Batu Air Mata
Kompas/Cahyo Heryunanto
Pintu yang aku ketuk dibuka oleh seorang perempuan. Muda dan cukup cantik meski penampilannya sederhana. Ia mengenakan daster motif batik. Rambutnya sedikit kusut dibiarkan tergerai. Tangannya mendekap bayi yang tidur pulas di gendongan kain.
”Silakan masuk, Pak. Anda sudah ditunggu.”
”Anda istri Pak Sarnip?”
Perempuan itu tersenyum dan mengangguk. Dipersilakannya aku duduk di kursi sebelum masuk ke ruangan dalam. Sesaat berselang ia kembali.
”Silakan masuk, Pak. Maaf, saya tinggal.”
Si wanita bergegas pergi sambil menenangkan bayinya yang terbangun dan menangis keras. Kusibak tirai yang tergantung. Tuan rumah duduk di kursi merah bersandaran. Sandal rumah terpasang di telapak kaki. Ia bangkit menyambut begitu melihatku.
”Kau datang, Rus. Terima kasih,” ucapnya lega.
Kuamati lelaki tersebut. Sarnip terlihat lesu.
”Aku baru tahu kau sudah menikah lagi dan punya anak.”
”Aku memintamu datang ke sini bukan untuk bicara tentang keluargaku, Rus. Aku perlu bantuanmu.”
”Bantuan apa yang bisa diberikan seorang pengangguran?” tanyaku sambil tersenyum.
Sarnip tak membalas senyumku. Wajahnya tetap serius.
”Ambilkan aku Batu Air Mata.”
”Batu…”
Aku tersedak dan menggeram detik berikutnya.
”Kukira sudah kau buang omong kosong itu!”
”Memang sudah. Itu sebabnya aku minta tolong kau ambil lagi.”
”Untuk apa?”
”Aku sakit, Rus.”
”Berobatlah,” balasku datar.
”Sudah banyak dokter yang kutemui tapi mereka bilang aku sehat.”
”Berarti kau sehat.”
Sarnip menggeleng.
”Aku tak merasa sehat.”
Tak ada guna berdebat. Aku kembali ke pokok masalah.
”Kalau kau perlu orang untuk mengambil Batu Air Mata, silakan cari yang lain.”
Buru-buru Sarnip mencegah langkahku.
”Tunggu, Rus. Aku punya penawaran untukmu.”
Kutatap pria yang lebih pendek dari diriku itu.
”Penawaran apa?”
”Kau butuh pekerjaan, kan? Bisa kuberi yang bagus.”
Dahiku mengernyit. Rasa ingin tahuku terusik.
”Pekerjaan apa?”
Sarnip menyebutkan salah satu posisi. Aku terbelalak. Ini luar biasa!
”Kau serius?” tanyaku sedikit sangsi.
”Tentu saja. Jangan salah. Aku bukan menjanjikan imbalan sebagai ganti mengambil Batu Air Mata, tawaran pekerjaan itu adalah bentuk penghargaan dan ucapan terima kasih pada orang yang telah membantuku.”
Kepalaku pening mendengar omongan Sarnip yang berbelit-belit.
”Siapkan saja pekerjaannya.”
Bibir Sarnip memunculkan seulas senyum. Tangannya menepuk pundakku.
”Bagus! Ambilkan Batu Air Mata dan pekerjaan itu milikmu.”
***
Bunyi tapak kaki bersandal jepit beradu tanah serta napas tersengal-sengal mengawali hari di desa itu. Pemiliknya, laki-laki berperawakan jangkung berlari di pagi yang masih basah oleh embun tanpa memperdulikan sekitar. Di kelokan jalan dua orang di pos ronda menghentikannya.
”Berhenti! Eh kau, Man. Ada apa? Kenapa lari seperti dikejar setan?”
Yang ditanya membungkuk, menopang tubuh dengan kedua telapak tangan bertelekan di lutut. Napas yang memburu membuat dirinya sulit berkata-kata.
”Sarnip…,” Akhirnya ia mampu bersuara. “Sarnip kembali.”
Lawan bicaranya terbelalak.
”Benarkah?”
”Aku bertemu dengannya di ujung desa. Dia kelelahan dan sedikit bingung, tapi baik-baik saja.”
”Ini berita gembira. Cepat beritahu ibunya.”
Kabar kemunculan Sarnip menyebar dengan cepat. Lima menit kemudian hampir seluruh penduduk berkumpul. Mereka ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri keadaan Sarnip setelah hilang empat hari yang lalu. Di antara orang-orang tersebut, Mak Warsih yang paling bersyukur mendengar anak tunggalnya kembali. Selama empat hari wanita tua itu nelangsa, mengira akan menjalani hidup sebatang kara setelah suaminya meninggal.
Sarnip didapati duduk bersandar di sebatang pohon seberang persawahan. Baju di bagian pundak koyak, sepertinya tersangkut tapi tubuhnya sama sekali tak terluka. Mak Warsih lari menghambur dan memeluk putranya penuh suka cita. Semua yang menyaksikan merasa lega, salah satu warga kembali pulang dengan selamat. Sarnip dielu-elukan dan jadi pusat perhatian.
Sebulan berlalu. Kemunculan Sarnip bukan lagi topik pembicaraan. Desa kembali ke pola hidup dan rutinitas semula. Pagi itu Sarnip datang ke rumahku. Ada yang ingin diperlihatkan, katanya. Aku setuju. Sarnip mengajakku ke tenggara desa. Matahari hampir mencapai puncak kepala saat tiba di areal tebing yang ditumbuhi semak belukar. Lidah ombak menjilat pantai di bawah kami.
”Di sini tempatnya.”
”Tempat apa?”
”Suara di kepalaku menuntun ke sini saat aku memancing waktu itu.”
”Jadi ke sini kau menghilang?”
”Begitulah.”
Sarnip menyibak semak belukar di depan kami ke samping hingga tampak lubang yang semula tersembunyi. Diameternya cukup dilalui orang dewasa.
”Ayo masuk,” ajaknya melihat aku bergeming.
”Ada apa di dalam?”
”Nanti kuceritakan.”
Sarnip mendahului berjalan. Kuikuti langkahnya meski enggan. Beberapa menit kemudian sinar senter yang dipegang Sarnip menerangi permukaan air.
”Arus di bawah ternyata kuat. Aku terseret dan tak sadarkan diri. Begitu siuman, aku ada dalam gua. Di sana kutemukan beberapa benda seperti ini.”
Sebelah tangan Sarnip masuk ke saku celana. Disorotkannya senter, menerangi batu putih oval sebesar telur puyuh di telapak tangan.
Aku tercengang.
”Batu?”
”Bukan sembarang batu. Ini batu bertuah. Batu Air Mata.”
”Dari mana kau tahu ini batu bertuah?”
”Suara di kepalaku itu yang bilang.”
Mataku tertuju ke permukaan air yang kini terlihat hitam setelah tidak lagi terkena sinar senter. Sulit dipercaya ada arus kuat di bawah permukaan yang tenang tanpa riak, tapi aku tak berniat membuktikan kebenaran kata-kata Sarnip.
”Kau gila, Nip. Kau dengarkan suara entah apa yang ada di kepalamu itu, datang ke sini dan menceburkan diri hanya demi sebuah batu. Kau benar-benar gila.”
Aku berpaling, meninggalkannya saat itu juga. Terakhir kudengar kabar Mak Warsih menyuruh putranya membuang Batu Air Mata.
***
Kali ini Sarnip sendiri yang membuka pintu, bukan istrinya. Satu jam sebelumnya aku menghubunginya untuk mengabarkan tentang Batu Air Mata yang berhasil kudapat. Suara Sarnip langsung semangat, disuruhnya aku datang secepat mungkin.
”Mana, Rus,” pintanya seraya menadahkan tangan.
Tanganku merogoh saku, meraih batu putih oval sebesar telur puyuh dan memberikan padanya. Wajah Sarnip makin berseri-seri. Digenggamnya batu itu erat-erat, seakan harta paling berharga di dunia.
”Tentang pekerjaan…,” selaku pada Sarnip.
”Sudah kuurus.”
Sarnip mengambil kertas dan pulpen di atas meja, menulis lalu mengulurkannya padaku.
”Besok datang ke alamat ini.”
Aku mengangguk dan berlalu. Sarnip tak menghiraukan kepergianku.
Suara Mirna bersenandung menyapa gendang telingaku begitu membuka mata keesokan harinya. Beranjak ke kamar mandi begitu ingat ini hari pertama bekerja. Lima belas menit kemudian aku mematut diri di depan cermin, memeriksa penampilan apakah sudah sesuai dengan kantor yang akan didatangi. Aku pandang rambut yang tersisir rapi kemudian beralih ke kemeja dan celana panjang yang disetrika Mirna kemarin. Setelah puas dengan yang terlihat, aku keluar kamar.
”Bahagia sekali rupanya,” godaku pada Mirna yang kini bernyanyi-nyanyi kecil sambil menyiapkan sarapan.
”Tentu saja.”
Mirna mengelus perut buncitnya.
”Anak kita sebentar lagi lahir. Selama ini aku cemas Abang belum dapat pekerjaan saat itu.”
”Kita benar-benar beruntung,” lanjutnya, “Seandainya bukan karena teman Abang, Abang pasti masih menganggur sekarang.”
”Dia memberi pekerjaan ini karena aku membantunya.”
”Bantuan Abang pasti sangat berarti baginya sampai dia memberi pekerjaan sebagus ini.”
Aku tersenyum.
Selesai sarapan aku berangkat ke kantor dengan angkutan umum. Transportasi yang ada, sebuah sepeda motor, sudah dijual seminggu sebelumnya. Setiba di kantor, seseorang memberi pengarahan tugas-tugas yang harus kulakukan. Tak sulit. Diriku cepat beradaptasi. Hari pertama kerja berakhir memuaskan.
Malamnya Sarnip datang ke rumah. Kupersilakan masuk dan duduk di kursi tamu.
”Mana istrimu?” tanyanya melihat suasana lengang.
”Ke rumah orangtuanya.”
”Kudengar anakmu sebentar lagi lahir.”
Aku mengangguk.
”Awal bulan depan.”
Sarnip mengulurkan bingkisan yang dibawanya padaku.
”Ini hadiah untuk si kecil.”
”Terima kasih, Nip. Kau tak perlu repot-repot sebenarnya.”
Sarnip mengibaskan tangan.
”Ini bukan apa-apa. Tak sebanding dengan bantuanmu padaku.”
Aku tersenyum.
Aku tak pernah pergi ke gua yang dimasuki Sarnip, batu itu kutemukan di halaman rumah setelah mencari selama dua hari. Kuperhatikan lelaki di depan yang bercerita tentang kesembuhannya setelah minum air rendaman Batu Air Mata.
________________________
Daisy Rahmi, kelahiran Manado, 30 April 1976. Karya-karyanya dimuat di berbagai media massa. Kini tinggal di Jakarta.