Kali Cakung, Warisan Proyek Abad Ke-5
Kali Cakung di Jakarta Utara gelap dan bau. Sungai itu kini tampaknya cuma ”bertugas” sebagai pengumpul limbah bagi warga di sekitarnya. Padahal, Kali Cakung diduga merupakan warisan proyek pada abad ke-5 Masehi, di masa Kerajaan Tarumanegara.
Kali Cakung di Jakarta Utara gelap dan bau. Sungai itu kini tampaknya cuma ”bertugas” sebagai pengumpul limbah bagi warga di sekitarnya. Padahal, Kali Cakung diduga merupakan warisan proyek pada abad ke-5 Masehi, di masa Kerajaan Tarumanegara.
Dinaungi rimbun daun dari batang-batang pohon yang doyong ke arah kali, Suryadi (64) dan Madali (44) mendayung rakit berbahan HDPE (polietilena berdensitas tinggi). Rakit berbentuk persegi itu maju perlahan, menyusuri Kali Cakung, Rabu (14/8/2019) siang.
Ujung dayung mereka dilengkapi ruji-ruji penutup kipas angin, bermanfaat untuk mengangkat sampah dari kali ke atas rakit. Daun-daun dan bungkus-bungkus plastik pun sudah menumpuk.
”Lagi banyak ini sampahnya,” ujar Suryadi. Menjaga kebersihan saluran air memang jadi kewajiban keduanya, para petugas Unit Pelaksana Kebersihan (UPK) Badan Air Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta.
Selain sampah-sampah tersebut, lumpur berwarna kehitaman juga mengapung di permukaan kali. Dilengkapi dengan aroma comberan sepanjang penyusuran kali, pemandangan lumpur yang mengambang membuat dada sedikit sesak menahan mual.
Baca juga : Betawi Tersisih, Jakarta Merugi
Baca juga : Kisah Para Saksi Perubahan
Dapur-dapur semiterbuka dengan kepulan asap dari tungku masak juga menjadi corak khas di sepanjang bantaran Kali Cakung. Sejumlah pendatang dengan profesi sebagai pembuat tahu dan tempe berproduksi di sana, kemungkinan juga membuang limbah proses produksi ke dalam kali.
Perlakuan yang tidak pantas bagi Kali Cakung. Sebab, saluran air ini boleh dikatakan sebagai petunjuk asal-usul Ibu Kota dari 16 abad lampau. Prasasti Tugu yang diyakini berasal dari abad kelima—jauh sebelum era kolonialisme membelenggu Jakarta—diduga terkait dengan Kali Cakung.
Perlakuan yang tidak pantas bagi Kali Cakung. Sebab, saluran air ini boleh dikatakan sebagai petunjuk asal-usul Ibu Kota dari 16 abad lampau. Prasasti Tugu yang diyakini berasal dari abad kelima—jauh sebelum era kolonialisme membelenggu Jakarta—diduga terkait dengan Kali Cakung.
Adolf Heuken dalam buku Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta Jilid I mencatat, Prasasti Tugu berkaitan dengan empat prasasti tertua lainnya di Jawa, dan semua berasal dari masa pemerintahan Purnawarman, penguasa Kerajaan Tarumanegara.
Tulisan berhuruf Wengi dari masa Palawa terpahat pada batu prasasti, menandakan prasasti berasal dari abad kelima. Bahasanya Sanskerta, pada masa itu dikuasai sekurang-kurangnya oleh para pandita Hindu di Jawa Barat.
Prasasti Tugu merupakan penanda suksesnya proyek saluran air Purnawarman. Dalam terjemahan yang dicantumkan Heuken di bukunya, tulisan di batu prasasti menyatakan bahwa dahulu atas perintah Raja Purnawarman, pada tahun ke-22 pemerintahannya, dilakukan penggalian di Sungai Chandrabhaga setelah sungai itu melampaui ibu kota yang masyhur dan sebelum masuk ke laut.
Penggalian selesai dalam 21 hari, pada hari kedelapan bulan gelap bulan Phalguna hingga hari ketiga belas bulan terang bulan Caitra. Hasilnya, sebuah saluran air baru dengan air jernih bernama Sungai Gomati sepanjang 6.122 busur (sekitar 11 kilometer), melampaui asrama pendeta raja yang dipepundi sebagai leluhur bersama para brahmana. Para pendeta itu dihadiahi seribu ekor sapi.
Menurut Heuken, Kali Cakung kemungkinan identik dengan nama Sungai Chandrabhaga tadi. Dari penelusuran di lapangan, bekas titik Prasasti Tugu memang berdekatan dengan Kali Cakung. Kini, prasasti bisa dilihat di Museum Nasional atau terkenal sebagai Museum Gajah, di Jakarta Pusat.
Menurut Heuken, Kali Cakung kemungkinan identik dengan nama Sungai Chandrabhaga tadi. Dari penelusuran di lapangan, bekas titik Prasasti Tugu memang berdekatan dengan Kali Cakung. Kini, prasasti bisa dilihat di Museum Nasional atau terkenal sebagai Museum Gajah, di Jakarta Pusat.
Prasasti berasal dari area Kampung Batu Tumbuh dekat Gereja Tugu, Jakarta Utara.
Nama kampung tersebut masih digunakan hingga sekarang, serta diabadikan menjadi nama jalan selebar tiga meter yang menghubungkan Jalan Logistik dengan Jalan Tipar Cakung, dilengkapi dengan jembatan selebar dua meter untuk menyeberangi Kali Cakung. Kampung itu belakangan disebut sebagai Kampung Tugu Batu Tumbuh, masuk wilayah RW 004 Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara.
Menurut warga senior di kampung tersebut, Abdul Malik (81), istilah batu tumbuh amat terkait dengan keberadaan batu bertuliskan huruf kuno itu.
”Menurut cerita orang tua kita, ada batu dipendam di samping pohon laban. Itu pohon sangat kuat, dipaku hampir tidak mempan. Karena berada di samping pohon laban, batu itu lama-lama terangkat akibat terdesak akar pohon sehingga disebut batu tumbuh,” katanya.
”Menurut cerita orang tua kita, ada batu dipendam di samping pohon laban. Itu pohon sangat kuat, dipaku hampir tidak mempan. Karena berada di samping pohon laban, batu itu lama-lama terangkat akibat terdesak akar pohon sehingga disebut batu tumbuh,” kata Malik.
Jika dilacak mengandalkan sisa-sisa ingatan Malik serta cerita dari para pendahulu, prasasti dulunya hanya berjarak 20 meter dari sisi Kali Cakung. Jika ditilik sekarang, titik prasasti ada di pinggir Jalan Logistik di depan bengkel ban dan kandang bus metromini. Tidak ada lagi penanda pernah ada prasasti di sana.
Catatan Heuken, prasasti dipindahkan ke Museum Nasional pada 1911 (era pemerintah kolonial Hindia Belanda).
Malik menambahkan, Belanda sebenarnya mengganti Prasasti Tugu dengan batu besar biasa yang tidak lagi bertuliskan huruf tertentu. Namun, ada saja masyarakat yang menyelubunginya dengan kain dan mengeramatkan batu pengganti itu.
Sejak ada proyek pembangunan Jalan Logistik tahun 1980-an yang terhubung ke Pegangsaan Dua, Kecamatan Kelapa Gading, batu pengganti sudah raib entah ke mana.
Baca juga : Jakarta dan Urban Sprawl
Baca juga : Gedung Monumen Tanam Paksa
Meski mengetahui prasasti pernah tertancap di area Kampung Tugu Batu Tumbuh, Malik tidak tahu bahwa prasasti itu penanda selesainya proyek saluran air zaman Kerajaan Tarumanegara. Ia hanya diceritakan bahwa batu tersebut menandakan wilayah kekuasaan Purnawarman.
Teka-teki
Terbatasnya informasi dari Prasasti Tugu jelas meninggalkan teka-teki besar. Yang paling mengusik arkeolog Candrian Attahiyyat adalah pertanyaan tentang apakah prasasti itu menjadi penanda percabangan saluran air baru dari Sungai Chandrabhaga, atau malah menandakan muara saluran baru. Jika batu prasasti menjadi penanda muara, garis pantai Teluk Jakarta pada abad kelima kemungkinan terletak di sekitar Jalan Batu Tumbuh.
Jika batu prasasti menjadi penanda muara, garis pantai Teluk Jakarta pada abad kelima kemungkinan terletak di sekitar Jalan Batu Tumbuh.
Candrian cenderung yakin dengan teori kedua, salah satunya dengan menggunakan logika berpikir sekarang. ”Prasasti atau monumen biasanya digunakan untuk menandai akhir dari proyek yang semestinya dipasang di ujung pekerjaan, jika pada pembuatan jalan berarti pada ujung jalan,” ujarnya.
Adapun pada lokasi awal proyek terdapat tradisi atau kebiasaan yang bukan menggunakan monumen, misalnya penanaman kepala kerbau.
Bukan tidak mungkin dalam perjalanan waktu lebih dari 1.500 tahun daratan Jakarta memang makin menjorok ke laut. Itu cocok dengan salah satu faktor pembentukan wilayah di sepanjang pantai Teluk Jakarta, yaitu sedimentasi, seperti dikemukakan dalam buku Gagalnya Sistem Kanal: Penendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa karya Restu Gunawan.
Teluk Jakarta awalnya tidak ada. Namun, terdapat dua sungai besar yang berperan dalam pembentukan daratan baru, yaitu Sungai Citarum di sebelah timur dan Cisadane di barat. Keduanya membawa banyak material erosi sehingga memicu pengendapan lebih cepat dibandingkan sungai-sungai lain yang lebih kecil. Itu menyebabkan pergeseran garis pantai pada wilayah muara kedua sungai sehingga delta dan semenanjung terbentuk, menjorok ke laut. Teluk Jakarta pun lahir.
Teori yang diyakini Candrian—meski belum bisa dikatakan paling benar—bertentangan dengan sejumlah penafsiran. Contohnya, J Noorduyn dan H Th Verstappen atas dasar peta topografik (1901/1902) menggambarkan dalam peta, Kali Cakung sengaja dibelokkan persis pada bekas lokasi Prasasti Tugu, dari arahnya yang lama (ke utara, arah Lagoa) ke arah timur laut (Marunda).
Pada sisi lain, menurut Heuken, terdapat tafsiran yang mengatakan, letak ibu kota Tarumanegara seharusnya dicari di dekat lokasi Prasasti Tugu, mengingat Kali Cakung mungkin identik dengan nama Sungai Chandrabhaga. Tafsiran itu sayangnya belum didukung penemuan arkeologis.
Baca juga : Kepolisian Batavia hingga Metro Jaya
Baca juga : Hijrah ke Kota
Candrian mengatakan, Dinas Museum dan Sejarah Jakarta (sekarang Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI) pada 1972 pernah melakukan penelitian arkeologi di tepi Kali Cakung, sekitar Jalan Batu Tumbuh. Namun, belum ada temuan artefak yang menjadi petunjuk peradaban abad kelima di sana.
Karena itu, teori yang dikemukakan Candrian menarik untuk diuji. Caranya, menyisir Kali Cakung sebelas kilometer ke selatan lalu mencari artefak dari 16 abad lalu. Selain itu, menyusuri asal-muasal nama daerah pada jarak sebelas kilometer itu, siapa tahu akan mendapati yang punya relasi erat dengan istana kerajaan. Titik awal proyek Sungai Gomati pun akan diperoleh.
Bagi Candrian, penelusuran jejak saluran abad kelima buatan Kerajaan Tarumanegara bukan cuma soal memperluas khazanah pengetahuan. Ini juga adalah tentang memanggungkan nilai penting aliran air, termasuk Kali Cakung, bagi kehidupan. Aliran air kerap menjadi awal mula peradaban berbagai kota di dunia.
Bagi Candrian, penelusuran jejak saluran abad kelima buatan Kerajaan Tarumanegara bukan cuma soal memperluas khazanah pengetahuan. Ini juga adalah tentang memanggungkan nilai penting aliran air, termasuk Kali Cakung, bagi kehidupan. Aliran air kerap menjadi awal mula peradaban berbagai kota di dunia.
Malik menceritakan, Kali Cakung sejak zaman penjajahan Belanda berperan vital bagi pertanian. Sejumlah saluran irigasi dibuat untuk mengalirkan air ke sawah-sawah, antara lain di Semper, Tugu, hingga Plumpang. Bisa jadi, Sungai Gomati yang diinisiasi Purnawarman juga menghidupi pertanian pada abad kelima.
Kini, petunjuk tentang asal-usul Jakarta itu semata-mata dijadikan ”tukang antar” limbah menuju laut. Memprihatinkan.