Anies Dukung ”Jakarta International Literary Festival” Berlangsung Rutin
Festival literasi, yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki, ini penting bagi khazanah literasi budaya dan sastra di Jakarta dan mulai berlangsung pada Selasa (20/8/2019).
Oleh
Aditya Diveranta
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendukung kegiatan ”Jakarta International Literary Festival” agar berlangsung rutin setiap tahun. Festival literasi, yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki, ini penting bagi khazanah literasi budaya dan sastra di Jakarta dan mulai berlangsung pada Selasa (20/8/2019).
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyatakan dukungan itu dalam jamuan tamu Jakarta International Literary Festival (JILF) di Balai Kota, Jakarta, Senin (19/8/2019) malam. Festival literasi bertaraf internasional diharap dapat memperkenalkan para penulis lokal yang mengangkat dinamisnya kehidupan Ibu Kota.
”Indonesia memiliki lebih dari 700 bahasa tutur serta lebih dari 400 kelompok etnis, dinamika keragaman pasti terjadi, tidak terkecuali di Jakarta. Kami menyadari kegiatan ini penting untuk menjaga relasi antara penulis di Ibu Kota dengan berbagai negara,” ucap Anies, Senin malam.
Ketua Panitia JILF Yusi Avianto Pareanom mengatakan, festival ini menjadi helatan literasi internasional pertama yang mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
”Ini adalah langkah yang bagus. Kami masih berharap agar keterlibatan pemerintah pada tahun berikutnya jadi lebih intens,” kata Yusi.
Ia menambahkan, JILF tahun ini mencitrakan diri sebagai festival yang mempertemukan literatur Indonesia dengan wilayah Selatan Asia, Afrika, dan Amerika, khususnya Amerika Latin. Alasan pilihan ini karena Indonesia belum cukup mengenal literatur di wilayah Selatan.
”Kita selama ini mungkin lebih mengenal penulis dari Barat, yakni Eropa, Amerika, dan sebagainya. Memang bukan hal yang salah, karena industri perbukuan global sudah seperti itu. Maka itu, kami coba hadirkan literatur alternatif lainnya,” tutur Yusi.
Selain itu, tema JILF tahun ini adalah ”Pagar: Menafsir (Kembali) Batas”. Menurut Yusi, pagar memiliki dua sisi makna, yang bisa melindungi, tetapi juga berfungsi memberi sekat. Maka, JILF ini diharapkan sebagai platform untuk membuka sekat yang dimaksud.
Terbuka
Dari festival ini, Yusi juga berharap kemungkinan pasar produk literatur bagi setiap negara menjadi terbuka. Bahkan, mungkin saja sebuah karya bisa terkenal tanpa harus menunggu karya adaptasi terjemahannya masuk Indonesia.
JILF akan dihadiri 60 penulis dari 15 negara. Mereka berasal dari, antara lain, Botswana, Siprus, Mauritus, dan India. Yusi menjelaskan, selama 20-24 Agustus, festival yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki ini menghadirkan delapan simposium literatur, pembacaan karya, serta sejumlah pertunjukan musik.
”Saya pikir warga perlu datang karena acara ini gratis. Meski gratis, kami jamin kurasi penulisnya bukan asal-asalan,” tutur Yusi.