Setiap tahun, perayaan hari keramat ini berlangsung dengan berbagai cara, di samping yang lazim, seperti upacara bendera, lomba makan kerupuk, tarik tambang, karnaval berbaju adat, panjat pinang, dan banyak lagi.
Oleh
Krishna P Panolih (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Masihkah warga Ibu Kota, terlebih kalangan muda, berpartisipasi aktif dan menganggap perayaan 17 Agustus penting dirayakan?
Setiap tahun, perayaan hari keramat ini berlangsung dengan berbagai cara, di samping yang lazim, seperti upacara bendera, lomba makan kerupuk, tarik tambang, karnaval berbaju adat, panjat pinang, dan banyak lagi.
Kiranya tidak salah juga jika peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI nyaris selalu identik dengan lomba. Siapakah yang mengawali perayaan HUT Kemerdekaan RI setiap 17 Agustus?
Walaupun tak jelas siapa yang memulainya, tradisi merayakan 17 Agustus terus berjalan sampai sekarang. Sembilan dari 10 warga Ibu Kota dalam jajak pendapat Kompas awal Agustus ini mengungkapkan, perayaan HUT Kemerdekaan masih rutin diadakan di setiap tahun di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka.
Sejarawan JJ Rizal pernah mengungkapkan, setiap 17 Agustus, negara dan masyarakat dengan inisiatif sendiri merayakannya. ”Dulu perlombaan untuk menghormati Ratu Belanda dan kedatangan Jepang. Setelah merdeka, rakyat merayakan tepat tanggal 17 Agustus” (Kompas.com, 17/8/2016).
Sebagian kegiatan menyambut HUT 17 Agustus merupakan sambungan dari tradisi yang dibangun sejak masa sebelum kemerdekaan. Lomba panjat pinang umpamanya, sudah berlangsung sejak zaman Belanda, yaitu sekitar 1917-1930.
Semasa Joko Widodo masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, tradisi 17-an juga menjadi hal yang dikedepankan, kendati penekanannya lebih ditujukan bagi kalangan muda. Mengapa?
”Untuk mengingatkan rakyat betapa sulitnya para pendahulu memperjuangkan kemerdekaan. Itu harus ditanamkan pada generasi muda,” ungkap Jokowi. (Kompas.com, 17/8/2014).
Tradisi merayakan Proklamasi, khususnya di kalangan muda Ibu Kota, terungkap pula pada jajak pendapat Kompas. Sebagian besar responden, sepertiga di antaranya kalangan pelajar dan sekitar 28 persen lainnya adalah karyawan swasta, mengungkapkan perayaan 17 Agustus rutin diselenggarakan di wilayah tempat tinggal atau aktivitas sehari-hari mereka.
Ragam perayaan
Cara dan gaya merayakan 17 Agustusan kini semakin beragam. Ada fenomena perayaan yang meriah, spektakuler, tetapi ada juga perayaan yang diselenggarakan dengan sengaja menghindari keramaian.
Ambil contoh, memajang bendera Merah Putih terpanjang, upacara bendera di dalam laut, hingga midnight sale di mal. Sementara itu, ada juga yang bertirakat atau berdiskusi tentang masa-masa tahun 1945 dengan para tokoh pemuda pencetus kemerdekaan.
Warga Ibu Kota pun memberikan tanggapan beragam terhadap berbagai bentuk perayaan 17 Agustus. Karnaval dewasa dan anak-anak, menurut lebih kurang 26 persen responden, dianggap yang unik. Sementara hampir seperlima responden lainnya melihat karnaval sebagai sesuatu yang tak lagi khas dan segar.
Sementara kalangan muda Ibu Kota (dua pertiga lebih responden) melihat perayaan 17 Agustus lebih banyak diisi kegiatan rutin yang sudah lama berjalan. Kegiatan itu, antara lain, lomba makan kerupuk, balapan karung, atau tarik tambang dan upacara bendera.
Rutinitas tradisi
Perayaan kemerdekaan yang kian condong menjadi rutinitas tradisi, mengutip pendapat pengamat sejarah Asep Kambali, tak lagi relevan karena justru menjauhkan rakyat Indonesia dari makna kemerdekaan.
Lomba makan kerupuk, misalnya, mengandung simbol kemelaratan yang condong menjadikan masyarakat lupa akan esensi kemerdekaan.
Lomba makan kerupuk, misalnya, mengandung simbol kemelaratan yang condong menjadikan masyarakat lupa akan esensi kemerdekaan.
Kambali berpendapat, masih ada lomba-lomba yang lebih mempunyai makna seperti membaca buku tentang kemerdekaan atau lomba yang berhubungan dengan sejarah dan yang mendekatkan pemahaman kebangsaan.
Terkait ataupun tidak dengan makna di balik perlombaan, nyatanya tidak semua warga Ibu Kota berminat mengikuti perayaan seperti ini. Potret animo warga Ibu Kota untuk turut terlibat dalam merayakan 17 Agustus terbungkus dalam beragam alasan merujuk hasil jajak pendapat ini.
Sepertiga responden, sebagian dari kalangan muda mengaku tidak terlibat dalam perayaan 17 Agustus lantaran sibuk dengan pekerjaan dan soliditas warga di sekitar tempat tinggal yang rendah. Sementara, dua pertiga warga lainnya memilih tidak berpendapat atau mengaku tidak tahu alasan terkait antusiasme berpartisipasi dalam merayakan kemerdekaan.
Kendati mayoritas warga Ibu Kota (96 persen) termasuk warga muda masih meyakini pentingnya merayakan HUT kemerdekaan, potret animo yang mengemuka boleh jadi bisa menjadi salah satu refleksi baik yang mewakili dinamika perayaan kemerdekaan pada sebagian masyarakat.
Kendati mayoritas warga Ibu Kota (96 persen) termasuk warga muda masih meyakini pentingnya merayakan HUT kemerdekaan, potret animo yang mengemuka boleh jadi bisa menjadi salah satu refleksi baik yang mewakili dinamika perayaan kemerdekaan pada sebagian masyarakat.
Mengutip Suka Hardjana, pegiat musik dan pedagog, setiap peringatan proklamasi kemerdekaan seharusnya menjadi hari retrospeksi sejarah sekaligus introspeksi diri yang lebih evaluatif dengan menatap ke depan.