Diplomasi ekonomi tak hanya dilakukan dengan negara mitra tradisional, tetapi juga mitra-mitra baru, termasuk negara-negara Afrika. Ikatan politik Indonesia dengan Afrika sangat kuat sejak 1955.
Oleh
Retno LP Marsudi
·4 menit baca
Diplomasi ekonomi merupakan salah satu prioritas politik luar negeri Indonesia. Diplomasi ekonomi tak hanya dilakukan dengan negara mitra tradisional, tetapi juga mitra-mitra baru, termasuk negara-negara Afrika. Ikatan politik Indonesia dengan Afrika sangat kuat sejak 1955.
Ikatan kuat inilah yang ingin digunakan Indonesia untuk merajut kerja sama ekonomi dengan Afrika. Ini ditunjukkan, antara lain, melalui penyelenggaraan Indonesia-Africa Forum (IAF) pada 2018. Hasilnya tak mengecewakan.
Untuk menjaga kontinuitas, 20-21 Agustus 2019 akan diselenggarakan Indonesia-Africa Infrastructure Dialogue (IAID). Perhelatan ini dihadiri 233 peserta dari 47 negara Afrika, termasuk 10 pejabat setingkat menteri, dan 344 peserta dari Indonesia (termasuk 10 menteri). IAF jadi tonggak sejarah sekaligus ”eye-opener” bagi Indonesia. Tak hanya karena IAF forum ekonomi pertama RI-Afrika, tetapi juga karena besarnya potensi yang belum tergali di Afrika.
IAF sukses menghasilkan 10 kesepakatan bisnis Indonesia-Afrika senilai total 586,86 juta dollar AS. Di IAF pula terbentuk Satuan Tugas Infrastruktur untuk Afrika dan dimulainya pembicaraan pembentukan persetujuan Preferential Trade Agreement (PTA) dengan negara-negara Afrika, seperti Mozambik dan Tunisia.
Kedekatan historis dan politis yang diraih dari Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung selama ini belum diterjemahkan secara optimal ke dalam kerja sama ekonomi yang konkret dan saling menguntungkan kedua pihak.
IAF adalah awal yang tepat bagi kerja sama yang lebih konkret dan diplomasi ekonomi yang lebih intensif; pintu masuk kerja sama dengan kawasan berpenduduk 1,2 miliar lebih dan luas wilayah 30 juta kilometer persegi.
Mengapa infrastruktur?
Lima dari 10 kesepakatan bisnis yang ditandatangani merupakan kesepakatan di sektor kerja sama infrastruktur. Bagi Benua Afrika yang tengah giat membangun, kerja sama sektor infrastruktur memberikan efek berlipat (multiplier effects) yang paling besar, termasuk dalam penciptaan lapangan pekerjaan.
Pembangunan infrastruktur akan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, meningkatkan mobilitas perdagangan barang dan jasa di daerah-daerah terpencil, serta menarik arus investasi.
Data Global Infrastructure Outlook dari Global Infrastructure Hub menunjukkan kebutuhan investasi infrastruktur di Afrika pada 2016-2040 mencapai 6 triliun dollar AS atau setara 5,9 persen PDB. Sementara Indonesia diproyeksikan butuh investasi 1,7 triliun dollar AS dalam kurun tersebut.
Pembangunan infrastruktur juga salah satu fokus utama pemerintahan Jokowi. Hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur merupakan sektor penting Indonesia dan Afrika.
Dalam pidato mengenai Visi Indonesia pada 14 Juli 2019, Presiden Jokowi menekankan pembangunan infrastruktur merupakan tahapan besar pertama untuk menjadi negara yang lebih produktif dan berdaya saing. Infrastruktur seperti jalan tol dan kereta api diharapkan dapat tersambung dengan kawasan industri rakyat, ekonomi khusus, dan pariwisata.
Indonesia juga memiliki kemampuan menyediakan jasa infrastruktur di dalam dan di luar negeri. BUMN-BUMN Indonesia bukan hanya jago kandang. Beberapa di antaranya bahkan sudah menjalankan berbagai proyek infrastruktur di negara-negara Afrika, mulai dari jalan raya sampai perumahan rakyat.
Potensi keuntungan negara dari BUMN dan perusahaan swasta Indonesia yang telah dan akan go-international tak kalah dengan investasi asing (inbound investment) yang masuk ke Indonesia. Adalah sebuah keniscayaan, inbound investment tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan penguatan performa ekonomi Indonesia.
Dalam konteks ini, outbound investment atau penanaman investasi di luar negeri merupakan salah satu faktor pelipat ganda kekuatan ekonomi nasional Indonesia.
Untuk Indonesia, IAID forum untuk mengembangkan potensi optimal dari sektor outbound investment. Untuk Afrika, IAID salah satu solusi dalam membangun jaringan infrastruktur di kawasan. Bagi Indonesia dan Afrika, IAID pengejawantahan konkret kerja sama infrastruktur saling menguntungkan.
Konektivitas untuk kesejahteraan
Seperti IAF, IAD akan diawali pengumuman kesepakatan-kesepakatan dalam rentang waktu antara IAF 2018 dan IAID 2019, dilanjutkan dengan penandatanganan kesepakatan-kesepakatan bisnis. Juga akan dilangsungkan diskusi panel tentang isu-isu tematik terkait infrastruktur di bawah tema utama ”Connecting for Prosperity” atau ”Menghubungkan untuk Kesejahteraan”.
Isu yang dibahas meliputi industri strategis dan diplomasi ekonomi, konektivitas, infrastruktur sosial dan pariwisata, energi dan pertambangan, skema pembiayaan, perdagangan, serta kerja sama pembangunan.
Pada IAID juga akan diumumkan langkah-langkah strategis untuk memperkuat infrastruktur diplomasi Indonesia di Afrika. Salah satu langkah penting dengan peningkatan kehadiran/keterwakilan Indonesia di Afrika antara lain lewat penguatan misi diplomatik dan konsul kehormatan. Tak tertutup kemungkinan dibuka perwakilan diplomatik baru di Afrika.
Salah satu langkah penting dengan peningkatan kehadiran/keterwakilan Indonesia di Afrika antara lain lewat penguatan misi diplomatik dan konsul kehormatan.
Melalui PTA yang akan dijajaki dengan beberapa negara Afrika, diharapkan bisa dikurangi berbagai hambatan perdagangan dan mendongkrak volume perdagangan Indonesia-Afrika. Pembentukan PTA tak hanya didasarkan pertimbangan ekonomi murni semata, tetapi juga kepentingan politik-strategis Indonesia.
IAF dan IAID merupakan genderang pembuka, yang perlu diikuti kerja sama ekonomi konkret lain. IAID bukan hanya untuk menghubungkan ekonomi Indonesia dan negara-negara Afrika, melainkan juga menghubungkan kedua masyarakat dalam suatu tujuan kemakmuran bersama. Dalam hal ini, IAID contoh diplomasi konkret bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Indonesia ataupun negara-negara mitra.
IAID juga dapat jadi model bagi penguatan diplomasi ekonomi dengan pasar-pasar nontradisional lain, seperti Asia Selatan, Asia Tengah, Amerika Latin, dan Karibia, atau dengan Eropa Timur dan Tengah.
(RETNO LP MARSUDI, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia)