Warga Lansia Harus Bicara!
Salah satu hasil pencapaian ilmu pengetahuan modern yang paling kentara pada abad ke-21 adalah umur panjang. Hal itu tampak dari angka harapan hidup versi Bank Dunia yang selalu meningkat dari tahun ke tahun, dari 53 tahun pada 1960 menjadi 72 tahun pada 2015.
Salah satu hasil pencapaian ilmu pengetahuan modern yang paling kentara pada abad ke-21 adalah umur panjang. Hal itu tampak dari angka harapan hidup versi Bank Dunia yang selalu meningkat dari tahun ke tahun, dari 53 tahun pada 1960 menjadi 72 tahun pada 2015. Efek langsungnya, ditambah menurunnya angka kelahiran, adalah semakin banyak penduduk berusia lanjut dalam komposisi suatu masyarakat.
Di Indonesia, penduduk usia lanjut pada 2018 menempati 10 persen dari total penduduk. Angka tersebut diproyeksikan meningkat menjadi 11 persen pada 2020 dan mencapai 20 persen pada 2045 dari total penduduk.
Sebagai sebuah pencapaian, umur panjang dan kelanjutusiaan menjadi sebuah tonggak yang perlu disyukuri bersama sebagai sebuah bangsa. Selain itu, perubahan komposisi penduduk yang drastis ini menuntut suatu adaptasi dari segala kelompok umur untuk menghasilkan suatu strategi baru.
Penyusunan strategi baru tersebut perlu dimulai dengan mengubah paradigma tentang warga lansia bukan sebagai beban, melainkan sebagai peluang. Bahkan, diperlukan suatu redefinisi warga lansia sebagai suatu bangsa.
Perubahan paradigma warga lansia ini mendesak diupayakan bersama karena akan menentukan arah kebijakan dan program bagi mereka yang berusia lanjut. Ketika warga lansia dipandang sebagai beban, program dan kebijakan pemerintah yang muncul adalah program bantuan yang menempatkan warga lansia sebagai subyek lemah dan pasif.
Sebaliknya, memandang warga lansia sebagai peluang dan pencapaian, kebijakan dan program yang muncul akan lebih memberikan kesempatan bagi warga lansia untuk menyuarakan diri dan berkontribusi bagi masyarakat.
Paradigma warga lansia Indonesia
Di Indonesia, warga lansia secara umum masih dipandang sebagai obyek rentan sehingga perlu lebih banyak mendapat bantuan. Hal itu dapat dilihat dari berbagai kebijakan yang muncul terhadap warga lansia sejak 1965 hingga 2018. Dari kebijakan yang dibuat, dapat ditarik paradigma warga lansia yang digunakan.
Payung hukum terhadap warga lansia paling awal dapat dilihat dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1965. Dalam undang-undang tersebut, warga lansia digambarkan sebagai manusia yang tidak berdaya dan butuh bantuan.
Ketika warga lansia dipandang sebagai beban, program dan kebijakan pemerintah yang muncul adalah program bantuan yang menempatkan warga lansia sebagai subyek lemah dan pasif.
Dengan demikian, pemerintah berperan sebagai penolong yang memberikan bantuan terhadap warga lansia berupa tunjangan dan perawatan. Tak heran, undang-undang tersebut berjudul Pemberian Bantuan Penghidupan Orang Jompo.
Gambaran terhadap warga lansia tersebut telah berubah di akhir Orde Baru dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Lansia digambarkan sebagai ”Walaupun banyak di antara lanjut usia yang masih produktif dan mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, namun karena faktor usianya akan banyak menghadapi keterbatasan sehingga memerlukan bantuan peningkatan kesejahteraan sosialnya.”
Selain dibatasi oleh umur, 60 tahun, konsep tentang warga lansia dalam UU tersebut juga membedakan antara warga lansia potensial dan warga lansia tidak potensial atas dasar kemampuan melakukan pekerjaan. Konsep warga lansia dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tersebut telah menempatkan warga lansia secara lebih positif. Oleh karena itu, kebijakan dalam rangka pemeliharaan sosial lansia lebih bernuansa memberdayakan.
Terdapat tujuh rencana kegiatan bagi kesejahteraan warga lansia, meliputi pelayanan keagamaan dan mental spiritual; pelayanan kesehatan; pelayanan kesempatan kerja; pelayanan pendidikan dan pelatihan; pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum; pemberian kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum; serta bantuan sosial.
Dari tujuh hal tersebut, hanya satu hal yang bernuansa bantuan, yakni bantuan sosial. Akan tetapi, sifat bantuan sosial dalam UU tersebut juga tidak tetap serta lebih mendorong tumbuhnya kemandirian.
Rembuk Nasional Lansia
Dua UU di atas menunjukkan konsep yang berbeda tentang warga lansia sehingga menghasilkan kebijakan yang juga berbeda. Konsep warga lansia menjadi lebih positif pasca-UU buatan tahun 1998 tersebut. Setelah 20 tahun, ketika lonjakan warga lansia menjadi situasi tak terbantahkan di dasawarsa ini, yang diperlukan adalah pendefinisian kembali warga lansia oleh bangsa ini.
Redefinisi kembali ini berbeda dengan pembentukan kembali UU ataupun aturan karena sudah banyak aturan tentang lansia, bahkan dengan paradigma warga lansia yang lebih positif. Sayup-sayup terdengar bahwa pada 2017, pemerintah telah menyiapkan Strategi Nasional Kelanjutusiaan 2018-2025 untuk mewujudkan warga lansia mandiri, sejahtera, dan bermartabat.
Strategi tersebut mencakup lima hal, yaitu pembangunan masyarakat dan sumber daya manusia kelanjutusiaan; penguatan institusi kelanjutusiaan; peningkatan perlindungan sosial, jaminan pendapatan, dan kapasitas individu; peningkatan derajat kesehatan lansia; serta pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan terhadap hak warga lansia (Kompas, 4 Oktober 2017).
Secara positif, strategi di atas menunjukkan antisipasi pemerintah terhadap lonjakan jumlah warga lansia di Indonesia. Akan tetapi, hingga saat ini, gaung dari strategi tersebut belum terdengar. Oleh karena itu, kesadaran bangsa terhadap perubahan komposisi penduduk lansia perlu kembali digaungkan.
Suatu rembuk lansia secara nasional perlu difasilitasi agar kesadaran melonjaknya jumlah warga lansia menjadi kesadaran bersama. Dari rembuk lansia nasional tersebut baru dapat disusun rencana aksi yang lebih konkret.
Rembuk bersama secara nasional ini diperlukan karena yang mengalami perubahan komposisi lonjakan warga lansia adalah seluruh Indonesia. Oleh karena itu, bangsa Indonesia-lah yang perlu mendefinisikan kembali dirinya sebagai bangsa yang saat ini dan dalam masa-masa berikutnya akan banyak berisi warga lanjut usia.
Dalam rembuk nasional tersebut, lansia harus menyuarakan keinginan dan harapan mereka. Contoh keberhasilan pelaksanaan rembuk semacam ini dapat dilihat dari Singapura.
Usia perak
Singapura mulai mendefinisikan ulang cara pandangnya terhadap warga lansia pada 2014-2015. Singapura ingin menegaskan konsep bahwa usia tua dan panjang umur merupakan sebuah peluang yang dapat digunakan untuk berbagai hal (longevity is opportunity).
Usaha tersebut dilakukan bertepatan dengan peringatan masuknya generasi baby boomers terakhir pada kelompok usia 60 tahun (1955-2015). Pada 2015, dengan populasi 5,5 juta, satu dari delapan penduduk Singapura merupakan warga lansia. Jumlah tersebut naik drastis jika dibandingkan pada 1971 ketika satu dari 31 penduduk Singapura adalah warga lansia. Diproyeksikan, pada 2030, satu dari empat penduduk Singapura adalah warga lansia.
Dengan kesadaran tersebut, Pemerintah Singapura mulai menata ulang konsep mereka terhadap lansia. Langkah tersebut dimulai dengan menggunakan bahasa-bahasa yang lebih positif terhadap lansia, mulai dari istilah ”usia perak (silver age)” ”menjadi tua dengan percaya diri” ”setiap warga Singapura mendapat kesempatan yang sama dari segala jenjang umur”, ”menjadikan Singapura sebagai kota dan kampung bagi segala usia”, ”Singapura adalah bangsa bagi semua usia”, hingga slogan I feel young in my Singapore.
Redefinisi ketuaan yang menjadi fakta yang dialami bersama sebagai bangsa tersebut melibatkan seluruh kalangan di Singapura, melibatkan 4.000 orang dari berbagai kalangan, 50 kali diskusi kelompok terfokus (FGD), pengumpulan pendapat di berbagai tempat umum, seperti mal, perpustakaan, ataupun universitas, hingga membuka konsultasi daring. Intinya, Pemerintah Singapura ingin benar-benar mendengarkan aspirasi warganya untuk menata ulang bangsanya agar ramah bagi semua usia, terutama bagi warga lansia.
Dialog
Kegiatan bersama sebagai bangsa tersebut dilakukan secara terstruktur dengan membahas topik yang telah ditentukan sebelumnya. Pemerintah Singapura ingin mengetahui pendapat warganya menyangkut lansia dalam hubungannya dengan ketenagakerjaan, belajar sepanjang hayat, volunterisme lansia, kesehatan dan kesejahteraan, keterlibatan sosial, layanan perawatan lansia, perumahan, transportasi, fasilitas umum, dan riset terhadap penuaan.
Dari berbagai topik tersebut kemudian diketahui terutama hal yang diinginkan oleh lansia bagi dirinya sendiri. Dari sanalah disusun rencana aksi (action plan) yang selaras dengan tujuan menua dengan sukses dengan target-target yang jelas terhadap 10 topik yang didiskusikan.
Misalkan, untuk tema ketenagakerjaan, usia pensiun akan dinaikkan dari 65 menjadi 67 tahun mulai 2017. Hal ini mengakomodasi keinginan warga lansia bahwa mereka ingin terus bekerja melampaui usia resmi pensiun.
Contoh lain menyangkut topik transportasi. Sebagai tindakan nyata dan terukur, hingga akhir 2020 akan diwujudkan 35 jalur angkutan bagi mereka yang berusia perak.
Kesepuluh topik yang kemudian diturunkan menjadi rencana aksi tersebut masing-masing dimasukkan dalam tiga visi yang juga ditemukan dalam bersama. Ketiga visi tersebut meliputi kesempatan yang sama bagi seluruh kelompok umur, kampung yang ramah bagi semua kelompok umur, serta kota yang ramah bagi semua umur.
Secara nasional, Singapura telah berhasil meredefinisi lansia bagi mereka. Dengan demikian, panen warga lansia di Singapura telah menjadi kesadaran bangsa. Kesadaran tersebut menjadi pedoman bagi semua kalangan untuk mewujudkan masa depan bersama Singapura yang ramah bagi semua kelompok umur.
Suara warga lansia
Perubahan komposisi golongan penduduk Indonesia perlu menjadi kesadaran bersama. Langkah lanjut dan inisiatif pemerintah menyambut lonjakan jumlah warga lansia ini patut dinantikan bersama. Belajar dari negara tetangga, yang lebih penting pertama-tama adalah membiarkan para warga lansia bersuara tentang diri mereka.
Dengan cara ini, bangsa Indonesia lebih menghargai mereka yang lanjut usia alih-alih menjadikan mereka sebagai obyek belas kasihan. Dari sana dapat disusun visi dan rencana aksi menyambut lonjakan jumlah warga lansia yang semakin besar.
Sambil menanti pemerintah mendengarkan para warga lansia dalam suatu rembuk nasional lansia, para warga lansia dapat mengungkapkan harapan-harapan mereka dan sebagai warga lansia Indonesia yang sehat, aktif, dan bahagia melalui berbagai saluran yang tersedia.
Pastilah pemerintah akan mendengar suara warga lansia. Jangan lupa, separuh atau 18 menteri dan pejabat setingkat menteri, termasuk wakil presiden, di Kabinet Presiden Joko Widodo saat ini dapat dimasukkan ke dalam kelompok lansia. (LITBANG KOMPAS)