Manajemen media dibutuhkan Polri untuk terus mendapatkan kepercayaan publik sebagai pengayom masyarakat. Tidak hanya dilakukan pada media massa, tetapi juga media sosial yang kini tengah berkembang pesat.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
SUMEDANG, KOMPAS — Manajemen media dibutuhkan Polri untuk terus mendapatkan kepercayaan publik sebagai pengayom masyarakat. Tidak hanya dilakukan pada media massa, tetapi juga media sosial yang kini tengah berkembang pesat.
Hal itu disampaikan Wakil Kepala Lembaga Pendidikan dan Penelitian Polri Inspektur Jenderal Polisi Boy Rafli Amar dalam sidang disertasinya di Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang, Rabu (14/8/2019). Selama 20 menit, Boy memaparkan disertasi berjudul ”Integrasi Manajemen Media Dalam Strategi Humas Polri Sebagai Aktualisasi Promoter”.
Dalam sidang tersebut, hadir Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian yang bertindak sebagai penguji sidang. Selain itu, hadir juga beberapa pemimpin media, salah satunya Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo.
Menurut Boy, manajemen media adalah strategi Polri untuk memberikan informasi kepada masyarakat. Lewat teknologi informasi, polisi bisa memberi persepsi positif terhadap peristiwa tertentu untuk membangun kepercayaan publik.
Beberapa langkah yang dilakukan, di antaranya bekerja sama dengan media massa arus utama dan mengelola media sosial dengan optimal. Selain itu, kepolisian juga menekan berita negatif dengan memberikan fakta-fakta sesuai kinerja yang baik.
”Manajemen ini lebih kepada bagaimana petugas memberikan informasi kepada publik, bukan mengontrol media. Kami memantau dan merespons segala informasi sehingga mengarahkan opini publik selalu dalam keadaan baik. Meraih kepercayaan publik adalah sebuah keharusan,” tuturnya.
Boy menggambarkan, sebelum manajemen media dilaksanakan, Polri dinilai sebagai institusi dengan tingkat kepuasan rendah dari publik. Dari survei Litbang Kompas tahun 2014, polisi hanya mendapatkan tingkat kepuasan publik 46,7 persen.
Akan tetapi, sejak manajemen media dilaksanakan, peningkatan kepercayaan publik semakin meningkat. Perkembangan ini terlihat dalam rentang 2016-2018. Tingkat kepercayaan publik meningkat berturut-turut sebesar 63,2 persen, 73,05 persen, dan 82,9 persen setiap tahunnya.
Dekan Fakultas Komunikasi Universitas Padjadjaran Dadang Rahmat Hidayat menyatakan, informasi yang diberikan harus melalui pertimbangan yang matang. Dia menjelaskan, publikasi yang dilakukan harus memperlihatkan ketegasan, tetapi jauh dari unsur menekan pihak lain.
Bentuk penekanan justru akan membuat citra kepolisian memburuk. Institusi perlu tetap memperlihatkan sisi humanis saat bertindak sehingga bisa menekan sisi represif yang akan berdampak negatif.
”Bentuk penekanan justru akan membuat citra kepolisian memburuk. Institusi perlu tetap memperlihatkan sisi humanis saat bertindak sehingga bisa menekan sisi represif yang akan berdampak negatif,” tuturnya.
Sasaran media
Dalam sidang, Tito Karnavian bertanya mengenai pandangan Boy terkait perkembangan fenomena arus informasi yang mengalir lebih cepat ke media sosial dibandingkan dengan media massa. Dia juga menantang Boy menjawab upaya penegakan hukum di media sosial yang sering kali mengandung berita bohong.
”Sekarang telah terjadi diskursus dalam dunia informasi, ada pertarungan antara media massa dan media sosial. Kepolisian harus bersikap sehingga arus berita yang ada tetap dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Menurut Boy, diskursus tersebut tidak membuatnya menentukan media mana yang paling berpengaruh. Keduanya memiliki kekuatan dalam masyarakat. Media sosial memiliki kecepatan meski kerap tanpa memperhatikan akurasi. Akibatnya, berita bohong lebih cepat bergulir. Di sisi lain, media massa relatif tidak memiliki kecepatan itu, tetapi mampu memberi informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
”Media sosial bergulir dengan cepat, tetapi media massa yang konvensional memiliki pelanggan setia. Media konvensional juga bisa menjadi teladan bagi pengguna sosial media karena mereka berkarya dengan kode etik,” ujarnya.