Munculnya sirkulasi siklonik di Samudra Pasifik sebelah timur perairan Filipina meningkatkan peluang hujan lebat hingga angin kencang di sejumlah wilayah Indonesia. Sekalipun demikian, musim kemarau diperkirakan masih akan berlangsung hingga September 2019.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Munculnya sirkulasi siklonik di Samudera Pasifik sebelah timur perairan Filipina meningkatkan peluang hujan lebat hingga angin kencang di sejumlah wilayah Indonesia. Sekalipun demikian, musim kemarau diperkirakan masih akan berlangsung hingga September 2019.
JAKARTA, KOMPAS — Laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, sirkulasi siklonik di Samudra Pasifik menyebabkan terjadinya pemusatan awan di wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, serta sebagian besar Kalimantan dan Papua. Kondisi ini meningkatkan potensi hujan lebat dan angin kencang yang bisa disertai petir dalam tiga hari ke depan.
Wilayah yang berpotensi hujan lebat pada Senin (26/8/2019) meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Papua.
Adapun pada Selasa, 27 Agustus, meliputi Aceh, Sumatera Barat, Riau, Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, dan Papua. Sementara untuk Rabu (28/8/2019) meliputi Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, dan Papua.
Peluang hujan ini diperkirakan bersifat sementara dan lokal. ”Sebagian besar zona musim akan mengalami keterlambatan awal musim hujan tahun ini. Karena kekeringan tahun ini terkait erat dengan kondisi bawah normal dari suhu muka laut indonesia, ada potensi kekeringan ini berlanjut mengikuti kondisi suhu muka laut Indonesia tersebut,” kata Kepala Subbidang Peringatan Dini Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Supari di Jakarta.
Karena kekeringan tahun ini terkait erat dengan kondisi bawah normal dari suhu muka laut indonesia, ada potensi kekeringan ini berlanjut mengikuti kondisi suhu muka laut Indonesia itu.
Kondisi bawah normal di perairan Indonesia, menurut Supari, diperkirakan masih akan terjadi hingga Oktober 2019. ”Kita patut waspada bahwa kekeringan ini masih akan berlanjut setidaknya untuk September 2019,” ujarnya.
Supari menambahkan, berdasarkan data sifat hujan di berbagai wilayah Indonesia, intensitas kekeringan tahun 2019 lebih parah dibandingkan tahun 2018. Daerah yang mengalami kondisi hujan bawah normal juga lebih luas dibandingkan tahun lalu.
Data BMKG menunjukkan, sebagian besar wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur telah mengalami hari tanpa hujan lebih dari 60 hari. Lama hari tanpa hujan ini dikategorikan ekstrem.
Supari menyebutkan, berdasarkan kajiannya, tren kekeringan di wilayah Indonesia yang berada di selatan khatulistiwa, seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan ini merupakan salah satu konsekuensi perubahan iklim.
Anomali
Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto mengatakan, kekeringan yang masih melanda sebagian besar wilayah Indonesia lebih dipengaruhi oleh lebih dinginnya suhu Samudra Hindia di sebelah barat Sumatera. Fenomena ini dikenal sebagai IOD (Indian Ocean Dipole) positif.
”Untuk El Nino tidak lagi berperan karena beberapa data menunjukkan sudah berakhir,” kata Siswanto.
Fenomena IOD diidentifikasi dengan index Dipole Mode yang menyatakan beda suhu muka laut di Samudra Hindia bagian barat atau sebelah timur Afrika dan bagian timur, yaitu barat Sumatera bagian selatan.
Siklus IOD mirip El Nino dan La Nina di Pasifik, masing-masing punya anomali positif dan negatif. IOD positif menandakan suhu muka laut barat Sumatera lebih dingin dibandingkan bagian lain di timur Afrika
”Pengaruh IOD positif dari Samudra Hindia masih signifikan hingga Oktober,” katanya.
Menurut Siswanto, saat ini para ilmuwan iklim dunia tengah melakukan lokakarya di Belitung untuk memahami perilaku iklim hingga ribuan tahun lalu. ”Ada 50 peneliti dari 14 negara yang saat ini bertemu, di antaranya membahas soal El Nino dan juga IOD ini,” ujarnya.
Saat ini para ilmuwan iklim dunia tengah melakukan lokakarya di Belitung untuk memahami perilaku iklim hingga ribuan tahun lalu.
Salah seorang peneliti Australia, Bethany Ellis, yang mengkaji variabilitas IOD positif selama 350 tahun terakhir menemukan ada indikasi peningkatan tren. ”Data dia diekstrak dari jejak di koral daerah barat Sumatera, Selat Sunda, dan pantai selatan Jawa,” kata Siswanto.
Ahli paleoiklim Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Yudawati Cahyarini, yang menjadi koordinator lokakarya ini, mengatakan, Indonesia merupakan negara maritim yang terletak di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia sehingga menjadi lokasi yang penting untuk studi iklim.
”Untuk memahami fenomena El Nino atau IOD di masa sekarang dan prediksi ke depan, diperlukan data dan pengetahuan iklim dari masa lampau dalam skala waktu geologi ribuan tahun silam sampai masa sekarang,” ujarnya.