Rumah Nomor 108
Perkara nomor rumah mengantar Pak RT dan Pak Wiratno, salah satu sesepuh Kampung Telaga, mengetuk pintu rumahku. Istriku tergopoh-gopoh menyambut kedatangan mereka. Raut wajah istriku menyiratkan tanda tanya: Ada urusan penting apa hingga kedua tokoh Kampung Telaga bertamu ke rumah kami.
Kompas/Cahyo Heryunanto
Perkara nomor rumah mengantar Pak RT dan Pak Wiratno, salah satu sesepuh Kampung Telaga, mengetuk pintu rumahku. Istriku tergopoh-gopoh menyambut kedatangan mereka. Raut wajah istriku menyiratkan tanda tanya: Ada urusan penting apa hingga kedua tokoh Kampung Telaga bertamu ke rumah kami.
Sebenarnya aku sudah menerka maksud kedatangan keduanya, karena beberapa hari sebelumnya Pak RT membisikkan pesan: Pak Wiratno akan datang ke rumah Mas Bram untuk membicarakan masalah nomor rumah. Aku kira pesan itu sekadar basa-basi, karena sudah tak ada lagi yang perlu dibicarakan.
”Enggak perlu repot-repot ke rumah Pak. Saya sudah paham dan bisa menerima kemauan Pak Wiratno,” jawabku waktu itu. Nampaknya jawabku itu tak cukup meyakinkan Pak Wiratno, sehingga perlu bertamu ke rumahku. Aku jadi bertanya-tanya, apa pentingnya nomor rumah itu hingga tokoh masyarakat sekaliber Pak Wiratno perlu berkunjung rumahku.
Rencana pemekaran wilayah RT 04 RW 06 Kampung Telaga menjadi awal mula masalah nomor rumah. Jumlah kepala keluarga yang tinggal di RT 04 meningkat pesat, memunculkan opsi pemekaran lingkungan. Alasan lain yang hanya menjadi kasak-kusuk, ada ketidakpuasan beberapa warga yang menilai perhatian pengurus lingkungan tidak merata. Melalui musyawarah warga yang cukup alot, opsi pemekaran lingkungan disetujui: RT 04 RW 06 Kampung Telaga akan dipecah menjadi RT 04 dan lingkungan baru yaitu RT 09.
Masalah pemekaran wilayah memang tak serumit pemindahan ibu kota yang diperhitungkan bisa menelan anggaran di atas Rp 450 triliun, tapi dampaknya cukup meresahkan terutama masalah administratif. Penduduk yang akan menjadi warga RT 09 RW 06 harus mengubah alamat di KTP, KK, nomor rumah, dan lain-lain. Membayangkan harus menghadapi panjangnya birokrasi untuk mengurus data administrasi menjadi momok tersendiri bagi warga di negara berkembang ini.
Untungnya, saat pembagian wilayah, rumahku dan termasuk rumah Pak Wiratno masuk wilayah RT lama, jadi tidak ada perubahan alamat rumah. Hanya saja, penomoran rumah harus diatur kembali. Rapat penyesuaian nomor rumah menyepakati: urutan nomor rumah dimulai dari rumah-rumah yang ada di dekat jalan raya.
Pak Wiratno yang rumahnya mendapat nomor baru yaitu 17, merasa keberatan. Alasannya, alamat dengan nomor rumah 108 sudah tersebar kemana-mana. Kartu nama dengan alamat nomor rumah 108 masih menumpuk. Pak Wiratno merasa kerepotan jika harus satu per satu menginfokan perubahan alamat pada klien-nya.
Ketokohan Pak Wiratno membuat pengurus RT luluh. Warga yang lain juga tak berani protes, toh itu hanya masalah nomor rumah. Karena nomor 108 seharusnya menjadi nomor rumah saya, Pak Wiratno melalui Pak RT meminta izin pada saya. Nomor rumah saya bergeser menjadi 109, meloncat satu angka dari nomor rumah tetangga terdekat yaitu 107.
”Harusnya Pak Wiratno tak perlu repot-repot datang ke rumah saya. Sebagai warga, saya sudah ikhlas dan menerima keputusan mengenai nomor rumah tersebut,” kata saya dengan sungkan.
”Saya merasa bersalah, jadi harus datang langsung ke rumah Mas Bram. Sekarang saya sudah lega,” jawab Pak Wiratno sambil membetulkan kerah jas hitamnya penuh kewibawaan. Pada berbagai kesempatan, Pak Wiratno memang terlihat selalu memakai jas hitam, kopiah hitam, dan sarung kotak-kotak.
Tak lama setelah pembicaraan dirasa cukup, Ketua RT dan Pak Wiratno berpamitan. Saat bersalaman, Pak Wiratno menyelipkan sebuah amplop ke tanganku, ”Ini ada sedikit tanda terima kasih buat keluarga Mas Bram.”
Awalnya saya menolak halus pemberian itu, namun Pak Wiratno tetap memaksa. Pak RT memberi isyarat agar aku menerimanya. Akhirnya kuterima dan kuserahkan amplop itu pada istriku.
Setelah keduanya pulang, terdengar jeritan istriku dari dalam kamar tidur, ”Satu setengah juta Pak!” Aku tercengang, pasti nomor 108 sangat berharga bagi Pak Wiratno.
***
Meskipun aku sudah menetap selama 7 tahun di Kampung Telaga, aku tak begitu mengenal sosok dan pekerjaan Pak Wiratno. Setahuku, ia tokoh masyarakat yang disegani. Setiap ada kegiatan, Pak Wiratno selalu duduk di deretan terdepan. Namanya selalu disebut saat acara RT/RW setelah deretan kata: Yang terhormat....
Lelaki berusia enam puluhan tahun itu juga merupakan keluarga berada. Walaupun masuk ke dalam gang, tapi rumahnya sangat mewah dengan halaman yang asri dan luas. Pagar rumahnya kokoh dan tinggi. Pak Wiratno tinggal di rumah itu bersama istri dan anak bungsunya. Ketiga anak lainnya, kabarnya sudah mapan dan memiliki rumah di kawasan elite di Jakarta dan Depok.
Menurut obrolan pos ronda dan warung kopi, Pak Wiratno dulunya berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Berkat kegigihan usahanya, perekonomian keluarganya menanjak naik. Ada warga yang bilang ia sukses menjadi pengusaha di bidang properti. Warga lain bilang, Pak Wiratno itu orang pintar atau paranormal yang sering didatangi tokoh, pengusaha, dan pejabat penting.
Tapi aku tak begitu yakin kalau Pak Wiratno seorang paranormal. Penampilan dan tutur katanya wajar-wajar saja, seperti warga lainnya. Tak ada plang terpasang di mulut Gang Manggis menuju rumahnya. Tak terlihat aktivitas yang mencolok seperti tamu yang berdatangan. Tak terlihat juga mobil-mobil terparkir di jalan raya dekat rumahnya. Gaya rumahnya terbilang modern minimalis tanpa ada ornamen-ornamen aneh seperti gambaran rumah-rumah paranormal di sinetron-sinetron.
Selain itu, aku belum pernah mendengar ada warga Kampung Telaga yang konsultasi pada Pak Wiratno. Saat ada masalah pelik yang menimpa warga, belum pernah kudengar nasihat, ”Coba minta tolong sama Pak Wiratno.” Apakah warga meragukan atau tidak mengetahui kemampuan Pak Wiratno?
Namun kadang kala, ada seseorang terkenal luas hingga wilayah sangat jauh tapi biasa-biasa saja di kampungnya sendiri. Misalnya, Yu Darmi, tukang pijat yang tinggal di kampung halamanku di Purworejo. Ia sering mendapat panggilan memijat dari warga kampung lain yang jauh. Sementara untuk urusan pijat memijat, warga kampung lebih percaya pada Mbah Semi.
Di dekat Kampung Telaga, ada restoran yang sangat terkenal. Restoran itu tak pernah sepi pengunjung yang datang dari berbagai daerah. Anehnya, warga Kampung Telaga jarang yang berani makan di restoran itu. Dari bisik-bisik tetangga, konon, pemilik restoran memasang pengasihan, sekali datang orang akan ketagihan.
Aku tersenyum mendengar kabar burung itu. Yang jelas, menurut cerita tetangga yang pernah ditraktir makan di restoran itu, harga makanannya terbilang mahal. Memang, rasanya enak dan bikin ketagihan. Kalau terlalu sering makan di restoran itu bisa bangkrut, ungkapnya.
Jadi apa sebenarnya pekerjaan Pak Wiratno? ”Jangan suka menghitung rezeki orang, Pak, banyak-banyak bersyukur dengan apa yang kita miliki,” kata istriku yang melihat aku duduk melamun di teras rumah.
”Terus uang dari Pak Wiratno gimana bu? Apa kita kembalikan saja?”
”Enggak usah, nanti Pak Wiratno tersinggung kalau pemberiannya dikembalikan. Kebutuhan kita juga masih banyak, memang Bapak lupa kalau besok Sita harus bayar uang masuk TK?”
***
Setelah memasang pelat nomor rumah yang baru, awalnya aku merasa tak akan lagi bersinggungan dengan urusan nomor rumah Pak Wiratno. Ternyata, beberapa kali ada kurir yang kebingungan mencari posisi rumah nomor 108. Mereka mengetuk pintu rumahku yang bernomor 109 atau pintu rumah tetangga bernomor 107, mencari ke mana terselipnya nomor rumah 108.
Sebenarnya, kurir tidak akan kebingungan kalau barang atau surat yang diantar atas nama Pak Wiratno. Tanpa nomor rumah pun, warga bisa menunjukkan jalan menuju rumahnya. Surat atau barang kiriman ditujukan pada istri Pak Wiratno yang namanya kurang familiar di telinga warga. Mungkin karena sering menerima surat atau barang kiriman itulah Pak Wiratno enggan mengganti nomor rumah.
Masalah nomor rumah 108 lambat laun terlupakan, karena perlahan kurir mulai hafal di mana letak nomor rumah tersebut. Hanya sesekali masih ada kurir baru yang menanyakan rumah nomor 108.
Suatu malam saat pulang kerja, aku harus beli martabak manis keju yang mangkal dekat Gang Manggis. Saat menunggu pesanan, kuperhatikan ada deretan mobil mewah di pinggir jalan. Sepertinya tidak ada hajatan atau lamaran di rumah salah satu warga RT 04 RW 06. Biasanya kalau ada peristiwa penting di Kampung Telaga selalu ada pemberitahuan.
”Biasa Mas, tamu Pak Wiratno. Maklum tak lama lagi kan ada Pemilu,” jawab tukang martabak sambil memarut keju di atas martabak yang masih mengepulkan asap. Aku tertegun mendengar jawaban tukang martabak. Apakah mereka tokoh terkenal yang akan mendaftar menjadi calon anggota legislatif atau tim sukses partai tertentu yang membicarakan strategi pemenangan dengan Pak Wiratno?
Selesai membeli martabak, aku mencoba lewat di depan rumah Pak Wiratno. Tapi, pandanganku terhalang tembok tinggi sehingga tak mengetahui aktivitas di dalam rumah Pak Wiratno. Kalau ada pembicaraan penting, pasti mereka akan melakukannya di dalam rumah.
Menjelang Pilpres dan Pileg yang dilaksanakan serentak, aku semakin sering melihat satu atau dua mobil mewah terparkir di dekat Gang Manggis. Sayangnya, tak sekalipun aku melihat pemilik mobil sedang turun atau berpapasan saat jalan memasuki gang menuju rumah Pak Wiratno. Mungkin kalau bertemu dengan pemilik mobil, aku bisa mengenali atau menyamakan wajahnya dengan wajah-wajah yang tercetak di spanduk-spanduk caleg yang bertebaran di mana-mana.
Hingga Pilpres dan Pileg serentak dilaksanakan, rasa penasaran itu tak menuai jawaban. Lama kelamaan aku mulai melupakannya. Acara lima tahunan kali ini terbilang sangat gaduh, terutama di dunia maya yang dipenuhi perseturuan cebong dan kampret, sebutan untuk pendukung pasangan calon presiden. Perhitungan hasil pileg dan pilpres pun lebih menarik untuk diikuti, ditambah berbagai isu, kabar burung, hasil hitung cepat yang menuai pro kontra, deklarasi pemenangan yang terlalu dini, hingga tuduhan adanya kecurangan memanaskan pesta demokrasi.
Menurut analisa Pakde Paijo: Sepertinya pasangan capres hanya siap menang tapi tidak siap kalah. Tak heran jika pasangan capres yang bertarung hanya membentuk Tim Pemenangan tanpa memikirkan pembentukan Tim Kekalahan yang bertugas mendamaikan hati dan suasana jika ternyata Capres tersebut mengalami kekalahan. Hebat juga analisa penjual bakso Cuanki itu. Memang di zaman milenial dan era medsos, semua orang mendadak bisa menjadi pengamat politik dan pengamat berbagai masalah.
***
Malam ini sepulang kerja, aku melangkah menuju rumah Pak Wiratno. Bukan untuk menuntaskan rasa penasaran terhadap sosok Pak Wiratno, tetapi ada sepucuk surat untuk rumah nomor 108 yang diselipkan begitu saja di bawah pintu rumahku. Sepertinya ada kurir datang saat istriku sedang mengantar Sita sekolah. Mungkin kurir itu sudah putus asa mencari nomor rumah 108, hingga menyelipkan surat ke bawah pintu.
Istriku dan Sita ikut serta karena ingin ke minimarket membeli sesuatu. Saat aku hendak memencet bel rumah yang tertempel di pagar Pak Wiratno, tiba-tiba pagar terbuka. Dua orang laki-laki dan perempuan keluar diiringi oleh Pak Wiratno yang tersenyum kepada kami.
Lelaki itu menatap tajam ke arahku dan istriku. Sita mendadak ketakutan dan menyembunyikan wajahnya di bajuku. Sekilas wajah lelaki itu tak asing di mataku. Sependek ingatanku wajahnya pernah menghiasi spanduk-spanduk yang bertebaran sebelum Pilpres dan Pileg.
”Kalian ini tak tahu diuntung! Sudah dikasih uang enggak mau milih saya. Mau uangnya enggak mau nyoblos saya,” kata lelaki itu dengan jari menunjuk-nunjuk ke arahku dan istriku. Wajahnya memerah seperti menahan amarah dan kegundahan yang luar biasa. Aku berdiri terpaku tak tahu harus berbuat apa.
Pak Wiratno dengan mulut komat-kamit segera menenangkan lelaki itu. Begitu juga perempuan cantik dan modis yang ada di sampingnya, ”Sudah Pa, jangan begitu. Malu Pa. Kita pulang saja ya.”
”Maaf Mas, saya ke depan dulu mengantar tamu. Masuk saja ada ibu di dalam,” kata Pak Wiratno sambil memapah tamunya. Aku tertegun menatap tiga sosok yang berjalan menyusuri gang hingga menghilang ditelan gelap malam.
_____________________
Setiyo Bardono, penulis kelahiran Purworejo dan bermukim di Depok, ini telah menerbitkan tiga buku antologi puisi tunggal, yaitu Mengering Basah (2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (2012). Dua karya novelnya, Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).