Kegelisahan Orang Muda Hong Kong
Mantan Menteri Keuangan Hong Kong Antony Leung jauh-jauh hari telah memperingatkan soal kegelisahan orang muda di Hong Kong. Jika kegelisahan itu tidak ditangani dengan baik, orang muda akan turun ke jalan untuk menyalurkan emosi mereka. Peringatan Leung terbukti lewat unjuk rasa yang tidak kunjung berhenti sejak bereskalasi secara besar-besaran, Juni 2019, sampai sekarang.
Orang muda Hong Kong gelisah dengan masa depan mereka yang suram. Secara politis, mereka khawatir dengan penguatan cengkeraman Beijing atas Hong Kong. Meski menjadi bagian dari China, Hong Kong menjalankan sistem yang berbeda di bawah prinsip ”satu negara, dua sistem”. Beijing pernah berjanji, prinsip itu akan diterapkan sampai 2047.
Akan tetapi, orang Hong Kong menilai Beijing terus melanggar janjinya. Keputusan parlemen China soal pemilu Hong Kong memicu Revolusi Payung 2014. Unjuk rasa berbulan-bulan melanda Hong Kong kala itu.
Berselang lima tahun, Hong Kong kembali diguncang unjuk rasa yang dipicu penolakan atas Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi. RUU ini memungkinkan Hong Kong mengekstradisi seseorang atas permintaan pihak lain, termasuk Beijing. RUU itu dipandang sebagai cara Beijing menguatkan cengkeraman pada Hong Kong. RUU itu juga dinilai sebagai pintu masuk menyatukan sistem Beijing dan Hong Kong yang terpisah dan berbeda selama 22 tahun terakhir.
”Kami akan paling terdampak jika ada perubahan di Hong Kong. Kami yang akan menjalani masa depan. Kalau kami diam saja sekarang, masa depan mungkin akan buruk bagi kami,” kata Isaac Cheng, mahasiswa Universitas Shue Yan, dan Wakil Presiden Demosisto, salah satu perkumpulan warga yang rutin memelopori unjuk rasa di Hong Kong sejak 2014, kepada Kompas.
Isu perumahan
Bukan hanya soal politik yang memicu kegelisahan banyak orang Hong Kong. Persoalan ekonomi, khususnya soal rumah, telah lama menjadi sumber kegelisahan. Upah minimum Hong Kong saat ini lebih dari Rp 500.000 per hari untuk rata-rata delapan jam kerja. Walakin, butuh rata-rata 21 tahun menabung seluruh penghasilan tahunan bagi orang Hong Kong untuk bisa membeli rumah.
Warga Hong Kong harus membayar sedikitnya tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan warga New York ataupun London.
Taksiran itu menggelisahkan banyak orang. Jika dibutuhkan waktu selama itu untuk bisa membeli rumah, amat berat bagi anak muda Hong Kong untuk membentuk keluarga. Sebab, keluarga butuh tempat tinggal.
Rumah mahal membuat sedikitnya 200.000 warga Hong Kong tinggal di rumah kandang. Betul-betul berbentuk kandang. Sebuah kotak yang dipasangi kawat sebagai pembatas antarruang. Penyewa tinggal di tempat seperti itu karena tidak sanggup membayar biaya sewa di tempat lebih baik.
Rumah mahal membuat sedikitnya 200.000 warga Hong Kong tinggal di rumah kandang. Betul-betul berbentuk kandang.
Mahalnya tempat tinggal di Hong Kong bolak-balik menarik perhatian, seperti pada 2018. Kala itu, sejumlah media Hong Kong memberitakan pekerja migran asal Shenzhen, China daratan, yang meninggal di warung internet di kawasan Sham Shui Po pada 2018.
Dari penyelidikan, pekerja itu diketahui tidak punya tempat tinggal. Seluruh uangnya dikirimkan ke keluarganya di kampung. Selepas bekerja dari pagi sampai malam, ia pergi ke warung internet dan menghabiskan setiap malam selama bertahun-tahun di sana. Kurang istirahat dan kelelahan berujung kematian.
Dari 7 juta penduduk Hong Kong, sekitar 1,3 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan pada 2017. Hal itu berarti hampir satu dari setiap lima orang Hong Kong hidup melarat. Hal ini mungkin sulit dipahami terjadi di wilayah yang dicitrakan menjadi kota metropolis dan didiami banyak orang superkaya.
Reklamasi
Mahalnya rumah di Hong Kong adalah salah satu dampak kekurangan perumahan dan lahan di sana. Untuk mengatasi kekurangan lahan, kini sedang digarap proyek reklamasi untuk membuat pulau seluas 1.700 hektar.
Pulau buatan itu digarap di samping Lantau, pulau terbesar sekaligus berpopulasi paling rendah di Hong Kong. Dengan luas 14.700 hektar, Lantau dihuni kurang dari 150.000 orang. Meski pulau itu paling luang, Pemerintah Hong Kong masih menyiapkan reklamasi untuk menambah sedikitnya 1.000 hektar lagi ke Lantau.
Di samping Lantau telah ada pulau buatan yang sudah lama dipakai, Chek Lap Kok. Dari luas asal 310 hektar, kini Check Lap Kok menjadi 1.248 hektar dan tersambung dengan Lantau. Di sana, bandara baru Hong Kong beroperasi menggantikan bandara lama di Kaitak.
Adapun Pulau Hong Kong, dengan luas 8.000 hektar, dihuni 1,2 juta orang. Sementara sedikitnya 6 juta penduduk Hong Kong lainnya tinggal di Kow Loon dan areal baru yang berada satu daratan dengan China, negara yang mengontrol Hong Kong sejak 1997. Dengan total luas Hong Kong 1.104 kilometer persegi, setiap kilometer persegi lahan Hong Kong dihuni lebih dari 6.000 orang.
Terkait masalah kekurangan perumahan, telah ada beberapa upaya sejak 1997 kala Hong Kong dikembalikan Inggris kepada China. Pemimpin Eksekutif pertama Hong Kong, Tung Chee-hwa, mengusulkan pembangunan 85.000 unit apartemen per tahun untuk mengatasi masalah tersebut.
Usulan pembangunan 85.000 unit apartemen per tahun bagi warga Hong Kong ditentang orang-orang kaya Hong Kong yang memiliki modal utama penguasaan lahan di Hong Kong.
Usulan itu tidak kunjung terwujud. Krisis moneter 1997 salah satu penyebabnya. Alasan lainnya, usulan itu ditentang orang-orang kaya Hong Kong. Li Ka-shing dan keluarga Kwok bisa masuk deretan orang atau keluarga terkaya Asia dengan modal utama penguasaan lahan di Hong Kong. ”Li Ka-shing termasuk paling menikmati keuntungan atas status quo Hong Kong,” kata Cheng.
Karena itu, para pengunjuk rasa tahun 2019 marah sekali kala melihat iklan yang dipasang Li Ka-shing di halaman depan sejumlah media di Hong Kong, Agustus 2019. Lewat iklan itu, Li meminta kekerasan dihentikan. Iklan itu dipasang setelah beberapa kali kerusuhan pecah selepas unjuk rasa dan polisi menyebut pengunjuk rasa sebagai perusuh. Dalam beberapa unjuk rasa, foto Li dipasang pada poster dan dicap sebagai penyokong Beijing.
Politisi Hong Kong pendukung Beijing, Felix Chung, menawarkan penyelesaian jangka panjang. Caranya dengan lebih menyatukan Hong Kong ke China. Ia mengklaim cara itu memungkinkan anak muda Hong Kong menggali potensi dan berusaha di wilayah China, selain di Hong Kong.
Ide itu ditolak banyak orang, seperti terungkap lewat sigi the Chinese University of Hong Kong pada Juni 2019. Lewat sigi itu terungkap, hingga 70 persen penduduk Hong Kong tidak mau kotanya menyatu dengan China. Bahkan, 20 persen warga Hong Kong ingin merdeka.