusinya dalam pergerakan kemerdekaan.
Sejarah mencatat gerakan kepanduan sudah ada saat Kongres Pemuda II 1928. Kala itu, sempat akan digelar arak-arakan para pandu di sela-sela kongres. Namun arak-arakan urung digelar karena dilarang pasukan Hindia Belanda.
Meski demikian, dalam sidang pemuda pada 28 Oktober 1928, kepanduan diangkat menjadi salah satu topik utama. "Arak-arak Pandu: Kepanduan" diangkat oleh Mr. Ramelan. Tak hanya itu, kepanduan masuk dalam konsep putusan Kongres Pemuda II tersebut.
Secara terinci, putusan Kongres Pemuda II menyebutkan, sedikitnya ada lima dasar yang dapat memperkuat persatuan Indonesia, yaitu kemauan, sejarah, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan.
Gerakan kepanduan di Indonesia ini terinspirasi kemunculan gerakan kepanduan di Eropa.
Seperti diketahui, gerakan kepanduan diinisiasi oleh Robert Stephenson Smyth Baden Powell, pria kelahiran London, Inggris, tahun 1907.
Kemudian pasca-Proklamasi Kemerdekaan 1945 organisasi kepanduan tumbuh subur. Namun , pada saat itu organisasi kepanduan terkesan sebagai underbouw dan berafiliasi pada partai politik atau organisasi keagamaan, (Kompas, 7/7/2001).
Beberapa organisasi kepanduan besar yang pernah hidup di Indonesia antara lain Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), Pandu Rakyat, Pandu Kristen Indonesia, Pandu Ansor, dan Hisbul Waton dari Muhammadiyah.
Organisasi kepanduan yang terkesan terkotak-kotak berakhir setelah Presiden Soekarno, waktu itu dengan Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961, menetapkan Perkumpulan Gerakan Pramuka sebagai satu-satunya organisasi kepanduan yang diberi tugas menyelenggarakan pendidikan kepanduan di Indonesia.
Era kekinian
Kiprah gerakan kepanduan yang menonjol sejak masa perjuangan kemerdekaan, meredup belakangan. Pramuka khususnya, tak lagi menonjol, dan hanya diingat setiap kali peringatan Hari Pramuka yang jatuh 14 Agustus, setiap tahunnya.
Dalam artikel berjudul "Menjadi Pramuka Kini" yang terbit di Harian Kompas, 1 Maret 2014 misalnya, disebutkan, orang-orang yang berminat menggeluti gerakan pramuka relatif tidak banyak. Sebagian anak muda juga tidak lagi bangga saat memakai seragam pramuka.
Praktisi kebencanaan Fidel Bustami, yang di masa mudanya ikut kegiatan pramuka, melihat, selama 15 tahun terakhir memang seperti terjadi degradasi persepsi terhadap pramuka.
”Dulu, saya itu kalau pakai kacu dan seragam pramuka itu bangga betul, dan cara jalan saya pasti langsung berubah. Tapi generasi sekarang bilang, ini kegiatan apa sih, apakah tidak ada kegiatan yang lain?” ujar Fidel yang juga peneliti kebencanaan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Padahal sesuai namanya Pramuka atau singkatan dari Praja Muda Karana yang bermakna, jiwa muda yang suka berkarya, kepramukaan masih relevan dalam membentuk watak, akhlak, dan budi pekerti generasi muda.