Catatan Kompas, ada 278 daerah dari total 548 daerah yang kepala/wakil kepala daerahnya berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023. Sementara mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), pilkada di ratusan daerah itu baru akan digelar pada 2024.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jelang Pemilihan Kepala Daerah 2024, separuh lebih pemerintah daerah tidak akan dipimpin oleh kepala/wakil kepala daerah definitif. Sebab, masa jabatan mereka berakhir jauh sebelum pemilihan digelar.
Untuk mengisi posisi mereka, akan ditempatkan penjabat kepala daerah. Kementerian Dalam Negeri mulai memetakan kebutuhan aparatur sipil negara untuk mengisi jabatan tersebut. Tak hanya itu, pemerintah juga diminta memastikan jalannya pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik tidak terganggu sekalipun pemerintah daerah (pemda) hanya dipimpin penjabat.
Berdasarkan catatan Kompas, ada 278 daerah dari total 548 daerah yang kepala/wakil kepala daerahnya berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023. Sementara mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), pilkada di ratusan daerah itu baru akan digelar pada 2024.
Ini karena pembentuk undang-undang ingin pilkada di seluruh daerah diserentakkan dengan Pemilu Presiden dan Legislatif 2024.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik di Jakarta, Rabu (21/8/2019), menjelaskan, saat ini pihaknya tengah memetakan kebutuhan aparatur sipil negara untuk mengisi posisi penjabat kepala daerah.
”Kami masih memetakan penunjukan penjabat yang akan ditempatkan di daerah-daerah. Penentuan itu didasarkan pada kebutuhan daerah,” ujar Akmal.
Berdasarkan Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, penjabat merupakan pejabat pengganti gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota yang masa jabatannya sudah habis. Penjabat diisi oleh aparatur sipil negara yang menduduki jabatan pimpinan tinggi madya, baik di level pemerintah pusat maupun provinsi. Masa jabatan penjabat ini hingga pelantikan kepala/wakil kepala daerah yang baru.
Penjabat, menurut Akmal, merupakan hasil dari proses administratif sehingga mereka tidak memiliki kewenangan penuh seperti kepala daerah yang dipilih melalui proses politik. Mereka tidak bisa mengambil sejumlah kebijakan strategis tanpa persetujuan penanggung jawab akhir yang mengangkat mereka.
Untuk penjabat gubernur, diangkat oleh presiden, sedangkan level kabupaten/kota diangkat oleh menteri dalam negeri.
Akmal mencontohkan, penjabat harus meminta persetujuan untuk memutasi pegawai negeri sipil, menandatangani peraturan daerah yang mengikat ke masyarakat, dan mengesahkan APBD.
Oleh karena itu, saat ini Kemendagri mengkaji pula kemungkinan penjabat tetap bisa mengambil langsung kebijakan-kebijakan strategis. ”Sedang kami pertimbangkan,” kata Akmal.
Persiapan matang
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Golkar Zainudin Amali mengingatkan, kondisi pada pemerintahan daerah menjelang Pilkada 2024 harus dipersiapkan dengan matang. Menurut dia, pemerintahan yang dipimpin penjabat berpotensi menimbulkan kerawanan karena tak bisa membuat sejumlah kebijakan strategis.
”Bayangkan saja, bagaimana kalau sebuah daerah tidak memiliki kebijakan strategis dalam waktu dua tahun?” ujarnya.
Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan jalannya pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik tidak terganggu sekalipun pemerintah daerah (pemda) hanya dipimpin penjabat.
Menurut anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Arif Wibowo, pekerjaan rumah lain Kemendagri adalah memastikan aparatur sipil negara yang ditunjuk menjadi penjabat tetap obyektif, netral, dan menjalankan pemerintahan sesuai peraturan perundang-undangan.
Penjabat pengganti yang memiliki kewenangan untuk mengalokasikan dan menggunakan APBD harus dipastikan tidak menggunakannya pada aktivitas yang berdampak politis pada salah satu calon kepala/wakil kepala daerah.
”Sejak saat ini, pemerintah harus mempersiapkan sebaik mungkin terutama soal kapasitas dan kapabilitas calon penjabat,” kata Arif.
Pengarahan dan sosialisasi tentang tugas, fungsi, peran, dan tanggung jawab kepala daerah sangat penting dipahami penjabat. Sebab, belum semua pimpinan tinggi madya memiliki kemampuan mumpuni dalam memerintah daerah.
Menurut Arif, pemahaman yang harus dikuasai para penjabat meliputi dua hal. Pertama, terkait pelaksanaan pemerintahan daerah yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, mereka juga harus memahami situasi politik.
”Pemahaman kondisi politik penting agar tidak ada kesalahan dalam mengambil keputusan, tetap bijak, dan sesuai peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
Pilkada 2020
Sementara itu, saat diskusi kelompok terarah tentang regulasi Pilkada 2020 dan Pemilu Serentak 2024, di Surabaya, Selasa (20/8/2019), Akmal Malik mengingatkan, sesuai UU Pilkada, masa jabatan kepala/wakil kepala daerah yang terpilih pada Pilkada 2020 di 270 daerah maksimal 4 tahun. Bahkan, ada pula yang masa jabatannya hanya 3,5 tahun.
Ini juga konsekuensi dari penyelenggaraan pemilu serentak, termasuk pilkada di dalamnya, pada 2024. Maka pada 270 daerah tersebut, masyarakat akan kembali memilih kepala/wakil kepala daerah pada 2024.
”Masa jabatan yang relatif singkat ini perlu disosialisasikan agar dilakukan berbagai antisipasi sehingga tidak timbul masalah di masa mendatang,” katanya.
Untuk mereka yang masa jabatannya tidak penuh atau tidak lima tahun, UU Pilkada juga sudah mengaturnya. Mereka bakal diberikan kompensasi.
”Soal masa jabatan hanya empat tahun ataupun kurang dari empat tahun ini merupakan konsekuensi yang harus ditanggung bersama karena regulasi yang berlaku memang seperti itu,” tambahnya.