Memperkuat Daya Saing Warga Lansia
Datangnya era struktur penduduk menua membuat perhatian terhadap lansia bukan lagi sekadar hal penting, tetapi sudah mendesak. Mengubah cara pandang terhadap lansia dari beban menjadi kesempatan jadi peluang meraup manfaat dari “bonus demografi” lansia.
Sebagai negara yang sedang menikmati bonus demografi penduduk usia kerja hingga akhir 2020, Indonesia akan segera menghadapi bayang-bayang membesarnya jumlah warga negara usia tua di tahun-tahun berikutnya.
Pada tahun 2018, terdapat hampir 10 persen penduduk lanjut usia (lansia) dari total seluruh penduduk Indonesia. Angka tersebut diproyeksikan akan mencapai 20 persen pada tahun 2045. Proporsi tersebut jauh di atas angka tujuh persen jumlah lansia sebagai proporsi ideal bagi sebuah negara. Artinya, Indonesia sudah layak untuk disebut sebagai negara dengan struktur penduduk menua (ageing population).
Lonjakan lansia tentu diikuti meningkatnya rasio ketergantungan, yaitu proporsi penduduk yang bekerja membiayai penduduk yang tidak bekerja. Semakin tinggi angka rasio ketergantungan, berarti semakin besar beban penduduk usia kerja (15-64 tahun) untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif (0-14 tahun) dan sudah tidak produktif (di atas 65 tahun).
Pada tahun 2018, rasio ketergantungan lansia di Indonesia berada di angka 14,49 persen. Artinya, dari 100 orang penduduk usia kerja harus menanggung 14-15 orang lansia. Nilai tersebut meningkat dari lima tahun sebelumnya ketika dari 100 orang penduduk usia kerja “hanya” menanggung 13 orang lansia.
Asumsi yang dibangun oleh rasio ketergantungan ini berdampak pada cara pandang terhadap lansia. Pertama, bagaimana agar lansia tidak sekadar menjadi “beban” dari kelompok produktif. Kedua, upaya apa yang harus dilakukan agar lansia memiliki peluang untuk produktif? Bagaimana sebenarnya profil produktivitas lansia Indonesia 2018?
Lansia produktif
Produktivitas lansia di Indonesia dapat dilihat dari dua hal, aktivitas dan produk yang dihasilkan oleh mereka yang berumur lebih dari 60 tahun. Dari Statistik Penduduk Lanjut Usia 2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), diketahui bahwa dari 100 lansia, sebanyak 50 lansia masih bekerja dengan persentase 49,79 persen. Persentase tersebut naik dari tahun-tahun sebelumnya.
Apabila diperdalam, lansia yang bekerja didominasi oleh mereka yang bekerja dengan dibantu buruh (39,07 persen), bekerja sendiri (28,16 persen), pekerja keluarga yang tidak dibayar (12,26 persen), buruh/karyawan (10,54 persen), dan pekerja bebas (9,97 persen).
Dari penggolongan tersebut, status pekerjaan berusaha sendiri, pekerja keluarga tidak dibayar, serta pekerja bebas merupakan pekerjaan yang rentan (vulnerable employment) karena cenderung tidak formal, tidak memiliki jaminan sosial, serta lebih berisiko bangkrut. Artinya, sebesar 50,39 persen lansia itu bekerja berada dalam pekerjaan yang rentan terhadap jaminan sosial serta lebih berisiko bangkrut.
Apabila diperdalam, lansia yang bekerja didominasi oleh mereka yang bekerja dengan dibantu buruh (39,07 persen), diikuti mereka yang bekerja sendiri (28,16 persen), pekerja keluarga yang tidak dibayar (12,26 persen), buruh/karyawan (10,54 persen), dan pekerja bebas (9,97 persen).
Dari sisi sebaran tempat tinggal, lansia yang bekerja kebanyakan adalah mereka yang tinggal di pedesaan. Selain itu, mereka yang masih bekerja kebanyakan adalah lansia laki-laki (65,19 persen) daripada lansia perempuan (35,80 persen).
Sebaran tempat tinggal berbanding lurus dengan sebaran sektor pekerjaan lansia yang masih bekerja. Lansia yang masih bekerja kebanyakan bekerja di sektor pertanian (54,23 persen), jasa (31,01 persen), dan industri (14,77 persen).
Dari data-data tersebut, terlihat bahwa separuh dari jumlah lansia masih produktif. Akan tetapi, pekerjaan yang mereka jalani merupakan pekerjaan yang rentan dan kebanyakan bekerja di sektor pertanian di perdesaan.
Lansia mandiri
Kemandirian lansia, kesehatan, dan produktivitasnya, dapat dilihat sebagai elemen-elemen penentu daya saing lansia. Elemen lainnya adalah pendidikan, finansial, maupun sosial.
Dari hasil Susenas 2018, ternyata angka melek huruf lansia cenderung stagnan dalam lima tahun terakhir di angka 78 persen. Artinya, belum semua lansia dapat membaca dan menulis.
Dari sisi pendidikan yang ditamatkan, kebanyakan lansia berpendidikan rendah bahkan sepertiga di antaranya (34,68 persen) tidak tamat SD. Sisanya berpendidikan SD atau sederajat (29,08 persen), tidak sekolah (17,47 persen).
Proporsi lansia yang berpendidikan SMA dan perguruan tinggi hanya berkisar 10 persen. Dengan modal pendidikan yang rendah, daya saing lansia menjadi lebih rendah dibandingkan kelompok usia lain.
Sementara itu, kemandirian dapat dilihat antara lain dari sisi pendapatan, pengeluaran, maupun kepemilikan. Dari sisi pendapatan, pada 2018, para lansia yang bekerja kebanyakan menerima gaji kurang dari Rp 1 juta (48,32 persen) dan yang menerima gaji Rp 3 juta atau lebih per bulan hanya 10,81 persen.
Sebagai perbandingan, UMR terendah di Indonesia berada di kisaran Rp 1,5 juta. Artinya, pendapatan kebanyakan lansia berada di angka yang masih kurang untuk menunjang kemandirian mereka.
Rendahnya pendapatan yang diperoleh lansia menyebabkan juga ketergantungan mereka lebih besar terhadap anggota keluarga yang lain. Hal ini tampak dari sisi pembiayaan terbesar rumah tangga lansia pada 2018.
Pembiayaan rumah tangga lansia lebih banyak didukung oleh anggota rumah tangga yang bekerja (78,39 persen), dari kiriman (14,50 persen), dari uang pensiun (6,48 persen), dan investasi (0,62 persen).
Modal kepemilikan
Satu-satunya modal yang lebih positif dari segi kepemilikan modal, hanya kepemilikan rumah tinggal. Tahun 2018, hampir seluruh lansia (92,54 persen) tinggal di rumah sendiri, bukan rumah sendiri bebas sewa (5,07 persen), kontrakan sewa (1,95 persen), rumah dinas (0,23 persen). Hanya di aspek inilah sedikit mengurangi ketergantungan lansia terhadap kelompok umur lain.
Modal lain lansia untuk menopang kemandirian adalah jaminan-jaminan sosial (pensiun, hari tua, kecelakaan kerja, kematian, pesangon). Dari berbagai jaminan sosial tersebut, hanya 13 dari 100 rumah tangga lansia yang memiliki jaminan sosial (13,36 persen).
Artinya, kebanyakan lansia tidak memiliki jaminan sosial di masa tuanya. Hal ini mengurangi daya saing lansia sekaligus meningkatkan ketergantungan lansia.
Kebanyakan lansia tidak memiliki jaminan sosial di masa tuanya. Hal ini mengurangi daya saing lansia sekaligus meningkatkan ketergantungan lansia.
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan terkait kelanjutusiaan pasca Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Selain dari pemerintah, muncul juga inisiatif dari masyarakat umum.
Melihat profil lansia Indonesia 2018 tak terhindarkan muncul profil lansia yang belum berdaya saing. Berbagai kebijakan pemerintah perlu dievaluasi kembali agar lebih peka kebutuhan-kebutuhan spesifik lansia.
Suara mereka juga perlu didengarkan untuk mendefinisikan dirinya sendiri. Dari sana akan muncul paradigma baru tentang lansia yang perlu didukung oleh seluruh bangsa. Dengan demikian, kelanjutusiaan dapat dilihat sebagai peluang bagi bangsa ketimbang semata sebagai beban. (LITBANG KOMPAS)