Kesempatan Bekerja Bagi Warga Lansia
Bekerja dan berkarya tak mengenal usia. Sebagaimana kemerdekaan yang jadi hak segala bangsa, bekerja adalah hak segala usia. Di tengah kondisi penduduk dunia yang kian menua, tak terkecuali di Indonesia, jamak kita jumpai penduduk lansia yang masih bekerja, baik secara sukarela maupun terpaksa.
Dalam film The Intern (2015), aktor Robert De Niro memerankan orang lansia berusia 70 tahun (Ben Whittaker) yang kembali terjun ke dunia kerja fomal tempat anak-anak muda berkarya di industri kreatif. Meski kultur, gaya, dan lingkungan kerja anak muda berbeda dengan zamannya dulu, dia berhasil menginspirasi, memberi manfaat, dan menancapkan pengaruhnya dengan segala potensi, pengalaman, serta keahlian yang dimiliki.
Dia bekerja, tetapi tak ngoyo. Di luar pekerjaan, dia mempunyai waktu melakukan yoga bersama komunitasnya. Apa yang ditampilkan dalam film itu adalah gambaran ideal hidup di usia senja. Yang tak kalah penting, Ben Whittaker berhasil membalik keadaan dari kehidupan tak bekerja orang lansia yang tak menyenangkan jadi ritme bekerja yang menggembirakan dan memberdayakan.
Problem warga lansia di ranah ketenagakerjaan hanya salah satu problem dari berbagai permasalahan yang dihadapi seseorang yang beranjak usia lanjut. Berdasarkan jajak pendapat Kompas, Juli 2019, misalnya, terungkap hampir separuh warga lansia tidak memiliki pemasukan finansial di masa tua. Untunglah, mereka bisa hidup bersama keluarga, anak-anak, atau kerabat lain.
Hampir satu miliar penduduk dunia sudah berusia lanjut saat ini. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, definisi lansia adalah orang berusia 60 tahun ke atas. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, dalam waktu hampir lima dekade (1971-2018), persentase penduduk lansia Indonesia meningkat sekitar dua kali lipat, yaitu jadi 9,27 persen, atau 24,5 juta orang pada 2018.
Di Indonesia, penduduk lansia perempuan lebih banyak ketimbang lansia laki-laki, dengan porsi 52,43 persen berbanding 47,57 persen. Jumlah ini lebih tersebar di perkotaan (51,60 persen) ketimbang di perdesaan. Terdapat lima provinsi yang memiliki persentase penduduk lansia cukup tinggi, yaitu DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, dan Bali.
Pada 2045, saat usia kemerdekaan negeri ini 100 tahun, diperkirakan persentase penduduk lansia Indonesia meningkat 2,5 kali lipat dibandingkan pada 2018. Berdasarkan prediksi ini, menurut BPS, hampir seperlima penduduk Indonesia berusia lanjut. Pada 2050, penduduk lansia Indonesia mencapai 23 persen. Prediksi itu lebih tinggi dibandingkan versi World Population Ageing yang dilansir PBB, yaitu persentase penduduk lansia Indonesia adalah 19,2 persen atau 61,7 juta orang pada 2050.
Pada tahun itu, jumlah penduduk lansia dunia meningkat menjadi 2 miliar orang, dengan persentase naik dua kali lipat menjadi 21 persen. Peningkatan yang cepat terjadi di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, yaitu warga lansia meningkat sampai empat kali lipat dalam kurun 50 tahun. Dua dari tiga warga lansia hidup di negara berkembang.
Peningkatan jumlah penduduk lansia ini paling tidak disebabkan oleh dua hal. Pertama, pertambahan usia harapan hidup yang antara lain berkat asupan gizi dan layanan kesehatan yang membaik. Kedua, penurunan angka kelahiran akibat upaya pengendalian jumlah penduduk.
Jika membandingkan dengan konteks dunia, populasi penduduk lansia di Indonesia mencapai sekitar 2,3 persen dari keseluruhan penduduk lansia dunia. Jumlah penduduk lansia terbesar terdapat di China, sebanyak 228,8 juta orang, atau 23,7 persen dari total penduduk lansia dunia.
Namun, dilihat dari porsi penduduk lansia dalam suatu negara, Jepang memiliki porsi paling besar. Sebanyak 33,4 persen penduduknya berusia lanjut. Artinya, satu dari tiga penduduknya berusia lanjut. Jepang mengalami penuaan penduduk lebih cepat dibandingkan negara lain. Pada 2050, diperkirakan porsi penduduk lansia di Jepang tetap yang tertinggi di dunia, 42,4 persen.
Warga lansia bekerja
Jumlah penduduk lansia Indonesia yang meningkat menyebabkan kenaikan rasio ketergantungan penduduk lansia. Dalam sewindu terakhir, rasio ketergantungan penduduk lansia di Indonesia meningkat dari 11,95 persen pada 2010 menjadi 14,49 persen pada 2018. Rasio ketergantungan 14,49 persen berarti setiap 100 penduduk usia produktif menanggung sekitar 15 warga lansia.
Meski hidupnya banyak ditanggung oleh penduduk produktif, masih banyak pula penduduk lansia di Indonesia yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Separuh penduduk lansia Indonesia (49,79 persen) masih aktif bekerja. Tren persentase warga lansia bekerja meningkat. Motif warga lansia bekerja bisa dilihat sebagai aktualisasi diri atau keterpaksaan akibat desakan ekonomi.
Sayangnya, warga lansia yang bekerja ini tak mendapat upah memadai. Sebesar 48,32 persen warga lansia memperoleh pendapatan kurang dari Rp 1 juta per bulan. Jam kerja mereka pun memprihatinkan. Sebanyak 18 persen warga lansia bekerja melebihi jam kerja normal, atau lebih dari 48 jam seminggu.
Sebagian besar warga lansia yang bekerja berpendidikan SD ke bawah (81,09 persen). Sektor pertanian merupakan lapangan usaha yang banyak digeluti warga lansia (54,23 persen), dengan tingkat pendapatan paling rendah dibanding sektor lainnya.
Sementara itu, dilihat dari stabilitas pekerjaan, sebesar 50,39 persen warga lansia tergolong sebagai pekerja rentan, yaitu menjadi pekerja keluarga atau tidak dibayar, pekerja bebas, dan berusaha sendiri. Warga lansia yang tergolong dalam jenis pekerjaan ini sangat rentan terhadap situasi ekonomi yang memburuk.
Apa yang terjadi di Indonesia merupakan gambaran umum warga lansia di dunia. Di negara-negara berkembang, kebanyakan orang tua
atau orang lansia bekerja di sektor informal dengan pendapatan dan perlindungan sosial tak layak.
Hal ini berbeda dibandingkan dengan sektor formal di negara-negara maju yang cenderung berhasil dan siap mengantisipasi persoalan penduduk lansia. Selain ada perencanaan sistem pensiun yang baik, hal itu bisa terjadi karena juga ada penyesuaian kebijakan ketenagakerjaan bagi warga lansia.
Kesempatan sama
Terlepas dari motif warga lansia bekerja karena terpaksa atau sukarela, pada hakikatnya kesempatan kerja perlu diberikan kepada mereka. Pemikiran tentang perlunya warga lansia diberi kesempatan yang sama dalam dunia kerja sudah dilontarkan pada awal abad ke-21. Mantan Sekjen PBB Kofi Annan Second World Assembly on Ageing di Madrid, 2012, mendorong warga berusia lanjut tak hanya diperhatikan kesehatan dan kesejahteraannya, tetapi juga dilibatkan dalam pembangunan.
Pertemuan tingkat dunia itu menghasilkan Madrid International Plan of Action on Ageing dalam merespons populasi yang menua. MIPAA mendorong warga lansia berpartisipasi dalam pembangunan.
Salah satu rekomendasinya adalah warga lansia dimampukan untuk terus bekerja dan menjadi sumber penghasilan bagi keluarga sepanjang mereka menginginkannya serta memang mampu produktif. Hal ini didasari pertimbangan bahwa warga lansia dengan segala potensi dan pengalamannya bisa berpartisipasi dalam segala aspek kehidupan.
Kesempatan kerja bagi warga lansia tentu dengan tidak mengurangi kesempatan kerja bagi kaum muda walaupun pada kenyataannya warga lansia bekerja karena ada kekosongan yang tak diisi oleh kaum muda sebagai dampak penurunan angka kelahiran.
Terbukanya kesempatan kerja yang sama bagi warga lansia pada akhirnya tergantung pada kebijakan pemerintah. Negara-negara yang menyadari bahwa potensi warga lansia dapat diberdayakan biasanya melakukan penyesuaian kebijakan ketenagakerjaan.
Saat ini, pemerintah menyiapkan rancangan Strategi Nasional (Stranas) Kelanjutusiaan 2018-2025 yang menjadi acuan strategi penanganan kelanjutusiaan. Dengan demikian, warga lansia tidak semata dipandang sebagai beban bagi kaum produktif, tetapi juga sehat dan sejahtera. (LITBANG KOMPAS)