Keputusan pemerintah membatasi dan kemudian memblokir akses layanan data telekomunikasi di Provinsi Papua dan Papua Barat sangat merugikan kepentingan masyarakat setempat.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan pemerintah membatasi dan kemudian memblokir akses layanan data telekomunikasi di Provinsi Papua dan Papua Barat sangat merugikan kepentingan masyarakat setempat. Sejumlah pihak memprotes kebijakan tersebut.
Sejak Senin (19/7/2019), Kementerian Komunikasi dan Informatika melakukan throttling atau pelambatan akses internet untuk mencegah penyebaran hoax yang diperkirakan kian memicu aksi yang terjadi di sana. Bahkan, dengan alasan untuk mempercepat proses pemulihan situasi keamanan dan ketertiban di Papua dan Papua Barat, Kementerian Kominfo memblokir sementara layanan data telekomunikasi, mulai Rabu (21/8) hingga suasana di sana kembali kondusif dan normal.
”Sejauh ini Kementerian Kominfo sudah mengidentifikasi 2 (dua) hoaks yang tersebar melalui media sosial dan pesan instan, yakni hoaks ’Foto Mahasiswa Papua Tewas Dipukul Aparat di Surabaya’ dan hoaks yang menyebutkan bahwa ’Polres Surabaya Menculik Dua Orang Pengantar Makanan untuk Mahasiswa Papua’,” kata Ferdinandus Setu, Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo, Rabu (21/8/2019), dalam siaran pers.
Menyikapi hal ini, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto mengatakan, pembatasan dan pemblokiran akses layanan data telekomunikasi menyebabkan masyarakat Papua dan Papua Barat terhambat untuk mengabarkan situasi keselamatan dirinya dan kesusahan mendapatkan informasi.
Pembatasan dan pemblokiran akses layanan data telekomunikasi menyebabkan masyarakat Papua dan Papua Barat terhambat untuk mengabarkan situasi keselamatan dirinya dan kesusahan mendapatkan informasi.
Pembatasan dan pemblokiran juga mengganggu perputaran roda perekonomian, menghambat proses belajar-mengajar masyarakat yang mengandalkan internet untuk memperoleh ilmu, menghambat komunikasi untuk kepentingan medis antara dokter, rumah sakit dan pasien, mempersulit jurnalis menginformasikan fakta di lapangan, serta membatasi ekspresi masyarakat yang ingin menyampaikan pendapatnya atas situasi yang ada.
“Menyikapi hal ini, SAFEnet sebagai organisasi yang memperjuangkan hak-hak digital di Asia Tenggara mengeluarkan petisi online (daring) ‘Nyalakan Lagi Internet di Papua dan Papua Barat’ lewat platform daring change.org. Petisi ini menuntut pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden Joko Widodo, Menkopolhukam Wiranto, Menkominfo Rudiantara, untuk segera menyalakan kembali jaringan internet di Papua dan Papua Barat karena pemblokiran dan pembatasan akses informasi ini melanggar hak digital, terutama hak warga negara untuk dapat mengakses informasi, yang sebenarnya dilindungi oleh pasal 19 ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik),” ujar Damar, Kamis (22/8/2019).
Kesewenang-wenangan
Seruan menyikapi pembatasan dan pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat juga disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara. Menurutnya, pembatasan dan pemblokiran akses layanan data telekomunikasi adalah bentuk pembatasan Hak Asasi Manusia yang seharusnya dilakukan berdasar pada batas-batas kondisi yang telah ditetapkan UUD 1945 dan komentar umum Nomor 29 terhadap Pasal 4 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
“Ada dua kondisi mendasar harus dipenuhi untuk dapat membatasi hak asasi manusia, yaitu: pertama, situasi sebagai latar belakang pemblokiran harus berupa keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa, dan kedua, Presiden harus menetapkan secara resmi bahwa negara dalam keadaan darurat melalui Keputusan Presiden sebagai dasar pembatasan layanan telekomunikasi tersebut,” kata Anggara.
Karena itulah, ICJR memandang bahwa tindakan-tindakan pembatasan, bahkan pemblokiran akses layanan telekomunikasi di Papua dan Papua Barat sebagai tindakan sewenang-wenang. Kebijakan ini pun tidak sesuai dengan kewenangan Pemerintah dalam Pasal 40 UU ITE bahwa pemerintah berwenang melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
ICJR memandang bahwa tindakan-tindakan pembatasan, bahkan pemblokiran akses layanan telekomunikasi di Papua dan Papua Barat sebagai tindakan sewenang-wenang.
UU ITE menyatakan bahwa pencegahan penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dapat dibatasi oleh pemerintah hanya untuk konten-konten dengan muatan yang dilarang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, pemutusan akses hanya dapat dilakukan kepada muatan yang melanggar UU, bukan layanan aksesnya secara keseluruhan karena pembatasan layanan data komunikasi secara keseluruhan dapat merugikan kepentingan yang lebih luas.
Kecaman juga disampaikan Aliansi Jurnalis Independen. Menurut Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Sasmito Madrim, pelambatan akses internet di Papua dan Papua Barat tidak sesuai dengan semangat Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta Pasal 19 Deklarasi Umum HAM yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi.
“AJI meminta pemerintah menghormati hak publik untuk memperoleh informasi. Meskipun langkah ini dimaksudkan untuk mencegah hoaks, namun di sisi lain, pelambatan ini juga menghambat akses masyarakat di Papua dan Papua Barat dalam mencari informasi yang benar. Pelambatan juga membuat publik kesulitan saling bertukar kabar dengan kerabat dan keluarga, serta menghambat kerja jurnalis dan pemantau HAM dalam melakukan pemantauan peristiwa di sana,” ucapnya.