Munculnya politisi muda di DPRD DKI membawa angin segar perubahan. Di sisi lain, sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta periode 2019-2024 memiliki hubungan keluarga dengan politisi senior level nasional. Fenomena ini menarik dicermati agar regenerasi politisi nasional berjalan lebih berkualitas.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta periode 2019-2024 memiliki hubungan keluarga dengan politisi senior level nasional. Nama besar keluarga diakui atau tidak, membawa pengaruh perjalanan karier politik mereka. Benih baru yang terbangun dari dinasti politik itu menarik dicermati agar regenerasi politisi nasional berjalan lebih berkualitas.
Wajah DPRD DKI kali ini memunculkan nuansa baru. Bukan hanya dari segi komposisi partai, melainkan juga sejumlah anggota DPRD DKI ternyata diketahui memiliki hubungan keluarga yang erat dengan politisi senior Indonesia. Misalnya saja, Zita Anjani, yang terpilih menjadi anggota legislatif dari Partai Amanat Nasional (PAN). Nama Zita belakangan melejit karena membopong status putri dari Ketua MPR Zulkifli Hasan, yang juga menjabat Ketua Umum PAN.
Tak tanggung-tanggung, Zita bahkan kini ramai diusulkan oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PAN DKI Jakarta menjadi Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta periode 2019-2024. Seperti diketahui, PAN memiliki lima kursi terbesar di DKI. ”Wakil ketua DPRD itu 1.000 persen ranah DPP. Kalaupun saya yang ditunjuk, mudah-mudahan DPP tidak salah pilih,” kata Zita kepada Kompas, di Jakarta, Rabu (28/8/2019).
Eksistensi Zita memang tak bisa dipandang sebelah mata. Dia berhasil meraih 14.800 an suara di daerah pemilihan (dapil) 5 Jakarta, meliputi wilayah Jatinegara, Kramat Jati dan Duren Sawit, Jakarta Timur.
Dalam situasi itu, Zita tak ingin keberhasilannya dikaitkan dengan ayahnya. Sebab, dia juga telah mengikuti segala proses pencalonan hingga kampanye, sama dengan calon-calon anggota legislatif lain di PAN saat Pemilihan Legislatif 2019 lalu. Zita merasa, keterpilihannya merupakan hasil usaha kerasnya sendiri.
"Beliau (Zulkifli Hasan) memang inspirasi saya, tetapi tidak tertutup pada saat tertentu pandangan kami berbeda. Jadi, yang kenal saya pasti sudah tahu saya selalu bekerja keras untuk prinsip saya. Jadi, saya lebih merasa beban sosial yang besar bila tidak berhasil memberikan yang terbaik. Tidak berhasil menyuarakan aspirasi konstituen saya dan warga Jakarta," tutur Zita.
Menuju "Senayan"
Selain Zita, ada pula dua keponakan dari Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, yang lolos ke DPRD DKI. Mereka adalah Nova Harivan Paloh dan Wibi Adriano.
Nova mengaku, proses politiknya banyak diinsipirasi dari sosok Surya Paloh. Menurut dia, Surya Paloh telah mengajarkan banyak hal, terutama bagaimana bisa berjuang di dunia politik dari level bawah. Karena itu, kursi DPRD DKI yang diincar Nova.
"Beliau (Surya Paloh) sendiri beri pelajaran ke saya harus bisa berdiri sendiri. Saya dilepas dan berjuang sendiri. Mengajarkan struggle dari bawah. Beliau mengajarkan begitu, gimana artinya berjuang dengan kemampuan sendiri. Risiko apapun ditanggung sendiri," kata Nova.
Pada Pemilu 2019, Nova mampu meraup 12.929 suara di dapil 8 yang meliputi Kecamatan Jagakarsa, Pasar Minggu, Mampang, Pancoran dan Tebet, Jakarta Selatan. Keberhasilan di DPRD, disebutnya, bisa saja menjadi batu loncatan untuk menuju "Senayan" atau DPR RI.
"Jujur, ada keinginan menuju DPR. Kalau sekarang, kan, hanya bisa menangani dan monitoring di wilayah Ibu Kota Jakarta. Tetapi, kalau di DPR, kan, bisa langsung ke kementerian atau lembaga terkait. Artinya, scoope (ruang lingkup) lebih luas untuk menyelesaikan masalah-masalah bangsa," tutur Nova.
Anggota legislatif lain yang memiliki hubungan keluarga dengan politisi nasional adalah Dimaz Raditya Soesatyo dari Partai Golkar. Dimaz merupakan putra kedua Ketua DPR Bambang Soesatyo. Dimaz, yang kini berusia 27 tahun, mampu meraup suara besar di dapil 2, yang meliputi Cilincing, Koja dan Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Selain itu, ada juga putra Abraham Lunggana alias Haji Lulung, Guruh Tirta Lunggana. Anggota legislatif dari PAN ini menang di dapil 10 Jakarta Barat, meliputi Kecamatan Grogol Petamburan, Taman Sari, Kebon Jeruk, Palmerah dan Kembangan.
Guruh berjuang bersama ayahnya yang juga maju sebagai anggota DPR. Guruh pun menjadi lebih mudah menang di dapilnya karena di sana juga merupakan dapil kemenangan ayahnya dulu saat Pileg 2014.
Basis oligarki
Jeffrey A Winters, Profesor Ilmu Politik di Northwestern University, dalam Oligarchy (2011), menulis, sistem demokrasi Indonesia telah diselimuti oligarki. Basis dari konstruksi oligarki ini bervariasi, di antaranya, berlandaskan kekuatan partai politik, ikatan kekerabatan, ikatan kesukuan, dan hubungan keluarga.
Ada dua dimensi oligarki yang ditemukan Winters. Dimensi pertama, oligarki memiliki dasar kekuasaan—kekayaan material—yang sangat susah untuk dipecah dan diseimbangkan. Kedua, oligarki memiliki jangkauan kekuasaan yang luas dan sistemik.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, sependapat dengan teori Winters tersebut, bahwa di Indonesia, dinasti politik kerap dibangun berdasarkan kemampuan finansial dan jaringan keluarga. Mereka diuntungkan karena memiliki jejaring politik yang telah terbangun dari keluarga, bahkan sebagian besar punya kecukupan uang.
Proses membangun dinasti pun tidak ujug-ujug, melainkan dari level bawah. Sebab, kompetensi dan pengalaman politik mereka dinilai masih kurang jika harus berkompetisi di tingkat nasional atau DPR.
"Para elite senior sadar bahwa anak-anak mereka atau saudara mereka harus memulai dan bangun karier politik di level terendah dulu. Jadi, itu strategi untuk membangun karier kekerabatan politik mereka. Mereka sadar bahwa kalau bertarung di DPR belum kuat karena belum punya basis yang kuat," kata Arya.
Sebenarnya, lanjut Arya, kekerabatan politik itu tidak menjadi masalah apabila politisi yang dibentuk berdasarkan kompetensi. Toh, hal serupa juga terjadi di sejumlah negara, seperti Amerika, India, dan Filipina.
Yang menjadi masalah, menurut Arya, adalah apabila dinasti itu dibangun karena pengaruh patron klien atau berdasarkan finansial. Tak heran, taruhannya kinerja DPRD sendiri. "Misal, anaknya enggak punya pengalaman atau passion di politik, tetapi karena sang bapak atau keluarga merasa perlu mempertahankan posisi politik, bersikukuhlah dia mencalonkan anaknya. Itu, kan, berisiko banget juga," ujar Arya.
Karena itu, tantangan bagi politisi yang relatif muda itu adalah bagaimana keluar dari jebakan nama besar keluarga mereka, menunjukkan bahwa mereka punya program, dan cakap dalam memimpin. Yang utama, jangan sampai mereka terjebak korupsi.
"Yang perlu diwanti-wanti agar generasi baru ini, yang lahir dari dinasti politik, harus bisa memberikan wajah baru bagi politik Indonesia dengan gagasan dan ide. Tidak hanya mengandalkan nama besar keluarga," ucap Arya.
Sistem politik oligarki ini memang perlu dikritisi karena rentan memunculkan regenerasi yang tidak baik. Jika kemunculan politisi dari proses yang buruk, terbuka kemungkinan bisa berdampak buruk ke depan. Oligarki kecil ini bisa saja membesar. Tanpa disadari, itu semua bisa sangat membahayakan bagi negara ini, terutama korupsi yang semakin merajalela. Semoga itu tak terjadi.