Sampai Kapan Blokir Internet Jadi Senjata Menangkal Hoaks?
Setelah kericuhan 21-22 Mei 2019 di sejumlah daerah di DKI Jakarta, pemerintah kembali membatasi akses ke internet di Papua dan Papua Barat. Bahkan kali ini, pemerintah memblokir sepenuhnya akses ke internet di dua provinsi tersebut. Padahal sebenarnya masih ada sejumlah langkah yang bisa diambil pemerintah untuk menangkal hoaks.
Hingga Minggu (25/8/2019), belum ada tanda-tanda blokir layanan data telekomunikasi di Papua dan Papua Barat bakal dicabut oleh pemerintah. Pemerintah bersikukuh dengan keputusannya sekalipun kritik tak henti-hentinya disuarakan oleh publik.
Keputusan pemerintah untuk melambatkan akses internet pasca-kericuhan di sejumlah daerah di DKI Jakarta, 21-22 Mei 2019, kembali diulang di Papua dan Papua Barat.
Sejak Senin (18/8/2019), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) memutuskan melambatkan akses internet menyusul ketegangan di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat, ditambah lagi pecahnya kerusuhan di Manokwari, Papua Barat.
Ketegangan di kedua provinsi tersebut dipicu insiden di asrama mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, Jawa Timur.
Sama seperti di Jakarta, keputusan diambil pemerintah setelah melihat maraknya kabar bohong di dunia maya. Hoaks tersebut kian memanaskan situasi di Papua dan Papua Barat.
Tak berhenti di sana, untuk kali pertama, pemerintah melangkah lebih jauh. Sejak Rabu (21/8/2019), pemerintah tak hanya melambatkan tetapi memblokir sepenuhnya akses layanan data telekomunikasi. Keputusan diambil setelah melihat kerusuhan pecah di Fakfak, Papua Barat, dan masih maraknya kabar bohong.
Hingga pukul 16.00, Jumat (23/8/2019), Kemkominfo menyebut distribusi dan transmisi informasi hoaks, provokatif, dan rasis masih terbilang tinggi. Kemkominfo telah mengidentifikasi dan memvalidasi 33 konten dan 849 URL informasi hoaks dan provokatif terkait isu Papua.
Penyebarannya menyasar ratusan ribu pemilik akun media sosial Facebook, Instagram, Twitter, dan YouTube.
Hingga hari ini, pemblokiran belum juga dicabut. Masyarakat Papua dan Papua Barat masih tercerabut dari dunia maya.
“Saya bersimpati kepada saudara-saudara kita di Papua. Saya mohon maaf kalau memang (pemblokiran akses layanan data) ini turut memberi dampak,” kata Rudiantara ketika dihubungi Kompas dari Jakarta, Minggu (25/8/2019).
Dia menjelaskan, suasana memang berangsur kondusif di Papua dan Papua Barat. Akan tetapi, propaganda di dunia maya belum berhenti. Hal ini membuat pemerintah belum bisa memastikan pencabutan waktu pembatasan akses layanan data telekomunikasi.
“Dunia maya yang dimaksud tidak hanya di lingkup nasional, tetapi sampai merembes ke dunia internasional,” katanya.
Pemerintah, lanjut Menkominfo, bertindak dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pasal 40 Ayat 2a menyatakan, pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Selanjutnya, Ayat 2b menerangkan, dalam melakukan pencegahan, pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang muatan melanggar hukum.
Baca juga: Pemblokiran Akses Layanan Data Berlanjut, Rudiantara Minta Maaf
Dalam memblokir akses layanan data telekomunikasi ini, Rudiantara memastikan bahwa dirinya telah berkoordinasi dengan penegak hukum.
Merugikan
Di sisi lain, tertutupnya akses internet merugikan masyarakat Papua. Sekalipun penggunaan internet di Papua dan Papua Barat berdasarkan hasil survei dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2018, masih di bawah lima persen, internet sudah berperan strategis untuk menopang aktivitas sehari-hari sebagian masyarakat.
Sebagian masyarakat misalnya, mencari nafkah dari ojek daring. Ketika internet terputus, mereka tak bisa beroperasi. Masyarakat yang biasa dilayani ojek daring, pun dirugikan.
Belum lagi pelajar yang membutuhkan akses internet untuk memperkaya ilmu yang mereka peroleh di sekolah.
Begitu pula kalangan dunia usaha. Tidak sedikit pengusaha di Papua yang sudah memanfaatkan internet untuk mempromosikan produk-produk usaha mereka ke luar Papua.
Baca juga: Pemblokiran Internet Hambat Aktivitas Warga Papua
Akses internet juga sebenarnya bisa jadi “senjata” masyarakat untuk melawan hoaks. Kemkominfo sebelumnya menyatakan, kabar bohong atau kabar bernada provokatif, menyebar pula melalui pesan singkat. Seandainya akses internet dibuka, publik yang menerima informasi melalui pesan singkat itu, dapat langsung mengklarifikasinya melalui internet.
Melawan hukum
Kritik terhadap kebijakan pemerintah juga tak henti-hentinya disuarakan oleh masyarakat sipil. Kritik yang sebenarnya sudah dilayangkan saat pemerintah memutuskan melambatkan internet pasca kejadian 21-22 Mei 2019.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara menilai tindakan pembatasan akses layanan komunikasi merupakan tindakan melawan hukum.
Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menyatakan bahwa pencegahan penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik atau dokumen elektronik yang dapat dibatasi pemerintah hanya untuk konten yang memiliki muatan yang dilarang peraturan perundang-undangan.
Dengan arti kata lain, pemutusan akses hanya dapat dilakukan kepada muatan yang melanggar UU. “Jadi, bukan layanan aksesnya secara keseluruhan,” tegas Anggara.
Kalaupun pemerintah ingin mengambil langkah pemutusan layanan secara total, pemerintah harus terlebih dulu memenuhi dua syarat. Pertama, situasi sebagai latar belakang pemblokiran harus berupa keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa. Kedua, Presiden harus terlebih dulu mendeklarasikan negara dalam keadaan darurat melalui Keputusan Presiden.
Baca juga: Pemblokiran Internet di Papua Ibarat Berburu Seekor Tikus dengan Mengebom Rumah
Syarat ini sesuai dengan batas-batas kondisi pembatasan hak asasi manusia (HAM) yang telah ditetapkan UUD 1945 dan sesuai dengan Komentar Umum Nomor 29 terhadap Pasal 4 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Pembatasan akses layanan komunikasi termasuk sebagai bentuk pembatasan HAM.
Jalan pintas
Direktur Eksekutif Indonesia Information Communication Technology Institute Heru Sutadi juga menilai pembatasan ataupun pemblokiran internet bukan langkah tepat untuk melawan hoaks.
“Hoaks yang memperkeruh suasana semestinya dinetralisir pemerintah dengan mengklarifikasinya secara terbuka dan tepat ke publik,” kata Heru.
Selain itu, alih-alih mengambil jalan pintas menangkal hoaks dengan memblokir internet, pemerintah semestinya memperketat pengawasan lalu lintas informasi di dunia maya. Pemerintah telah memiliki alat sensor untuk memantau semua aktivitas masyarakat di jaringan internet, namun keberadaannya belum memberikan hasil signifikan.
“Pemerintah itu kan sudah punya alat seharga Rp 200 miliar, itu harus dioptimalkan,” ujar Heru.
Baca juga: "War Room" Kemkominfo Kembali Siaga Saat Sidang MK
Baca juga: Dua Sisi Pembatasan Media Sosial
Selain itu, tanggung jawab perusahaan media sosial juga dibutuhkan. Pemerintah perlu mendorong mereka untuk membentuk tim yang dapat bergerak cepat ketika ditemukan salah satu akun penyebar hoaks. Penindakan terhadap akun penyebar hoaks harus permanen, tidak seperti selama ini yang bersifat sementara.