Dugaan Doping Coleman, Peringatan bagi Atlet Elite
Kasus dugaan doping yang menimpa pelari 100 meter Amerika Serikat, Christian Coleman, menjadi pelajaran bagi insan atletik dunia. PB PASI selaku organisasi yang membawahkan dunia atletik Indonesia terus mewaspadai potensi doping yang bisa menimpa atlet nasional, terutama pelari 100 meter andalan Indonesia, Lalu Muhammad Zohri, yang akan tampil di Kejuaraan Dunia Atletik 2019 di Doha, Qatar, 28 September-6 Oktober.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus dugaan doping yang menimpa pelari 100 meter Amerika Serikat, Christian Coleman, menjadi pelajaran bagi insan atletik dunia. PB PASI selaku organisasi yang membawahi dunia atletik Indonesia terus mewaspadai potensi doping yang bisa menimpa atlet nasional, terutama pelari 100 meter andalan Indonesia, Lalu Muhammad Zohri, yang akan tampil di Kejuaraan Dunia Atletik 2019 di Doha, Qatar, 28 September-6 Oktober.
Menjadi atlet elite, di cabang mana pun, menuntut sikap profesional, bukan hanya dalam berlatih. Atlet elite juga dituntut disiplin mengikuti rambu-rambu antidoping yang pemeriksaannya bisa saat kejuaraan maupun di luar kejuaraan. Sistem antidoping yang diterapkan Badan Anti Doping Dunia atau WADA itu telah dijalankan oleh lembaga-lembaga antidoping di banyak negara.
Ketidakpatuhan pada aturan antidoping bisa menempatkan atlet dalam status dicurigai doping. Kondisi itu kini dialami sprinter elite Christian Coleman. Atlet asal Amerika Serikat yang membukukan waktu tercepat 9,81 detik pada 2019 itu gagal memenuhi permintaan Badan Anti Doping Amerika Serikat (USADA) untuk melaporkan keberadaan dirinya di luar kejuaraan.
Dikutip dari BBC, Sabtu (24/8/2019), Coleman adalah salah satu pelari elite dunia yang mendapatkan regulasi khusus dari IAAF untuk selalu mengabarkan keberadaan dan aktivitasnya jika sewaktu-waktu diminta untuk melakukan pemeriksaan doping. Namun, tiga kali permintaan laporan terakhir, pelari berusia 23 tahun itu tidak menjawab. Hal itu memunculkan indikasi bahwa pelari dengan rekor waktu terbaik 9,79 detik tersebut melanggar aturan doping dunia.
Jika dinyatakan bersalah, Coleman bisa terkena sanksi selama setahun yang akan membuatnya kehilangan kesempatan tampil di Kejuaraan Dunia 2019 dan Olimpiade Tokyo 2020. Hal itu sangat merugikan pelari yang digadang-gadang sebagai bintang baru atletik pascaera pelari legendaris asal Jamaika, Usain Bolt, tersebut.
”Apa yang telah banyak diberitakan terkait pelanggaran pelaporan (antidoping) itu sama sekali tidak benar. Saya yakin dengar pendapat (dengan USADA) pada 4 September akan menjernihkan masalah ini dan saya akan bersaing di Kejuaraan Dunia 2019,” ujar Coleman, pelari unggulan pertama Kejuaraan Dunia 2019 itu.
Walau tidak terkait langsung, kasus itu menjadi pelajaran besar dunia atletik secara umum. Di Indonesia, pengurus PB PASI, pelatih, hingga atlet pelatnas PB PASI menilai, laporan itu adalah hal sepele yang kadang lalai untuk dijalani.
”Ini pernah dialami oleh Zohri setelah dia menjadi juara Kejuaraan Dunia U-20 2018. IAAF meminta Zohri memberikan laporan mengenai keberadaan dan aktivitasnya pada waktu-waktu tertentu. Ketika itu, pengurus maupun pelatih aktif membantu menyampaikan info itu,” ujar Sekretaris Umum PB PASI Tigor M Tanjung dihubungi dari Jakarta, Senin (26/8/2019).
Menjaga komitmen
Pasca-mencuat kasus Coleman, PB PASI tidak beraksi terlalu keras. Namun, Tigor menyampaikan, pihaknya selalu berupaya menjaga agar tidak ada atlet atletik nasional yang terkena kasus doping.
”Jika ada atlet yang terkena kasus doping, sanksi tidak hanya menimpa atlet bersangkutan, tetapi juga federasi atletik negara bersangkutan. Itu yang terjadi pada federasi atletik Rusia beberapa tahun lalu. Akibatnya, yang rugi buka satu-dua atlet, melainkan satu negara,” katanya.
Menurut Tigor, IAAF memang salah satu federasi internasional yang paling aktif melakukan pemberantasan doping. Hal itu berimbas positif pada semua anggotanya yang juga aktif memberantas doping di negara masing-masing.
Di Indonesia, PB PASI sudah membentuk Komisi Medis sejak 1980-an guna mengantisipasi atlet mengonsumsi doping baik secara sadar maupun tidak sadar. Adapun doping bisa dikonsumsi secara sadar atas niat dari atlet bersangkutan dan bisa juga dikonsumsi secara tidak sadar karena atlet itu mengonsumsi vitamin atau obat yang ternyata mengandung zat doping tanpa diketahui.
Atlet bisa mengonsumsi obat yang mengandung zat doping untuk pengobatan, misalnya pemulihan cedera. Namun, atlet wajib melaporkan sesuai dengan aturan pengecualian, yang disebut dengan Therapeutic Use Exemptions (TUE). Pelanggaran TUE itu yang menimpa petenis putri Rusia Maria Sharapova pada 2016.
”Komisi Medis ini selalu menyosialisasi pelatih dan atlet untuk berhati-hati mengonsumsi vitamin ataupun obat. Sebab, kandungan doping itu jumlahnya sangat banyak dan terus berkembang setiap tahun. Kalau tidak benar-benar paham, atlet bisa jadi mengonsumsi doping secara tidak sengaja,” tuturnya.
Selalu berkonsultasi
Pelatih Kepala Sprint PB PASI Eni Nuraini mengatakan, pelatih ataupun atlet dibiasakan untuk selalu berkonsultasi dengan tim medis jika ingin mengonsumsi vitamin ataupun obat baru selain yang sering diberikan dokter pelatnas. Hal itu untuk mengantisipasi atlet mengonsumsi doping secara tidak sengaja.
”Kebanyakan atlet ini mengonsumsi doping secara tidak sengaja. Mereka dapat info mengenai vitamin baru, mereka ingin coba, tetapi ternyata vitamin itu mengandung doping. Atau obat. Mereka kena flu, batuk, atau kepala pusing terus mencoba makan obat. Ternyata, obat yang dimakan mengandung doping,” ujar Eni.
Atlet sejatinya tidak berani main-main dengan doping. Zohri menuturkan, dirinya tidak berani makan sembarangan selain makanan yang benar-benar dia ketahui. Jika pun ada makanan baru, ia akan bertanya dulu mengenai jenis makanan itu dan meminta saran dengan pelatih atau dokter pelatnas.
Mengenai vitamin atau obat, pelari asal Lombok Utara, NTB, itu hanya mengonsumsi vitamin dan obat yang disediakan dokter pelatnas. ”Kami paham sekali kalau kena kasus doping akan menghancurkan karier. Jadi, kami enggak mau sembarangan makan. Apalagi, enggak jarang atlet itu kena doping karena tidak sengaja,” kata pelari tercepat Asia Tenggara dengan waktu 10,03 detik itu.
Idola
Terkait kasus yang menimpa Coleman, pelatih maupun atlet pelatnas PB PASI cukup menyayangkan jika pelari top tersebut gagal tampil di Kejuaraan Dunia 2019. Sebab, keberadaan dia juga bisa menjadi inspirasi untuk para pelari muda, antara lain untuk Zohri.
”Yah, sayang juga kalau Coleman tidak jadi tampil di Kejuaraan Dunia. Padahal, itu kesempatan kita melihat langsung teknik berlari dia. Kita bisa belajar dan mempraktikkannya ke atlet-atlet kita,” tutur Eni.
Bagi Zohri, Coleman adalah idolanya. Ia mengagumi manusia tercepat ketujuh dunia itu, terutama dari teknik start block dan kecepatan 30 meter awalnya. ”Saya ingin sekali jumpa dan foto bareng dia. Kalau bisa, saya juga ingin lari satu lintasan dengan dia. Bisa jumpa dan lari dengan orang hebat seperti itu adalah motivasi untuk saya agar bisa seperti dia,” ujar Zohri.
Sejauh ini, Zohri sudah masuk program prakompetisi untuk ikut Kejuaraan Dunia 2019. Ia bisa ikut kejuaraan itu karena mampu menembus limit kejuaraan yang minimal 10,10 detik. Dia bisa lari 10,03 detik saat meraih perunggu di Golden Grand Prix Osaka 2019 di Jepang pada Mei lalu yang sekaligus membuatnya lolos limit Olimpiade 2020 yang 10,05 detik.
Pada Kejuaraan Dunia 2019, tim pelatih hanya berharap Zohri bisa mempertahankan rekornya. Tapi, Zohri punya tekat agar bisa lari di bawah 10 detik di kejuaraan tersebut.