Kartunis ”Panji Koming”, Dwi Koendoro Brotoatmojo (78), meninggal di Tangerang Selatan, pukul 03.14, Kamis (22/8/2019). Jenazah dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta, Kamis sore.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·2 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Kartunis ”Panji Koming”, Dwi Koendoro Brotoatmojo (78), meninggal di Tangerang Selatan, pukul 03.14, Kamis (22/8/2019). Jenazah dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta, Kamis sore. ”Panji Koming”, warisan dari Dwi Koendoro, menjadi media kritik yang masih relevan hingga sekarang.
Dwi yang akrab dipanggil Dwi Koen merupakan kartunis yang karyanya dimuat di harian Kompas sejak 1978. Ia lahir di Banjar pada 13 Mei 1941.
Ia meninggal karena sakit strok yang diderita sejak 2011. Kondisi Dwi menurun hingga dibawa ke Rumah Sakit Premier Bintaro, Tangerang, Rabu (21/8/2019).
”Bapak pertama kali kena strok pada 2011. Walaupun begitu, bapak terlihat mau berusaha untuk sembuh,” kata anak pertama Dwi, Pinot W Ichwandardi (49).
Dalam keadaan sakit, Dwi tetap konsisten berkarya dan menuangkan gagasan untuk komiknya. Ia dibantu oleh istrinya, Churiyah, dan dibantu pula oleh anak-anak serta asistennya.
Pinot mengatakan, Panji Koming telah menjadi karya kolektif keluarga tanpa mendegradasi roh komik tersebut. Semua pihak yang terlibat dalam pembuatan komik telah paham benar keinginan Dwi dalam berkarya. Dwi pun kerap terlibat dalam perumusan detail komik, misalnya raut wajah para tokoh komik.
Panji Koming
Panji Koming merupakan komik strip yang mengisahkan si tokoh utama, Panji Koming beserta para sahabat dan tokoh lainnya. Koming merupakan akronim dari Kompas Minggu. Selain itu, koming juga bisa diartikan sebagai bingung atau gila.
Komik ini bercerita tentang kehidupan masyarakat pada zaman Majapahit. Selain Panji Koming, ada pula beberapa tokoh lain, seperti Pailul, Denmas Aryakendor, Nimas Dyah Gembil, dan Ni Woro Ciblon. Para tokoh menggambarkan dikotomi kelas masyarakat kala itu, yakni rakyat jelata dan para penguasa.
Selain berkisah soal kehidupan sehari-hari, Panji Koming juga menjadi media kritik terhadap pemerintah, ataupun fenomena kehidupan.
”Kondisi Majapahit pada zaman dulu tidak jauh berbeda dengan kondisi politik (pada masa Panji Koming diciptakan). Komik ini juga menggambarkan zaman sekarang,” kata anak kedua Dwi, Waluyo Ichwandiardono (48).
Tokoh Denmas Aryakendor, menurut Waluyo, menggambarkan sosok pejabat yang memiliki kepentingan. Ia juga digambarkan sebagai sosok yang korup, bermulut besar, dan melakukan pencitraan. Adapun sosok rakyat jelata, seperti Pailul, yang digambarkan sebagai sosok yang vokal dan kritis.
Menurut Waluyo, komik ini menggambarkan pula kesenjangan kelas sosial di masyarakat.
Pinot menambahkan, Panji Koming menjadi media kritik yang masih relevan hingga sekarang.
”Dulu, kami harus hati-hati agar kritik itu tidak menyinggung pemerintah Orde Baru. Pada masa sekarang, kami harus berhati-hati agar tidak menyinggung warganet. Zamannya sudah berubah,” kata Pinot.