Kemerdekaan milik semua rakyat Indonesia, tak terkecuali para penyandang tunanetra. Dunia mereka boleh gulita, tetapi nasionalisme mereka terang menyala.
Oleh
ERWIN EDHI PRASETYA
·4 menit baca
Kemerdekaan milik semua rakyat Indonesia, tak terkecuali para penyandang tunanetra. Dunia mereka boleh gulita, tetapi nasionalisme mereka terang menyala.
Sekitar 100 penyandang tunanetra menghormat khidmat saat bendera Merah Putih dikibarkan oleh rekan-rekan mereka di Republik Indonesia (NKRI) di halaman Rumah Pelayanan Sosial Disabilitas Netra Bhakti Candrasa, Solo, Jawa Tengah, Sabtu (17/5/2019). Tak hanya peserta, semua petugas upacara pun merupakan penyandang tunanetra.
Saat pengibaran bendera Merah Putih, para petugas pengibar bendera yang menyandang low vision berjalan seperti petugas pengibar bendera pada umumnya tanpa dipandu pendamping. Pengibaran bendera diiringi lagu ”Indonesia Raya” yang dinyanyikan penuh semangat semua peserta upacara.
Seusai mengibarkan bendera, tiga petugas pengibar bendera berjalan berjajar kembali ke tempat semula dengan saling bergandengan tangan. Sementara petugas pembaca Pancasila membacakan teks berhuruf Braille, sedangkan teks Proklamasi dan Pembukaan UUD 1945 dihafalkan oleh setiap petugas.
Para penyandang tunanetra tersebut bergabung dalam wadah Kelompok Masseur Tunanetra Sabtu Wage (KMTS) Surakarta. Upacara yang diikuti sekitar 100 penyandang tunanetra anggota KMTS Surakarta dan siswa Rumah Pelayanan Sosial Disabilitas Netra Bhakti Candrasa berjalan lancar dan khidmat.
”Kami tidak ingin ditempatkan sebagai disabilitas yang dipinggirkan masyarakat dan pemerintah, kami juga merasa mempunyai Negara Kesatuan Republik Indonesia, kami bertekad ikut melaksanakan peringatan upacara bendera pada 17 Agustus ini,” kata Purwanto, saat menyampaikan amanat sebagai pembina upacara.
Purwanto yang merupakan ketua Kelompok Masseur Tunanetra Sabtu Wage Surakarta mengatakan, ikut mengisi dan memperingati kemerdekaan RI tidak harus dengan hal-hal di luar kemampuan para penyandang tunanetra. Namun, sesuai dengan kemampuan sebagai disabilitas tunanetra.
Kami tidak ingin ditempatkan sebagai disabilitas yang dipinggirkan masyarakat dan pemerintah, kami juga merasa mempunyai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
”Kami harus mampu menunjukkan kepada masyarakat jati diri sebagai disabilitas yang tidak mau dipinggirkan atau dikesempingkan. Mari kita meningkatkan SDM kita sesuai dengan kadar masing-masing,” katanya.
Menurut Purwanto, ini merupakan upacara bendera peringatan HUT NKRI pertama kali yang diadakan oleh Kelompok Masseur Tunanetra Sabtu Wage Surakarta. Kebetulan, 17 Agustus 2019 bertepatan dengan hari Sabtu Wage di mana anggota kelompok biasanya bertemu secara rutin. Mereka merupakan para pemijat tunanetra dari wilayah Solo dan Sekitarnya.
”Untuk upacara ini, kami hanya dua kali latihan. Pada saat dididik di sini (Rumah Pelayanan Sosial Disabilitas Netra Bhakti Candrasa) dulu, kami biasa mengikuti upacara setiap hari Senin. Cuma setelah lulus tidak pernah ikut upacara lagi,” katanya.
Suyanto (34), penyandang low vision asal Wonogiri, Jawa Tengah, yang didapuk menjadi salah satu petugas pengibar bendera mengaku bangga dan gembira bisa bertugas dalam upacara bendera tersebut. Meskipun upacara ini diadakan untuk internal Kelompok Masseur Tunanetra Sabtu Wage Surakarta, tetapi tetap dibutuhkan mental cukup kuat agar bisa melaksanakan tugas dengan baik.
”Tadi sangat deg-degan, apalagi tahu upacara ini diliput media, ha-ha-ha..,” katanya sambil tertawa.
Petugas pembaca Pancasila, Triyono (32) mengatakan, baru pertama kali bertugas sebagai pembaca Pancasila. Menyandang low vision, Triyono, membaca teks Pancasila berhuruf Braille. ”Ini pengalaman pertama saya. Dulu waktu jadi siswa di sini pernah jadi petugas upacara, tetapi sebagai pengibar bendera,” ujar warga Sukoharjo, Jawa Tengah, ini.
Mudah-mudahan, pada peringatan 74 tahun Indonesia merdeka ini dan yang akan datang, pekerjaan akan lebih mudah bagi penyandang tunanetra. (Sukatno, penyandang tunanetra)
Sukatno, alumni Rumah Pelayanan Sosial Disabilitas Netra Bhakti Candrasa, mengaku sangat gembira bisa mengikuti upacara HUT ke-74 RI. Seingat Sukatno, upacara bendera yang terakhir kali diikuti sebelumnya adalah ketika masih menjadi siswa Rumah Pelayanan Sosial Disabilitas Netra Bhakti Candrasa tahun 1990.
Pada peringatan kemerdekaan, Sukatno yang sehari-hari bekerja sebagai terapis pijat tunanetra di Solo ini berharap, Indonesia bakal menjadi negara maju. ”Mudah-mudahan, pada peringatan 74 tahun Indonesia Merdeka ini dan yang akan datang, pekerjaan akan lebih mudah bagi penyandang tunanetra,” ujarnya.
Mereka tak berharap perlakuan istimewa. Namun, mesti diakui, para penyandang disabilitas acap kali mendapat perlakuan diskriminatif dalam sejumlah hal. Senapas ruh kemerdekaan, mereka berharap mendapat kesempatan sama, sesuai dengan kapasitas setiap insan.