Perluasan kebijakan ganjil genap dinilai akan menyulitkan masyarakat, salah satunya karena terkait jalan menuju dua rumah sakit besar di Jakarta. Kebijakan ini juga dinilai belum seharusnya diperluas karena masih banyak daerah yang transportasi umumnya belum memadai.
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perluasan kebijakan ganjil genap dinilai akan menyulitkan masyarakat, salah satunya karena terkait jalan menuju dua rumah sakit besar di Jakarta. Kebijakan ini juga dinilai belum seharusnya diperluas karena masih banyak daerah yang transportasi umumnya belum memadai.
Kritik tersebut dilontarkan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan. ”Perluasan kebijakan ganjil genap belum dapat mendorong masyarakat berpindah ke transportasi umum. Mereka akan memilih menggunakan sepeda motor atau membeli mobil kedua,” katanya di Jakarta, Rabu (14/8/2019).
Menurut Azas, pilihan untuk menyiasati ini karena akses layanan angkutan umum yang ada belum memberikan akses dan kemudahan bertransportasi seperti saat bertransportasi menggunakan mobil pribadi.
Azas mengatakan, perluasan ganjil genap ini juga akan sulit dari sisi pengawasan karena masih dilakukan secara manual, yaitu dengan mengandalkan petugas polisi untuk menjaga jalan. Padahal, petugas kepolisian tentunya memiliki keterbatasan ketahanan fisik, seperti keletihan.
Ia mengusulkan agar penerapan pengawasan dilakukan secara elektronik bersama sistem electronic traffic law enforcement (ETLE) atau penegakan hukum lalu lintas secara elektronik yang digunakan Polda Metro Jaya. Kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi juga idealnya dilakukan segera dengan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP) yang memasukkan sepeda motor juga di dalamnya.
Menurut Azas, berdasarkan tanggapan masyarakat, kebijakan perluasan ganjil genap terkesan tanpa persiapan terencana serta tidak melibatkan para pemangku kepentingan transportasi di Jakarta dan sekitarnya.
Kebijakan itu juga tak melibatkan daerah-daerah di sekitar Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Padahal, banyak kendaraan pribadi yang masuk Jakarta berasal dari daerah-daerah tersebut.
Berdasarkan tanggapan masyarakat, kebijakan perluasan ganjil genap terkesan tanpa persiapan terencana serta tidak melibatkan para pemangku kepentingan transportasi di Jakarta dan sekitarnya.
Ia mengatakan, seharusnya kebijakan transportasi di Jakarta tidak bisa dipisahkan dari kepentingan transportasi masyarakat dari masyarakat Jabodetabek.
”Presiden RI sebenarnya sudah mendirikan BPTJ (Badan Pengelola Transportasi Jakarta). Pembuatan kebijakan transportasi untuk Jakarta serta kota lain seharusnya dibuat dalam konteks kebutuhan transportasi Jabodetabek dan dibuat oleh BPTJ,” ujar Azas.
Ia menyebutkan, sebaiknya Presiden RI mengambil alih agar pembuatan kebijakan transportasi di Jabodetabek di bawah tugas BPTJ. Dengan demikian, penyelesaian persoalan kemacetan transportasi di Jakarta didekati secara holistik di Jabodetabek.
Sebelumnya, kebijakan itu juga menuai kritik dari sejumlah peneliti dan ahli transportasi. Salah satunya karena tidak adanya larangan terhadap sepeda motor, padahal moda transportasi roda dua ini mendominasi jumlah kendaraan pribadi di Jakarta dengan persentase mencapai 74 persen. Dengan kondisi ini, kebijakan itu dinilai tak sesuai dengan tujuannya untuk meredam polusi udara.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, perluasan kebijakan itu masih dalam fase uji coba. Saat ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga membuka dialog dengan semua pemangku kepentingan yang relevan untuk mengidentifikasi potensi-potensi kepentingan masyarakat mendasar yang harus difasilitasi terkait perluasan itu.
”Kan, ada jalur ke rumah sakit di situ, ada kepentingan warga yang tinggal di kawasan itu. Itu semua nanti kita tata,” ucapnya.
Sesudah penataannya lengkap, lanjut Anies, landasan hukum untuk perluasan ganjil genap akan dibuat sebagai pegangan pelaksanaan ke depan.