Jakarta dan pedagang kaki lima seperti tak terpisahkan. Keberadaannya sudah menjadi keunikan Ibu Kota secara turun-temurun. Mereka dikenal liat, ulet, dan pantang menyerah. Para PKL bisa tiba-tiba muncul banyak di satu tempat keramaian.
Oleh
Agus Hermawan
·4 menit baca
Pedagang kaki lima itu selalu lebih maju daripada pemilik toko-toko. Buktinya? Pernyataan itu bukan semata-mata karena skala bisnis mereka. ”Lihat saja mereka selalu berjualan di depan toko-toko. Artinya, selalu lebih maju alias di depan,” ujar seorang rekan.
Pedagang kaki lima itu selalu lebih maju daripada pemilik toko-toko. Buktinya? Pernyataan itu bukan semata-mata karena skala bisnis mereka. ”Lihat saja, mereka selalu berjualan di depan toko-toko. Artinya, selalu lebih maju alias di depan,” ujar seorang rekan.
Jakarta dan pedagang kaki lima seperti tak terpisahkan. Keberadaannya sudah menjadi keunikan Ibu Kota secara turun-temurun. Mereka dikenal liat, ulet, dan pantang menyerah. Para pedagang kaki lima bisa tiba-tiba muncul banyak di satu tempat keramaian. Berjualan apa saja yang dibutuhkan. Sejalan dengan perkembangan ojek daring, keberadaan mereka juga semakin meningkat cepat di sekitar tempat pangkalan para pengendara ojek yang merindukan order.
Makanan dan minuman paling banyak diperjualbelikan. Kini, bahkan mereka berjualan tidak melulu dalam jongko-jongko atau tenda darurat yang dibangun secara knock down dalam waktu singkat. Banyak di antara para pedagang kaki lima itu memodifikasi kendaraan bermotor atau sepeda untuk berjualan makanan dan minuman. Bakso, kopi, teh, bandrek, bajigur, atau beragam minuman lain ditawarkan.
Salah satu kreativitas yang tumbuh pesat di antaranya penjual minuman yang dikenal sebagai ”starling”, pelesetan dari ”Starbuck Keliling”. Sebut saja minuman instan yang Anda kenal, mereka bisa menyediakannya dengan cepat, panas atau dingin.
Banyak di antara pedagang kaki lima itu tidak berdagang secara sendiri. Mereka hanya mengambil dari tauke atau bos penyedia dagangan dan mengedarkan ”paket-paket” itu dalam gerobak atau sepeda lengkap dengan isi dagangan. Para pedagang kaki lima yang mengambil dagangan dari bos-bos seperti itu tidak perlu modal. Mereka hanya tinggal mengambil satu gerobak lengkap dan berkeliling seharian untuk kemudian menyetorkan hasilnya. Sistem bagi hasil kerap berlaku dalam hal ini.
Namun, ada juga pedagang yang mendapat penghasilan seperti layaknya pekerja, tidak bergantung pada berapa banyak dagangan yang laku. ”Lumayan untuk makan sehari-hari,” ujar seorang penjual minuman di seputaran Senayan, Jakarta.
Jangan salah, pedagang kaki lima ini juga tidak melulu dari kalangan gurem atau hanya sekadar mencari makan sehari-hari. Banyak di antaranya memang bermodal dan memiliki beberapa lapak.
Para pedagang kaki lima di kawasan Tanah Abang, misalnya, lazim diketahui memiliki beberapa tempat usaha kaki lima. Saat mereka dipindahkan ke kios-kios Pasar Tanah Abang, misalnya, sejumlah di antaranya memiliki ”lapak bayangan” dengan tetap berjualan di trotoar. Jadi, tidak sepenuhnya tepat jika keberadaan pedagang kaki lima dihubungkan dengan ”kelas” sosial.
Para gubernur DKI Jakarta umumnya juga sudah mencoba menertibkan atau memberikan tempat kepada para pedagang kaki lima ini. Sering kali juga demi penertiban, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menurunkan satuan polisi pamong praja (satpol PP) untuk menertibkan para pedagang kaki lima yang berjualan di tempat semestinya.
Padahal, ketika para pedagang kaki lima itu berjualan di tempat semestinya, tentu mereka bukan pedagang kaki lima lagi, bukan? Ada banyak cara ditempuh untuk menata para pedagang kaki lima itu. Pedagang kaki lima, misalnya, diberi waktu operasional dengan jam-jam tertentu yang membolehkan mereka berdagang. Setelah itu mereka harus tutup dan membereskan kiosnya. Lokasi menjadi bersih seperti semula.
Pemprov DKI belakangan menyediakan apa yang disebut loksem alias lokasi sementara pedagang kaki lima. Selain itu, mereka juga menyediakan lokbin atau lokasi binaan untuk pedagang kaki lima. Loksem dan lokbin ini malah banyak di antaranya menempati trotoar. Padahal, namanya saja fasilitas pejalan kaki, ya, enggak pas kalau digunakan untuk berjualan kaki lima.
Tidak heran jika kemudian Mahkamah Agung memenangkan gugatan politikus Partai Solidaritas Indonesia, William Aditya dan Zico Leonard, terhadap Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Mereka menggugat Pasal 25 Ayat 1 tentang kewenangan Gubernur DKI Jakarta memberikan izin trotoar dan jalan sebagai tempat usaha PKL.
Tidak heran jika kemudian Mahkamah Agung memenangkan gugatan politikus Partai Solidaritas Indonesia, William Aditya dan Zico Leonard, terhadap Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Mereka menggugat Pasal 25 Ayat 1 tentang kewenangan Gubernur DKI Jakarta memberikan izin trotoar dan jalan sebagai tempat usaha PKL.
Putusan MA mengamanatkan bahwa Perda Nomor 8 Tahun 2007 Pasal 25 Ayat 1 tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan tidak berlaku. Gubernur Anies Baswedan menilai putusan itu tidak adil dan membandingkan pelanggaran-pelanggaran gedung pencakar langit yang menyedot air tanah.
Membandingkan pelanggaran pedagang kaki lima dan gedung pencakar langit seperti itu terlalu jauh dan tersirat ada soal ”kelas”. Pertanyaannya, kenapa pelanggaran menyedot air tanah oleh gedung pencakar langit itu dibiarkan. Lagian, kaki lima, kan, ada di depan gedung pencakar langit.