Merah Putih-nya Rudy Hartono
Rudy Hartono satu-satunya pemain bulu tangkis di dunia yang mampu menjuarai All England sebanyak 7 kali berturut-turut. Legenda bulu tangkis Indonesia ini menyimpan banyak cerita menarik. Kisah masa kecilnya, perjuangan untuk menjadi maestro bulu tangkis dan kehidupan keluarganya dapat disimak melalui serial video lensa berita berikut ini.
Apa yang membuat Rudy memilih bulu tangkis? ”Saya ingin menjadi juara karena orang Indonesia ternyata juga bisa menjadi juara,” kata Rudy dalam obrolan santai dengan wartawan senior Kompas, Jimmy S Harianto, di kantor redaksi Kompas, Kamis (1/8/2019) siang.
Saat itu tim Thomas Cup Indonesia tahun 1958 yang terdiri dari Ferry Sonneville, Tan Joe Hok, Eddy Yoesoef, Nyoo Kim Bie, Tan King Gwan, Lie Po Djian, Olich Solihin berhasil merebut Piala Thomas dari juara bertahan Malaya (Malaysia) dengan skor 6-3. Pertandingan berlangsung di Singapura.
Malaysia memegang Piala Thomas tiga kali berturut-turut, sejak pertama kali kejuaraan ini diadakan, yaitu pada 1949, lalu 1952 dan 1955. Keberhasilan membawa Piala Thomas membuat tim Indonesia diarak keliling Jakarta. Pada tahun berikutnya, 1959, Tan Joe Hok menjadi juara All England setelah di final mengalahkan rekan senegaranya, Ferry Sonneville.
Usia 9 tahun, Rudy Nio kecil asal Surabaya mulai berlatih memukul kok dengan pengawasan ayahnya yang pemain bulu tangkis dan memiliki klub bulu tangkis. Latihan pertama yang dilakukan adalah disiplin dengan cara bangun pagi dan dilanjutkan dengan lari pagi. Jika hari hujan, latihan tetap berjalan di dalam rumah. ”Pokoknya tiada hari tanpa latihan,” kata Rudy tersenyum.
Lebih Lengkap: Video Serial Lensa Berita Rudy Hartono
Rudy Nio, yang kemudian dikenal dengan nama Rudy Hartono Kurniawan, pertama kali bermain di Istora Senayan saat Piala Thomas 1967. Tim Thomas saat itu yaitu Ferry Sonneville, Mulyadi, Rudy Hartono, Tan King Gwan, Agus Susanto dan Unang AP. Mereka akan bertemu dengan tim Malaysia mulai Jumat (9/6/1967) di Istora Senayan, Jakarta.
Partai Tunggal pertama antara Ferry Sonneville–Cheng Hoe (Malaysia) dimenangi Malaysia dengan angka 9-15 dan 7-15 dalam tempo 32 menit. Pada partai kedua, Rudy Hartono mengalahkan Tan Aik Huang dengan straight set 15-6, 15-8. Kemenangan Rudy yang kala itu berusia 18 tahun memberikan semangat bagi timnya. Demikian juga pada hari kedua, Rudy kembali menyumbang poin dengan mengalahkan Cheng Hoe, 15-5, 15-9.
Pada pertandingan hari kedua, Sabtu (10/6/1967), Karena dirasa para penonton yang bersorak-sorak mengganggu jalannya pertandingan, wasit kehormatan (honorary referee) HAE Scheele menghentikan pertandingan di partai ganda antara pasangan Mulyadi/Agus Susanto lawan Tan Yee Khan/Ng Boon Bee. Saat itu, pasangan Indonesia unggul di set kedua dengan angka 18-13 setelah kalah di set pertama 2-15, sedangkan secara regu, Malaysia unggul 4-3.
Pertandingan ini merupakan partai kedelapan dan, menurut keputusan Dewan IBF (International Badminton Federation), akan dilanjutkan di Selandia Baru. Indonesia menolak dan dinyatakan kalah pada dua pertandingan lanjutan. Akhirnya Malaysia mengalahkan Indonesia (juara bertahan) dengan skor 6-3 sekaligus memboyong Piala Thomas. Peristiwa ini terkenal dengan sebutan Insiden Scheele.
Galeri Foto: Sepak Terjang Legenda Bulu Tangkis Rudy Hartono
Ambisi juara All England
Dalam sebuah wawancara dengan wartawan Kompas awal 5 Mei 1967 diperkampungan Pemusatan Latihan Nasional di Jalan Polo Air, kompleks Senayan, Jakarta, saat ditanya apa yang menjadi cita-citanya, Rudy menjawab, ”Menjadi juara dunia setelah ikut Thomas Cup”. Maksudnya, menjadi juara All England yang akan berlangsung pada Maret 1968.
Indonesia mengirim tim All England yang beranggotakan Rudy Hartono, Mulyadi, Minarni, dan Retno Kustiyah dengan biaya dari pemerintah sekitar Rp 1,5 juta. Mereka akan menghadapi lawan tangguh dari Malaysia dan Denmark pada All England, pertandingan yang juga disebut sebagai kejuaraan dunia tak resmi, di Empire Pool, Wembley, London, Inggris tanggal 20-23 Maret 1968.
Pada babak pertama, Rudy mengalahkan K Meshino (Jepang) 15-6, 15-6. Di ronde kedua, pemain yang baru berusia 18 tahun ini kembali menghancurkan pemain Inggris, P Whet, 15-5 dan 15-7. Lawan berikutnya, Henning Borch (Denmark) dikalahkan dengan skor 15-5 dan 15-4. Gugurnya Mulyadi saat bertemu Erland Kops, 15-13, 5-15 dan 4-15, menyisakan empat semifinalis, yaitu Rudy Hartono, Tan Aik Huang, Svend Andersen, dan Erland Kops. Pasangan ganda putri Minarni/Retno Kustiyah maju ke babak ketiga setelah mengalahkan pasangan Inggris, Hopson/Woodcock, dengan angka 15-7 dan 15-7.
Pertandingan di final menyuguhkan drama yang menarik antara Rudy Hartono dan Tan Aik Huang (Malaysia). Di semifinal, juara 7 kali tidak berturut-turut All England, Erland Kops, dikalahkan Tan Aik Huang, sedangkan Rudy Hartono mengalahkan Svend Andersen (Denmark).
Perjumpaan Rudy dengan Aik Huang mengingatkan saat bertemu di Thomas Cup 1967 di Jakarta di mana Rudy menang dengan straight set. Permainan cepat, agresif dengan smes tajam dan permainan net yang manis membuat Rudy lebih unggul dalam meraih poin. Aik Huang (21), empat kali finalis All England, dibuat tidak berdaya oleh Rudy yang baru pertama kali ikut kejuaraan ini.
Lawannya kali ini ternyata lebih berat daripada juara tujuh kali All England, Erland Kops. Pada set pertama, Rudy sempat unggul 10-6, tetapi bisa disusul hingga 13-12, meski akhirnya ditutup dengan skor 15-12 oleh Rudy. Set kedua berlangsung sengit, kejar-mengejar angka hingga 7-7. Sayangnya, Aik Huang banyak membuat kesalahan dan terlihat lelah sehingga akhirnya Rudy memastikan diri keluar sebagai juara, dan menutup set kedua dengan skor 15-9.
Akhirnya Rudy menjadi orang Indonesia kedua yang meraih juara All England setelah Tan Joe Hok (Hendra Kertanegara) pada 1959. Rudy juga menjadi juara yang paling muda usianya, 18 tahun, dalam sejarah perebutan gelar. Sementara di final ganda putri, pasangan Minarni/Retno Kustiyah menang atas pasangan Jepang, Noriko Takagi/Hiroo Amano, 11-6 dan 11-2.
Kecepatan, ketabahan, agresivitas, keterampilan fisik dan teknik Rudy Hartono merupakan faktor utama saat mengalahkan pemain Malaysia Tan Aik Huang. Hal itu diungkapkan oleh Ferry Sonneville, eks kaptenRegu Thomas Cup Indonesia yang menyaksikan pertandingan All England 1968 selaku Vice President IBF di London.
Baik smes menyilang, maupun yang paralel dari satu baseline ke baseline lainnya, netting dan smash overhead menjadi senjata Rudy mengalahkan lawan-lawannya. Menurut Ferry, Rudy merupakan ”The Fastest Player” (Kompas, Jumat, 5/4/1968, hlm 2). Kedatangan tim All England pada Kamis (4/4/1968) malam di Bandara Kemayoran disambut oleh pimpinan PBSI, seperti Sudirman dan Tambunan.
Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin meminta warga Jakarta memasang bendera Merah Putih tanggal 6 April mulai jam 06.00-18.00 dan ikut menyambut sepanjang perjalanan dari Senayan–Balai Kota. Iring-iringan kendaraan terbuka akan melalui Senayan-Jalan Jenderal Sudirman–Jalan Thamrin–Jalan Merdeka Selatan–Balai Kota. Para juara All England akan disambut secara resmi di Balai Kota pada pukul 09.00.
Kemenangan pertama ini disusul dengan kemenangan beruntun berikutnya. Bagi Rudy, mempertahankan lebih berat bebannya ketimbang merebut. Rudy berhasil menjuarai All England sebanyak delapan kali, 1968-1974 dan 1976. Pada tahun 1975, ia dikalahkan oleh Svend Pri, pemain asal Denmark. Selain menjadi satu-satunya pemain bulu tangkis di dunia yang memegang rekor juara All England delapan kali, Rudy juga satu-satunya pemain bulu tangkis yang memiliki dua piala All England. Saat itu, setiap tiga kali juara All England secara berturut-turut, pemain boleh membawa pulang satu piala All England. Sayangnya, saat ini pemberian hadiah piala tidak lagi ada karena diganti dengan hadiah uang.
Cerita seru
Svend Pri saat akan bertanding di semifinal dengan Christian di All England 1973. Taksi yang ditumpangi Sven Pri beberapa kali salah jalan sehingga saat tiba di stadion harus langsung bertanding. Sebagai pemain temperamental, emosi Pri menjadi kurang baik dan akibatnya sering membuat kesalahan. Apalagi pada set pertama kalah, dan makin emosi di set kedua. Meski Christian spesialis ganda, akhirnya bisa mengalahkan Pri dengan straight set. Rudy yang mengetahui lawannya di final bakal Christian, hanya tertawa. ”Lho, dia kan setiap hari ketemu latihan di pelatnas. Jadi ya ... akhirnya saya bisa menang ... 15-4, 15-2.
Menghadapi All England 1974, menjadi tantangan yang berat. Setelah enam kali, Rudy ingin memecahkan rekor tujuh kali berturut-turut menjuarai All England. Di final, Sabtu (23/3/1974), ia bertemu Punch Gunalan (Malaysia). Dalam pertarungan yang sengit, Rudy menang dengan rubber set 8-15, 15-9, 15-10. Pada set ketiga, ketika skor 14-10, pengembalian bola dari Gunalan menyangkut di net sekaligus mengakhiri pertandingan.
Belum pernah terjadi sebelumnya, Rudy begitu bergembira, meloncat sambil mengangkat tangannya dan berteriak kegirangan. Rudy menghampiri dan memeluk Gunalan. Lebih dari 6.000 penonton di stadion Empire Pool dan jutaan penonton Indonesia yang menyaksikan lewat TV selama 58 menit. Menurut penghitungan, Gunalan melakukan 167 kali smes kerasnya dengan 42 kali masuk. Rudy hanya 28 kali smes dan lebih banyak bertahan. Karena seringnya Gunalan melancarkan smes, kok ”RSL” yang terpakai mencapai tiga lusin. (Kompas, Senin, 25/3/1974, hlm 1).
Foto Lainnya: Sisi Lain Rudy Hartono di Luar Lapangan
Menjelang kejuaraan All England 1978, tim All England Rudy cs menggelar pertandingan antaranggota tim untuk mencari tambahan dana. Sebuah kotak sumbangan diletakkan di pintu masuk Hall C Senayan, Jakarta. Setiap penonton bisa dengan sukarela memasukkan sejumlah uang untuk menonton pertandingan yang berlangsung pada 8-10 Februari 1978.
Hari Kamis (16/3/1978) diperdelapan final All England 1978, Rudy bertemu Sture Johnsson, pemain utama Swedia dan juara Eropa. Pertarungan alot selama tiga set, hampir sejam penuh dimenangi Rudy dengan skor 15-9, 10-15, 18-17. Turun ke lapangan dengan delapan raket yang diproduksi khusus untuk Rudy. Raketnya memiliki desain dan kelenturan senar khusus. Saat pemanasan, tiga raket putus.
Diawal set kedua, satu raket lagi putus senarnya. Pada set ketiga, empat raket yang tersisa juga putus senarnya. Skor saat itu 12-10 untuk Rudy. Atas inisiatifnya, Sture meminjamkan raketnya kepada Rudy. Sayangnya, raket itu tidak cocok untuk Rudy sehingga ketinggalan 12-13. Untungnya saat Rudy memungut bola yang tak berhasil diselamatkan tadi, lewatlah Regina dan Tuty yang sepertinya sudah tahu akan kesulitan Rudy dengan raket. Regina segera menyodorkan raketnya kepada Tuty untuk diteruskan kepada Rudy.
Dengan raket baru itu, Rudy kembali mengejar hingga 13-13. Sture minta deuce lima dan terjadilah ketegangan tidak saja bagi pemain, tetapi juga ribuan penonton. Rudy sempat tertinggal 1-4. Dengan permainan cepatnya, Rudy menyamakan kedudukan 4-4. Rudy serve pendek, duel net di pojok kiri Rudy dan pengembalian Sture melebar ke kanan, 5-4 atau 18-17 untuk Rudy. Rudy meloncat dengan kedua tangan ke atas sedangkan Sture Johnsson berguling-guling di lantai (Kompas, Rabu, 29/3/1978, hlm 1). Di Final, Rudy dikalahkan rekan senegaranya, Liem Swie King, dengan skor 10-15, 3-15.
Delapan kali Rudy Hartono ”mengibarkan” Merah Putih di All England. Dirgahayu ke-70 Rudy.
Sumber : Kompas, Senin, 26 September 1966, halaman 3,
Kompas, Senin, 12 Juni 1967, halaman 1, Kompas, Senin, 25 Maret 1968, halaman 1, Kompas, Rabu, 27 Maret 1968, halaman 2, Kompas, Senin, 24 Maret 1969, halaman 1, Kompas, Selasa, 25 Maret 1969, halaman 2, Kompas, Senin, 23 Maret 1970, halaman 1, Kompas, Senin, 8 Juni 1970, halaman 1, Kompas, Senin, 29 Maret 1971, halaman 1, Kompas, Senin, 27 Maret 1972, halaman 1, Kompas, Senin, 26 Maret 1973, halaman 1, Kompas, Senin, 25 Maret 1974, halaman 1, Kompas, Senin, 24 Maret 1975, halaman 1, Kompas, senin, 29 Maret 1976, halaman 1.