Perusahaan Mapan Ditantang Tetap Relevan
Perubahan mendasar yang dipicu evolusi teknologi melanda banyak sektor bisnis Tanah Air. Pelaku usaha dituntut adaptif dan lincah bergerak agar bertahan di tengah perubahan.
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan mendasar yang dipicu evolusi teknologi melanda banyak sektor bisnis Tanah Air. Pelaku usaha dituntut adaptif dan lincah bergerak agar bertahan di tengah perubahan.
Perkembangan teknologi mengubah tatanan kehidupan hingga berdampak terhadap sektor usaha. Tak sedikit perusahaan tersingkir dan tumbang, tetapi tak sedikit pula yang bertahan dan tetap relevan, termasuk perusahaan mapan yang telah berkiprah puluhan tahun.
Ketangkasan atau kelincahan untuk berubah dan beradaptasi tanpa kehilangan keseimbangan jadi kuncinya. Sejumlah petinggi dan eksekutif perusahaan yang dihubungi dan ditemui Kompas sepekan terakhir menyampaikan benang merah tersebut.
Isu tentang disrupsi juga disinggung Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan dalam rangka Hari Ulang Tahun Ke-74 RI dalam Sidang DPD dan DPR RI di Jakarta, Jumat (16/8/2019). Dalam pidatonya, Presiden menyatakan, dunia tidak semata sedang berubah, tetapi sedang terdisrupsi.
Di era disrupsi ini, kemapanan bisa runtuh. Ada pola bisnis lama yang tiba-tiba usang dan muncul pola bisnis baru yang gemilang. Ada keterampilan mapan yang tiba-tiba tidak relevan dan ada keterampilan baru yang meledak dan dibutuhkan. Terhadap situasi itu, Presiden mengajak semua pihak untuk tanggap dan siap.
Di dunia usaha, disrupsi amat terasa di sejumlah sektor, seperti transportasi, perdagangan, dan jasa. Namun, beberapa perusahaan mapan di Tanah Air dinilai mampu bertahan, bahkan berkembang di tengah persaingan yang ketat.
Inovasi
Di bisnis transportasi, kehadiran taksi daring berbasis aplikasi ”memukul” pelaku usaha lama. Laba bersih PT Blue Bird Tbk, misalnya, turun dari Rp 826,1 miliar pada 2015 menjadi Rp 500,8 miliar tahun 2016, lalu Rp 421,7 miliar pada akhir 2017. Namun, serangkaian perbaikan menelurkan hasil positif. Tahun 2018, laba Blue Bird naik jadi Rp 462,5 miliar.
”Kami melihat yang kami hadapi bukan teknologi, tetapi perang harga. Oleh karena itu, kami harus bisa memberikan layanan terbaik. Caranya, mengubah proses bisnis agar lebih efisien dan efektif,” kata Direktur Utama Blue Bird Noni Purnomo.
Baca juga: Menyalakan Api Transformasi Digital di Perusahaan
Di sektor tekstil dan produk tekstil yang sering dianggap sebagai industri yang sudah tidak bergairah, ada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang bertahan, bahkan terus berkembang. Ketika sejumlah pabrik tutup atau pindah lokasi, Sritex mencatat kinerja positif, terutama didorong oleh invoasi dan pengembangan sumber daya manusia.
”Semua industri pasti akan terkena dampak perkembangan teknologi. Namun, pada akhirnya akan kembali lagi ke masalah mutu produk. Kami terus perbaiki kualitas produk dan beradaptasi dengan perubahan,” kata Direktur Utama Sritex Iwan Setiawan Lukminto.
Pada Semester I-2019, Sritex mencatat pertumbuhan pendapatan bersih 12,2 persen secara tahunan menjadi 63,2 juta dollar AS. Salah satunya berkat kesuksesan menembus pasar Amerika Serikat dan Amerika Latin yang kontribusi penjualannya meningkat 3,2 kali lipat menjadi 51,3 juta dollar AS.
Telkom juga dinilai mampu tumbuh di tengah perubahan. Direktur Utama PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk atau Telkom Ririek Adriansyah mengatakan, perusahaan terus memperkuat kapabilitas digital dalam layanan, infrastruktur, dan pengalaman pelanggan.
Telkom Group mengelola enam portofolio produk yang melayani empat segmen konsumen, yaitu korporat, perumahan, perseorangan, dan segmen konsumen lainnya. Keenam portofolio produk meliputi mobile, fixed, wholesale dan internasional, infrastruktur jaringan, enterprise digital, dan consumer digital.
”Kami sekarang terbuka untuk berkolaborasi dalam pengembangan bisnis digital termasuk e-dagang dengan beberapa perusahaan terdepan,” kata Ririek.
Dia mengatakan, isu terbesar yang dihadapi industri telekomunikasi saat ini adalah perpindahan (shifting) bisnis legasi yang terdiri dari SMS dan suara menuju ke bisnis digital. Tantangannya kemudian seberapa cepat perusahaan mampu memonetisasi bisnis digital untuk mengompensasi penurunan pendapatan bisnis legasi.
Isu kedua adalah regulasi. Menyikapi dinamika regulasi, Telkom bersama Telkomsel berupaya menyiapkan langkah-langkah antisipasi termasuk secara aktif berkoordinasi dan memberi masukan kepada regulator.
Menurut pendiri dan CEO Bhinneka, Hendrik Tio, hal yang dibutuhkan bukan hanya kecepatan dan fleksibilitas mengadopsi teknologi, melainkan juga kemampuan memahami perilaku konsumen. ”Solusi kami harus menjawab kebutuhan konsumen sekaligus mendorong pertumbuhaan bisnis perusahaan,” ujarnya.
Bhinneka kini membuka toko resmi di platform laman pemasaran lain. Tujuannya menjangkau konsumen yang lebih luas. Pendekatan pemasaran berubah dari tradisional menggunakan telemarketing menjadi multisaluran yang didukung tim pemasaran digital, humas, komunitas, pameran, dan media sosial.
Menurut Hendrik, ada empat pilar untuk menggapai tujuan perusahaan, yaitu transformasi digital, pengutamaan konsumen, jadi pemimpin industri business to business, dan operasionalisasi yang unggul. Demi mewujudkannya, pemimpin manajemen mengajak karyawan untuk melayani konsumen dengan antusias, solutif, tangguh, beretika tinggi dan jujur, serta fun-fast dan untung.
Ekspansi
PT Astra International Tbk menyikapi beberapa perubahan dan tantangan global dengan tetap waspada dan berusaha menjadi yang terbaik dalam menjalankan usaha. Termasuk dalam hal merekrut tenaga kerja.
Head of Corporate Communications Astra Boy Kelana Soebroto menyebutkan, per Juni 2019, Astra memiliki 232 anak perusahaan, ventura bersama, serta entitas asosiasi yang didukung 255.523 karyawan. Dari jumlah itu, sekitar 70 persen karyawan merupakan generasi milenial.
Astra juga masuk ekosistem digital lewat PT Astra Digital Internasional (ADI) pada tahun 2018. ADI memperkenalkan empat platform digital, tiga di antaranya memberikan solusi mobilitas, yakni Cari Parkir, Sejalan, dan Movic.
”Satu platform lainnya, Seva.id, merupakan marketplace untuk memberikan pelayanan kepada pelanggan dalam kemudahan pembelian mobil,” ujar Boy.
Astra berinvestasi 250 juta dollar AS di Go-Jek melalui dua kali tahapan, yakni pada Februari 2018 sebesar 150 juta dollar AS dan 100 juta dollar AS pada Maret 2019. Menurut Boy, investasi tersebut sebagai komitmen untuk terus berkembang di era digital.
Astra dan Go-Jek membentuk perusahaan patungan PT Solusi Mobilitas Bangsa, kemudian meluncurkan solusi mobilitas roda empat, GoFleet pada Juli 2019.
Pada saat yang hampir bersamaan, Astra dan Go-Jek menggagas proyek percontohan penggunaan motor listrik Honda PCX Electric melalui aplikasi Go-Jek, khususnya layanan GoRide, guna mendorong gaya hidup ramah lingkungan.
Pada awal 2000-an, lebih dari 90 persen total laba bersih Astra disumbang oleh bisnis terkait otomotif. Namun, lebih dari 10 tahun terakhir, Astra mendiversifikasi portofolio bisnisnya. Diversifikasi portofolio bisnis ini untuk menyeimbangkan kontribusi laba bersih dan sekaligus mengurangi risiko volatilitas harga komoditas.
Kini, kontribusi bisnis terkait otomotif berkisar 60-65 persen dari total laba bersih Astra, yang berarti ada percepatan pertumbuhan laba bersih dari bisnis non-otomotif.
Baca juga: Perusahaan Mapan Menjawab Perubahan