Pemblokiran Internet di Papua Ibarat Berburu Seekor Tikus dengan Mengebom Rumah
Sejumlah kalangan mengkritik langkah pemerintah memblokir internet di Papua dan Papua Barat. Langkah instan pemerintah untuk mencegah penyebaran hoaks ini ibarat memburu satu ekor tikus dengan mengebom satu rumah.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Petisi #NyalakanLagi internet di Papua dan Papua Barat telah tembus 11.221 penandatangan, Minggu (25/8/2019), pukul 16.21 WIB. Namun demikian, pemerintah masih saja memblokir internet di Papua dan Papua Barat.
Ini adalah hari ketujuh masyarakat di Papua dan Papua Barat mengalami kegelapan internet. “Sampai hari ini, internet mobile di Kota Jayapura belum tersambung juga,” ungkap Syaifullah, anggota Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Minggu, saat dihubungi dari Jakarta.
Saat ini, masyarakat hanya bisa berkomunikasi dengan menggunakan layanan panggilan telepon dan pesan singkat/SMS. Meski layanan telepon dan pesan singkat masih bisa digunakan, namun pemblokiran internet tetap saja sangat merugikan masyarakat karena berbagai macam aktivitas publik kini sangat mengandalkan fasilitas internet, mulai dari transaksi jual beli, belajar-mengajar, kebutuhan pelayanan medis antara dokter, rumah sakit dan pasien, kerja jurnalis saat menginformasikan fakta di lapangan, hingga ekspresi masyarakat yang ingin menyampaikan pendapat atas situasi yang ada di Papua dan Papua Barat.
Pemblokiran internet tetap saja sangat merugikan masyarakat karena berbagai macam aktivitas publik kini sangat mengandalkan fasilitas internet.
“Pemblokiran di Papua dan Papua Barat membuat saya berpikir betapa pemerintah senangnya instan saja. Begitu gagal membendung hoaks, mereka menutup begitu saja jalur internet. Ini seperti memburu satu ekor tikus dengan mengebom satu rumah. Padahal, fungsi internet tidak semata-mata untuk menyebarkan hoaks saja, tetapi juga untuk kerja, mengirim data, cari bahan pelajaran, atau memesan dan mendatangkan pesanan ojek daring, dan sebagainya,” kata Syaifullah.
Pertanyakan pendidikan literasi
Pemblokiran akses internet atau layanan data dan telekomunikasi di Papua dan Papua Barat bukanlah yang pertama kali. Mei 2019, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika juga membatasi layanan media sosial pascakerusuhan 21-22 Mei 2019 di Jakarta.
Selang tiga bulan, pola yang sama dilakukan kembali oleh pemerintah untuk menekan eskalasi konflik di Papua dan Papua Barat. Sama seperti di kasus di Jakarta, alasan pembatasan dan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat adalah untuk menekan transmisi kabar-kabar bohong.
“Jika pola-pola pemblokiran akses internet seperti ini diterapkan terus-menerus pada saat terjadi konflik atau kerusuhan, lalu apa gunanya pemerintah gencar mengampanyekan gerakan literasi media sosial kepada masyarakat? Yang semestinya diperkuat adalah literasi masyarakat dalam menyikapi peredaran informasi di media sosial,” kata Damar Juniarto, Direktur Eksekutif SAFEnet.
Dalam petisi yang disampaikan sejumlah organisasi kepada Presiden dan Menkominfo, Jumat (23/8/2019), disebutkan bahwa tidak ada ketentuan yang mengatur kewenangan Menkominfo untuk melakukan pembatasan dalam bentuk pelambatan atau pun pemutusan akses internet. Oleh karena itu, pembatasan dan pemblokiran akses internet oleh Menkominfo bukan bentuk diskresi yang diperbolehkan menurut hukum.
Pembatasan dan pemblokiran akses internet oleh Menkominfo bukan bentuk diskresi yang diperbolehkan menurut hukum.
Berdasarkan UUD 1945, hanya Presiden yang berwenang menetapkan pembatasan terhadap penikmatan hak-hak sipil dan politik di seluruh atau sebagian wilayah Indonesia. Namun, pembatasan tersebut harus dinyatakan oleh presiden secara terbuka dan dilakukan untuk jangka waktu tertentu yang harus dinyatakan terbuka pula.
Berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian Kominfo dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait akhir pekan lalu, pemerintah menyimpulkan bahwa meskipun situasi dan kondisi di beberapa kota dan kabupaten di Papua dan Papua Barat mulai berangsur-angsur pulih.
“Meski sudah pulih, namun distribusi dan transmisi informasi hoaks, kabar bohong, provokatif dan rasis masih terbilang tinggi,” kata Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu.
Di tengah padamnya layanan data dan telekomunikasi di Papua dan Papua Barat, seorang jurnalis koran Jubi dan jubi.co.id, Victor Mambor, justru menjadi korban kekerasan dalam bentuk doxing di media sosial twitter oleh akun bernama Dapur (@antilalat), Kamis (22/8). Doxing adalah pelacakan dan pembongkaran identitas jurnalis yang menulis tidak sesuai aspirasi politik pelaku, lalu menyebarkannya ke media sosial untuk tujuan negatif.
“Pemilik akun @Dapur menuding Victor sebagai penghubung Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan pemasok informasi bagi pengacara hak asasi manusia Veronica Koman. Setidaknya ada 3 kali tudingan yang dilontarkan @Dapur terhadap Victor dalam rentang Juli-Agustus 2019 ini,” kata Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim.
AJI menilai informasi yang disebarkan oleh @Dapur tersebut adalah tidak berdasar dan merupakan upaya untuk memojokkan dan mengintimidasi Victor Mambor. Kami menilai apa yang dilakukan oleh Victor melalui medianya merupakan hal yang standar dilakukan media, yaitu menyampaikan informasi seobyektif mungkin dan menerbitkannya setelah melalui proses verifikasi seperti diamanatkan dalam Kode Etik Jurnalistik.
AJI mengingatkan kepada pengguna media sosial, dan juga aparat keamanan, bahwa jurnalis dalam menjalankan profesinya dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Jika ada yang merasa ada yang tidak tepat, keliru dari karya jurnalistik yang dimuat media, Undang Undang Pers memberi penyaluran melalui mekanisme hak jawab, hak koreksi atau pengaduan kepada Dewan Pers.