Myanmar Menolak, Ikhtiar Parlemen Indonesia Perjuangkan Resolusi Rohingya Kandas
Myanmar menolak menerima resolusi terkait isu Rohingya yang diusulkan oleh Indonesia. Sesuai statuta Majelis Antarparlemen ASEAN atau AIPA di mana mekanisme pengambilan keputusan menganut sistem konsensus, maka tidak ada resolusi Rohingya dalam Sidang Umum AIPA ke-40.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Delegasi parlemen Indonesia kembali memperjuangkan isu krisis kemanusiaan Rohingya untuk masuk dalam daftar resolusi yang akan dibahas pada Sidang Umum Majelis Antarparlemen ASEAN atau AIPA ke-40. Namun upaya ini kandas. Delegasi parlemen Myanmar menolak menerima dan membahas resolusi yang diusulkan oleh Indonesia.
Daftar resolusi yang akan dibahas saat Sidang Umum diputuskan dalam rapat Komite Eksekutif ASEAN Majelis Antar-Parlemen ASEAN, di Bangkok, Thailand, Minggu (25/8/2019) malam. Rapat dipimpin oleh Ketua Parlemen Thailand H.E. Chuan Leekpai, yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Thailand 1992-1995 dan 1997-2001.
Delegasi parlemen Indonesia dipimpin oleh Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon. Dia didampingi dua anggota DPR, yaitu Amelia Anggraini dari Fraksi Partai Nasdem dan Kartika Yudhisti dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
“Rapat Komite Eksekutif dibuka pukul 20.00 dan ditutup pukul 22.30. Dari 2,5 jam itu, sekitar 1,5 jam di antaranya berisi perdebatan mengenai draf resolusi yang diajukan parlemen Indonesia. Sesudah berdebat alot, persidangan terpaksa dihentikan sementara agar terjadi mekanisme lobi. Namun, upaya tersebut pun gagal," kata Fadli Zon melalui keterangan tertulis yang diterima oleh Kompas, Senin (26/08/2019).
Dia menyebut, delegasi parlemen Myanmar yang dipimpin oleh Ny Su Su Lwin, tetap tidak mau membuka diri untuk menerima dan membahas resolusi yang diusulkan Indonesia.
“Sehingga sesuai dengan statuta AIPA, dimana mekanisme pengambilan keputusan di AIPA menganut sistem konsensus, akhirnya tak ada resolusi terkait isu Rohingya," tambah Fadli.
Delegasi parlemen Indonesia tidak tinggal diam atas sikap Myanmar tersebut. "Sebagai bentuk protes, delegasi Indonesia menolak untuk membahas resolusi lain dalam bidang politik. Konsekuensinya, dalam sidang AIPA pada tahun ini tidak akan ada pembahasan isu di Komite Politik. Sikap ini penting untuk ditunjukkan oleh delegasi Indonesia, agar AIPA tidak sekedar menjadi forum seremoni dan basa-basi belaka,” ujar Fadli.
Selain Myanmar yang tegas-tegas menolak usulan resolusi Indonesia, negara lain seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, Laos, Kamboja, dan Singapura, bersikap diam dan menyerahkan kepada mekanisme konsensus.
Tak beralasan
Menurut Fadli, kekhawatiran Myanmar dan sejumlah negara lain bahwa draf resolusi yang Indonesia ajukan, merupakan bentuk campur tangan urusan internal anggota ASEAN lainnya, jelas tak beralasan.
"Draf resolusi ini kami ajukan semata untuk mendukung Myanmar dalam memulihkan perdamaian dalam mengatasi krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya," ucapnya.
“Hari ini, 25 Agustus 2019, menandakan tepat dua tahun peristiwa genosida dan eksodus ratusan ribu orang Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh. Meski demikian, hingga kini situasi yang dialami para pengungsi Rohingya masih tak menunjukkan perbaikan. Upaya repatriasi yang sudah direncanakan sejak tahun lalu juga belum menunjukkan perkembangannya," tambah Fadli.
Pada 2017, ratusan ribu warga Rohingya melarikan diri dari persekusi yang terjadi akibat kekerasan di Rakhine, Myanmar. Mereka kini tinggal sebagai pengungsi di sejumlah negara, antara lain Bangladesh, Indonesia, Malaysia, dan Pakistan.
Selain itu, AIPA sebagai forum parlemen tertinggi di ASEAN seharusnya tidak mengabaikan isu Rohingya. "Sebab, dalam forum parlemen yang lebih luas, seperti dalam Sidang IPU (Inter Parliamentary Union) ke-139 di St Petersburg, Rusia, pada 2018, masyarakat internasional telah mengakui urgensi untuk mengatasi kasus ini, begitu juga halnya dengan PBB," katanya.
Unjuk rasa
Di tempat terpisah,sekitar 200.000 warga Rohingya berunjuk rasa di sebuah kamp pengungsi di Bangladesh, Minggu (25/08/2019). Mereka juga memanjatkan doa sambil mengenang keluarga mereka yang terbunuh dalam kekerasan.
Pemimpin Rohingya Mohib Ullah menyatakan, para pengungsi sangat ingin kembali ke Myanmar apabila telah mendapatkan kepastian keamanan.
”Kami telah meminta Pemerintah Myanmar untuk berdialog. Namun, kami belum mendapat tanggapan,” katanya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mempertanyakan kelayakan repatriasi karena kondisi Myanmar dinilai belum kondusif. ”Tidak ada satu pun dari prinsip aman, sukarela, dan bermartabat bagi warga Rohingya yang terpenuhi meskipun ada klaim berbeda dari Pemerintah Myanmar dan Bangladesh,” katanya.
Wakil Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) Yuyun Wahyuningrum sepakat, repatriasi warga Rohingya bukan solusi yang efektif untuk saat ini. Namun, pada saat yang bersamaan, keberadaan pengungsi Rohingya mulai memengaruhi dinamika sosial masyarakat Bangladesh.
Untuk itu, Yuyun berpendapat, proses repatriasi perlu menerapkan prinsip HAM agar berjalan lancar. AICHR dapat dilibatkan untuk melihat apakah proses repatriasi sudah berlangsung secara aman, sukarela, dan bermartabat.